NovelToon NovelToon
Kapten Merlin Sang Penakluk

Kapten Merlin Sang Penakluk

Status: sedang berlangsung
Genre:Action
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: aldi malin

seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

pancingan terakhir

Di restoran kecil milik almarhum Dika, aroma sop buntut dan nasi goreng kampung menguar ke seluruh ruangan. Meja-meja kayu sederhana dipenuhi pelanggan setia yang datang untuk makan siang. Di balik meja kasir, Pak Jaka sibuk mencatat pesanan sambil tersenyum ramah.

Di sudut dapur, Laila, putri semata wayang almarhum Dika, tampak mengenakan celemek dan sedang mengaduk es jeruk. Hari ini ia libur kuliah, dan seperti biasa, memilih membantu di restoran ayahnya yang kini jadi warisan keluarga.

Pintu masuk berbunyi. Bel berbunyi lembut, dan Reno masuk dengan langkah pelan. Wajahnya lelah, tapi tetap tenang. Ia menyapa Pak Jaka dan langsung mencari Laila.

"Bang Reno…" Laila tersenyum, tapi matanya sedikit khawatir. "Bagaimana kabar Bunda? Apa baik-baik saja di Kamboja?"

Reno menghela napas, lalu duduk di kursi dekat meja bar.

"Tadi malam beliau menelponku," ucapnya pelan. "Kondisinya baik, meski misi belum selesai. Chen, orang yang selama ini dikejar, akhirnya buka suara. Dia beri informasi penting soal situs judi dan penyandang dana."

Laila menggenggam gelas es jeruk di tangannya lebih erat. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya menyimpan rasa cemas yang dalam.

"Jadi… Bunda masih harus di sana ya?"

"Iya," jawab Reno, menatap Laila dalam-dalam. "Dan aku harus berangkat ke Kamboja malam ini. Ada tahap baru yang harus kami tuntaskan bersama."

Laila menunduk, lalu mengangguk perlahan.

"Hati-hati, Bang. Jaga Bunda juga… Sampaikan, aku rindu."

Reno tersenyum kecil.

"Pasti. Bunda pasti bangga punya anak sekuat kamu, Lai."

Setelah berpamitan pada Pak Jaka, Reno berjalan keluar dari restoran. Angin siang berhembus pelan, membawa aroma masakan rumah dan bayangan perjuangan panjang yang belum usai.

Semua dokumen perjalanan akhirnya beres. Paspor, visa, dan surat tugas dari kepolisian—semuanya sudah di tangan. Hari keberangkatan Reno pun tiba.

Pagi itu, Laila ikut mengantarkan Reno ke bandara. Mobil tua milik restoran melaju pelan membelah jalanan Jakarta yang mulai padat. Di kursi penumpang belakang, Laila memegang erat sebuah kantong kain berisi bungkusan kecil.

Saat sampai di depan terminal keberangkatan, Reno mengeluarkan kopernya dari bagasi. Laila menghampirinya dan menyerahkan bungkusan itu dengan kedua tangan.

"Titip buat Bunda ya…" ucap Laila pelan.

Reno menoleh, sedikit heran. "Apa ini, Lai?"

Laila tersenyum kecil. "Rendang. Masakan Padang, kesukaan Bunda."

Reno terkekeh. "Buat aku nggak ada?"

"Ada satu bungkusan lagi, tapi jangan dimakan di jalan. Ingat ya, jangan lama-lama di Kamboja," canda Laila sambil mencubit lengan Reno pelan.

Reno tersenyum hangat. "Tenang. Aku nggak akan lama… dan aku pastikan Bunda pulang dalam keadaan selamat."

Mereka berpelukan sebentar. Tak ada kata lain yang bisa diucapkan selain saling percaya.

Pesawat Reno akan lepas landas dalam waktu satu jam. Ia melangkah masuk ke area check-in, sesekali menoleh ke belakang, melihat Laila yang masih berdiri di tepi jalan, melambaikan tangan… dengan wajah yang menyimpan harapan besar.

Langit Phnom Penh sedikit berawan saat pesawat Reno mendarat. Di balik kaca bandara, bendera kecil Kamboja berkibar perlahan. Udara terasa lebih panas dibanding Jakarta, tapi tak menyurutkan langkah Reno yang mantap keluar dari terminal kedatangan.

Begitu melewati pintu utama, dua orang pria berpakaian jas gelap dengan pin Interpol langsung mendekat.

"Tuan Reno? Kami ditugaskan menjemput Anda. Kapten Merlin sudah menunggu."

Tanpa banyak bicara, Reno mengangguk. Diantar ke mobil hitam yang terparkir di luar, ia dibawa menyusuri jalanan kota Phnom Penh menuju markas kecil yang dijadikan pos sementara operasi.

Sesampainya di sana, Aina—Kapten Merlin—sudah berdiri di depan pintu markas, mengenakan rompi taktis dan kacamata hitam di kepala. Rambutnya diikat rapi, tatapannya fokus, tapi saat melihat Reno turun dari mobil, senyum tipis tak bisa disembunyikan.

"Selamat datang di Kamboja, Letnan."

Reno menurunkan kacamata hitamnya dan menyeringai.

"Lama tak bertemu, Kapten. Aku bawa rendang kesukaanmu, langsung dari Jakarta."

Aina tertawa pelan, lalu memberi isyarat masuk ke dalam.

"Kamu datang tepat waktu. Kita baru saja mengidentifikasi pergerakan tiga penyandang dana besar. Operasi penjebakan mulai malam ini."

Reno melirik Aina dengan serius. "Aku siap."

Di dalam ruangan, peta kota terpampang besar di dinding. Foto-foto para target, data rekening, dan jaringan komunikasi mereka tersusun rapi di papan informasi.

Misi belum selesai. Tapi kini, perburuan sesungguhnya dimulai.

Di ruangan yang kini berubah jadi pusat komando mini, papan putih penuh coretan, foto target, dan skema jaringan komunikasi berdiri di tengah. Laptop-laptop menyala, peta digital kota Phnom Penh terpampang jelas di layar besar. Reno berdiri sambil memegang tablet, sementara Aina—Kapten Merlin—menunjuk satu titik di layar.

"Ini mereka," ucap Aina. "Tiga penyandang dana terbesar: Jiro Tanaka dari Jepang, Martin Koval dari Eropa Timur, dan Tan Chien dari lokal Kamboja."

Reno mengangguk. "Dan ketiganya akan hadir di satu tempat… dalam waktu yang sama?"

"Ya. Kita dapatkan info dari Chen sebelum dia pergi. Mereka akan bertemu di satu villa di luar kota—tempat biasa mereka mengatur aliran dana dan perekrutan korban."

"Apa kita sergap langsung?"

Aina menggeleng. "Terlalu berisiko. Lokasi dijaga mercenary. Tapi kita bisa jebak mereka… lewat undangan investasi palsu. Aku akan menyamar sebagai investor gelap dari Indonesia. Kamu akan jadi penghubung teknologi."

Reno tersenyum tipis. "Peran favoritku."

Mereka pun menyusun skenario:

Identitas Baru: Aina akan menggunakan nama alias “Mirna Wijaya,” pengusaha properti yang ingin mencuci uang lewat situs online.

Transaksi Umpan: Reno akan membuat situs replika judi palsu yang bisa ditracking sepenuhnya oleh Interpol.

Lokasi Netral: Aina akan undang ketiganya ke sebuah hotel mewah dengan alasan “presentasi investasi eksklusif.” Di sana, tim Interpol telah siaga di titik-titik tersembunyi.

Sandi: Kata kunci “merah menyala” akan jadi sinyal eksekusi penangkapan.

Aina memandang Reno, matanya tajam.

"Kita hanya punya satu kesempatan. Kalau mereka curiga, semuanya bisa gagal."

Reno menyambut tatapan itu dengan tenang. "Kita sudah melalui neraka yang lebih gelap dari ini. Kita bisa."

Mereka saling mengangguk. Tidak banyak kata yang dibutuhkan.

Permainan sudah dimulai.

Saat layar laptop dimatikan dan skenario besar telah tersusun, suasana jadi sedikit lebih santai. Aina duduk di pinggir meja sambil membuka botol air mineral. Reno membuka ranselnya, mengeluarkan bungkusan berbalut daun pisang yang sudah dibungkus rapi plastik bening.

"Kayaknya… rendang titipan Laila udah bisa disantap nih, Buk," ucap Reno sambil tersenyum malu-malu.

Aina menoleh, sedikit tersentak. "Kamu juga dapat dari Laila?"

Reno mengangguk, lalu pura-pura memandangi rendang itu dengan penuh penghayatan. "Sepertinya ada seseorang yang sedang jatuh cinta."

Aina tertawa pelan. Tatapannya melembut. "Laila memang pintar masak. Tapi kayaknya bukan cuma rendang yang dia titipin ya?"

Reno nyengir, wajahnya agak memerah. "Mungkin… dia juga nitipin hatinya, Bu."

Aina menatap Reno beberapa detik, lalu melemparkan senyum lembut. "Kalau benar, jaga baik-baik. Jangan kayak aku dulu."

Suasana hening sejenak, tapi tidak canggung—lebih seperti dua orang yang saling paham betapa rapuhnya cinta dalam dunia mereka yang penuh bahaya.

"Tapi sekarang bukan waktunya baper. Malam ini kita menjebak monster," ujar Aina sambil berdiri dan menarik ritsleting jaketnya.

Reno mengangkat potongan rendang. "Oke. Setelah ini, rendang dan operasi penjebakan. Dua hal yang memicu adrenalin."

Malam itu, lampu-lampu kota Phnom Penh memantul di kaca hotel mewah bintang lima yang terletak di pinggir sungai Mekong. Di dalam ballroom khusus yang disewa atas nama “Mirna Wijaya,” suasana tampak glamor—hidangan mewah tersaji, wine mahal disiapkan, dan denting piano klasik mengisi udara.

Aina berdiri anggun dalam balutan gaun malam hitam sederhana namun elegan. Rambutnya disanggul rapi, dan di telinganya terselip alat komunikasi mungil. Di sisi ruangan lain, Reno berpura-pura menjadi konsultan IT, berdiskusi dengan dua pria asing sambil sesekali mencatat di tablet.

Chen berdiri di sudut ruangan, berperan sebagai teknisi server situs judi, tampak sibuk menyiapkan “presentasi” alur uang digital mereka—yang sebenarnya adalah situs palsu buatan Reno.

Tiga penyandang dana besar hadir:

Jiro Tanaka dari Tokyo, tenang dan tajam.

Martin Koval dari Eropa Timur, keras kepala dan penuh curiga.

Tan Chien, pria lokal dengan senyum palsu yang menyimpan kecurangan.

Aina berdiri di tengah mereka, mempresentasikan “strategi pencucian uang digital” yang menggiurkan.

"Kami ingin mitra yang tahu caranya menyembunyikan emas dalam pasir. Dan saya yakin Anda bertiga mengerti betul permainan ini," ujar Aina dengan suara lembut, menggoda.

Tanaka tertawa pelan. "Saya suka wanita yang tahu cara bermain."

Sinyal visual diberikan. Reno menekan tombol di tablet.

Semua data aliran transaksi palsu langsung masuk ke server Interpol. Lokasi terverifikasi. Bukti lengkap.

Aina mengangkat gelas sampanye.

"Kepada masa depan yang menguntungkan..."

Lalu, dengan lirih, ia menyelipkan kode: "Merah menyala."

Dalam hitungan detik, pasukan Interpol dan kepolisian Kamboja menyusup masuk dari berbagai pintu. Laser senjata terarah ke para penyandang dana.

"Drop your weapons! You’re under arrest by international warrant!"

Semuanya terjadi cepat. Tanaka dan Martin mencoba melawan, tapi senjata mereka ditahan lebih dulu. Tan Chien sempat melarikan diri ke balkon, namun dijegal oleh seorang agen.

Ketiga penyandang dana digelandang keluar dalam borgol, wajah mereka tak lagi penuh percaya diri, melainkan ketakutan.

Chen berdiri diam, lalu menatap Aina.

"Aku sudah membayar sebagian kesalahanku…"

Aina menatapnya balik. "Dan sisanya akan ditentukan oleh waktu."

Reno menghampiri, mengangkat dua jempol.

"Misi selesai. Bersih, tanpa jejak."

Saat ketiga penyandang dana digiring keluar ballroom oleh Interpol, suasana sejenak terasa lega. Para agen mulai merapikan peralatan. Aina menoleh pada Chen yang masih berdiri kaku, wajahnya tampak lega namun juga… kosong.

Namun sebelum Tanaka masuk ke dalam mobil tahanan, ia menoleh ke belakang. Matanya sempat menangkap Chen yang berdiri di ambang pintu kaca. Tatapan mereka bertemu.

Tatapan Tanaka begitu dalam, tenang, dan sangat dingin. Ia tidak berkata apa-apa—hanya mengangkat sedikit dagunya, seperti memberi isyarat yang hanya Chen pahami.

Martin Koval juga melirik Chen sebentar, lalu tersenyum kecil. Senyum yang bukan tanda kekalahan. Tapi lebih seperti… ancaman yang belum usai.

Tan Chien tertawa lirih, membisikkan kalimat dalam bahasa Mandarin yang hanya Chen mengerti:

> “Kau pikir permainan ini berakhir, programmer kecil?”

Chen menunduk, seolah tahu apa yang menantinya.

Aina mendekatinya, mencengkeram lengan Chen pelan.

"Apa maksud mereka?"

Chen menarik napas, menatap mata Aina penuh beban.

"Mereka tahu aku pengkhianat. Aku… sudah masuk daftar target. Kalau mereka bebas, atau ada yang masih berkeliaran, aku tidak akan bertahan lama."

Aina menatap Chen tajam, lalu bergumam:

"Mungkin kamu perlu lebih dari sekadar perlindungan. Mungkin kamu butuh pengampunan."

Chen hanya tersenyum tipis, seperti seseorang yang tahu waktunya di dunia ini sudah mulai dihitung mundur.

Setelah penyandang dana dibawa pergi, Chen tidak melarikan diri. Ia tidak meminta perlindungan. Tidak juga mencari jalan keluar.

Dia justru menyerahkan diri.

"Bawa aku ke pihak berwenang," katanya kepada Aina, suaranya pelan tapi pasti. "Aku ingin menebus semua ini… bukan hanya untuk para korban, tapi juga untuk diriku sendiri."

Aina berdiri terpaku. Ada sesuatu dalam nada bicara Chen yang membuat dadanya sesak. Ia pernah mengenal lelaki ini sebagai Rangga—lelaki yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati sebelum dunia menjadi begitu kejam.

"Kamu sadar kalau setelah ini mereka akan memburumu?"

Chen mengangguk. "Aku sudah diburu seumur hidup, Ai. Tapi kali ini… aku diburu untuk alasan yang benar."

Aina menatapnya lama. Dalam sorot mata Chen, ia melihat ketulusan. Bukan hanya rasa bersalah, tapi juga kerinduan akan seseorang—kerinduan yang selama ini dia pendam.

Dan entah mengapa, cinta yang dulu ia kubur bersama abu jenazah Dika, perlahan bangkit dari dasar hatinya.

Tapi bersama cinta itu, hadir pula rasa takut. Takut kehilangan lagi. Takut mencintai hanya untuk kehilangan sekali lagi.

"Kenapa sekarang?" bisik Aina, nyaris tak terdengar.

Chen mendekat. "Karena kalau aku mati besok, aku tak ingin mati sebagai monster."

Aina menggenggam tangan Chen, dan untuk sesaat ia ingin waktu berhenti. Ia ingin membiarkan dirinya merasakan hangatnya seseorang yang dulu ia cintai… yang kini menatapnya seolah dia adalah satu-satunya alasan untuk bertahan hidup.

Tapi apakah cinta ini bisa bertahan… atau justru akan hilang untuk kedua kalinya?

1
aldi malin
terima kasih semoga ikutin episode berikutnya
Lalula09
Dahsyat, author kita hebat banget bikin cerita yang fresh!
うacacia╰︶
Aku sangat penasaran! Kapan Thor akan update lagi?
aldi malin: oke ...dintunggu ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!