Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Ke Rumah Sakit
Rumah sakit tempat mereka menuju tidak jauh dari hotel, sebuah fasilitas kesehatan swasta modern yang cukup terkenal di kota itu. Pelayanan yang cepat dan profesional langsung terlihat sejak mereka turun dari mobil. Petugas rumah sakit segera menghampiri saat melihat Karenin menggandeng seorang wanita yang tampak lemas.
“Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang perawat dengan ramah.
“Istri saya sedang hamil muda. Dia mual sejak pagi dan muntah-muntah siang ini. Kami hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja,” jawab Karenin singkat namun tegas.
Petugas langsung mengangguk dan mempersilakan mereka masuk. Setelah proses registrasi cepat karena sudah dibantu staf hotel sebelumnya, Shanaira dibawa ke ruang pemeriksaan oleh dokter kandungan yang sedang bertugas.
Ruangannya bersih dan tenang, dengan aroma antiseptik khas rumah sakit. Shanaira duduk di ranjang periksa sementara Karenin duduk di kursi tak jauh dari situ, matanya terus mengikuti setiap gerakannya.
Dokter perempuan yang menangani mereka memperkenalkan diri dan segera melakukan serangkaian pemeriksaan awal—tekanan darah, suhu tubuh, dan mengajukan beberapa pertanyaan dasar mengenai kehamilan Shanaira.
“Saya dengar tadi sempat muntah ya?” tanya sang dokter sambil mencatat.
“Iya, Dok. Saya langsung mual saat mencium aroma amis seafood. Sebelumnya juga sempat mual dan pusing di perjalanan,” jawab Shanaira pelan.
Setelah selesai dengan pertanyaan awal, dokter memutuskan untuk melakukan USG transabdominal singkat untuk memastikan kondisi janin. Karenin diminta berdiri di sisi kepala Shanaira, menggenggam tangannya saat gel dingin menyentuh perut bawah sang istri.
Layar kecil di dekat tempat tidur pun menyala. Beberapa detik kemudian, detak jantung mungil itu terdengar… pelan, tapi jelas.
Deg… deg… deg…
Suara kehidupan kecil itu membuat dada Shanaira bergetar. Mata Karenin mulai berkaca-kaca. Meskipun ini bukan pertama kali mereka melihat atau mendengarnya, tetapi entah mengapa, kali ini terasa lebih berarti. Lebih… dalam.
“Janinnya sehat dan detak jantungnya stabil,” kata dokter dengan senyum hangat. Saat melihat wajah pucat dan mata sayu Shanaira, sang dokter mengangguk pada perawat.
“Saya ingin lakukan pemeriksaan tambahan untuk kondisi umum Ibu. Mual yang terlalu sering bisa berdampak ke elektrolit tubuh dan tekanan darah,” jelas dokter.
Karenin langsung mengangguk setuju. “Tolong periksa semuanya, Dok. Dia sudah tidur dua kali hari ini tapi masih kelihatan lemas.”
Shanaira hanya menatap lemah, tak sanggup membantah kekhawatiran Karenin.
Setelah pemeriksaan darah dan tekanan, hasil laboratorium menunjukkan bahwa tubuh Shanaira mengalami sedikit dehidrasi ringan dan tekanan darahnya sedikit turun, yang wajar pada ibu hamil muda dengan morning sickness cukup berat. Karenin menatap lembar hasil medis itu dengan cemas.
“Jadi, apakah berbahaya?” tanyanya, nyaris tak berkedip.
Dokter menggeleng tenang. “Tidak, tapi akan lebih baik jika Ibu Shanaira banyak istirahat, makan dalam porsi kecil tapi sering, dan pastikan asupan cairannya cukup. Untuk sementara ini, kami akan beri cairan infus ringan untuk mengembalikan keseimbangan tubuhnya.”
Shanaira hanya menunduk lemah, merasa sedikit bersalah karena membuat Karenin khawatir setengah mati.
Selama hampir satu jam, Shanaira diberi cairan infus dan diminta berbaring di ruang observasi. Karenin menunggu di sisi ranjangnya, tak lepas dari pandangan penuh perhatian. Ia bahkan meminta perawat dua kali untuk memastikan suhu ruangan tidak terlalu dingin.
Begitu infus selesai dan dokter menyatakan Shanaira boleh keluar dari rumah sakitl, Karenin dengan lembut membantu perempuan itu bangun dari ranjang.
“Kalau ada yang bikin kamu nggak nyaman lagi, langsung bilang, ya?” ucapnya serius.
Shanaira mengangguk pelan. “Iya… Maaf ya.”
Karenin mengusap kepalanya lembut. “Nggak perlu minta maaf. Sudah tugas aku sebagai suami kamu untuk selalu siaga.”
Setelah selesai pemeriksaan dan infus, Karenin membantu Shanaira turun dari ranjang periksa. Langkahnya pelan, tubuhnya masih sedikit lemah. Karenin menggenggam tangannya erat saat mereka berjalan keluar dari ruang observasi.
“Sekarang kita pulang ke hotel, kamu bisa istirahat lagi,” ucap Karenin lembut.
Keduanya berjalan menuju pintu keluar, mobil hotel sudah menunggu di pintu depan dan mereka melangkah masuk dengan tenang. Kali ini, dalam keheningan mobil, meski masih lemas Shanaira merasakan suatu kelegaan dan kehangatan yang perlahan tumbuh di hatinya.
Begitu sampai kembali di kamar hotel, Shanaira langsung merebahkan diri di sofa panjang yang empuk di dekat jendela. Wajahnya masih terlihat pucat, meskipun tak semenekung sebelumnya. Karenin meletakkan tas kecil Shanaira di meja dan melirik perempuan itu sejenak.
Bibirnya yang dulu semerah ceri sekarang terlihat pucat, dan napasnya terdengar pelan tapi teratur. Ia tahu, tidur akan sedikit membantu, tapi tidak bisa membiarkan Shanaira terus dalam kondisi lemah karena belum makan sejak pagi.
“Kamu istirahat dulu, ya,” ucapnya lembut sambil menyelimuti Shanaira dengan selimut tipis dari atas sofa.
“Aku keluar sebentar.”
“Mau ke mana?” gumam Shanaira pelan, suaranya sedikit serak karena lelah.
“Ke bawah. Aku mau bicara ke pihak hotel. Kamu belum makan apa-apa dari tadi siang, dan aku nggak yakin kamu cocok dengan makanan yang mereka siapkan tadi. Aku coba minta izin untuk pakai dapur hotel. Tenang, aku nggak akan lama.”
Shanaira ingin membantah, mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, tapi perut kosong dan rasa lelah yang menggantung membuatnya tak punya tenaga untuk berdebat. Jika ia hanya sendiri dia tidak akan pernah membuat orang lain repot, tapi ada makhluk kecil dalam dirinya yang sedang tumbuh dan membutuhkan nutrisi. Ia pun mengangguk kecil sebagai persetujuan.
Karenin mengecup keningnya singkat, lalu bergegas keluar dari kamar meninggalkan Shanaira yang membuka matanya menatap kepergian pria itu dengan bingung.
Dia masih bisa merasakan suhu hangat dan lembut bibir pria itu di keningnya. Kehangatan itu seakan meresap ke dalam jiwanya.
*****
Di lantai bawah, Karenin menemui resepsionis dan menjelaskan situasinya. Setelah melalui sedikit pembicaraan, akhirnya ia diantar menuju dapur staf hotel yang cukup besar dan rapi. Seorang staf menyerahkan apron bersih dan memberi izin penuh padanya untuk memakai area memasak selama tidak mengganggu kegiatan utama dapur.
Karenin mengucapkan terima kasih dan mulai menyingsingkan lengan kemejanya. Ia membilas tangan di wastafel baja, mengenakan apron, lalu mulai menginventaris bahan-bahan yang tersedia di dapur hotel: beras, telur, wortel, kentang, dan beberapa sayuran segar di lemari pendingin. Ia juga menemukan kaldu ayam bening yang sudah disimpan dalam wadah tertutup.
Dengan cepat, ia membilas segenggam kecil beras dan memasukkannya ke dalam panci berisi kaldu ayam yang sudah dipanaskan. Ia memilih tidak menambahkan garam atau rempah-rempah tajam—hanya sedikit irisan bawang putih halus dan daun bawang tipis sebagai penyedap alami. Ia tahu, rasa lembut lebih penting dari rasa enak saat lidah sedang sensitif.
Sambil menunggu bubur mendidih, ia mengiris wortel kecil-kecil dan menambahkannya ke dalam panci. Tangannya bekerja cekatan, penuh kebiasaan lama yang terasah sejak ia menjadi chef. Ia sesekali mengaduk perlahan, memastikan tekstur bubur menjadi lembut, tidak lengket, dan tidak terlalu encer. Saat nasi mulai hancur, ia memecahkan satu butir telur ke dalam mangkuk, mengocoknya ringan, lalu menuangkannya perlahan ke dalam panci sambil terus mengaduk agar menyatu sempurna.
Aroma kaldu hangat bercampur dengan sayuran dan telur yang lembut mulai memenuhi udara dapur. Karenin mencicipi sesendok kecil—cukup. Hangat, ringan, dan tidak menyengat. Cocok untuk seseorang yang sedang mual seperti Shanaira.
Setelah yakin dengan hasilnya, ia mematikan kompor dan menuangkan bubur ke dalam mangkuk porselen putih yang disediakan hotel. Ia meletakkannya di atas nampan bersama sendok dan segelas air hangat. Ia bahkan menyisipkan serbet bersih, sekadar kebiasaan kecil yang tak pernah ia tinggalkan sebagai seorang chef.
Dengan langkah hati-hati, ia membawa nampan itu naik ke kamar mereka.