bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertemuan Alecia dan amira
Kamar hotel itu terasa remang, dihiasi lampu gantung berkilau dan tirai tebal berwarna emas. Di luar, kota metropolitan tak pernah tidur. Tapi di dalam kamar suite ini, waktu seperti berhenti selama tiga hari tiga malam. Seprai kusut, gelas-gelas wine berserakan, dan aroma parfum mahal bercampur dengan hawa tubuh mereka.
Bianka merebahkan tubuhnya di dada Bagus yang telanjang, jari-jarinya menggambar lingkaran di kulit pria itu dengan malas.
"Om nggak capek apa? Tiga hari tiga malam loh," gumam Bianka manja, suaranya parau karena terlalu sering tertawa, bercinta, dan berbisik penuh rahasia.
Bagus tertawa pelan, mengelus rambut panjang Bianka. “Kalau sama kamu, Om bisa sebulan juga kuat.”
Bianka mencibir genit. “Mulutnya... manis banget ya. Tapi jangan cuma manis di ranjang, Om. Aku juga butuh bukti nyata.”
Bagus mengangkat alis. “Maksudmu?”
Bianka mendesah, lalu duduk menyilangkan kaki, selimut hanya menutupi sebagian tubuhnya. “Aku udah nurutin semua rencana Om. aku sudah kendalikan Andika sampai dia lupa kerja dan lupa untuk balas dendam. Dan sekarang aku butuh fasilitas. Mobil baru, apartemen pribadi, dan isi rekening om”
Bagus tersenyum licik. “Kamu mau digaji, sayang?”
“Bukan digaji, Om. Diapresiasi,” Bianka menyentuh bibir pria itu. “Aku ini investasi jangka panjang.”
Bagus memutar tubuhnya, menarik Bianka kembali ke pelukannya. “Dan kamu investasi terbaik yang Om punya. Oke, nanti Om atur semuanya. Tapi kamu juga jangan lengah. Pastikan Andika tetap tunduk. Jangan sampai dia kembali dekat sama Amira.”
“Tenang saja, Om. Aku tahu titik lemahnya. Dia gampang baper kalau aku mulai sok-sok lemah. Aku bisa bikin dia percaya kalau aku satu-satunya yang bisa dia andalkan.”
Bagus mengangguk puas. “Bagus. Kalau dia udah sepenuhnya kamu kendalikan, kita bisa percepat langkah ke tahap selanjutnya.”
Bianka memiringkan kepala. “Tahap selanjutnya? Yang mana lagi nih?”
“aku ingin dia dipecat oleh viona bahkan bila perlu disingkirkan oleh viona sendiri, aku ingin dia terpuruk tidak bisa berbuat apa-apa" jelas bagus sambil mengelus rambut Bianka dalam dekapannya
Bianka menyeringai. “tenang om..jangan sampai om lupa sama aku, aku ingin jadi wanita paling bahagia dan kaya”
Bagus mencubit dagunya. “Tentu. Dan kamu akan jadi wanita paling kaya di Jakarta—selama kamu tetap setia sama Om.”
Bianka mencium lehernya. “Om ini... terlalu manis buat dilepas.”
Bagus menghela napas puas, memandangi langit-langit kamar. Dalam pikirannya, bayangan tahta dan harta Wijaya Group semakin dekat. Hanya tinggal Andika yang harus dia singkirikan secara perlahan
---
Sudah lima kali Andika mencoba menghubungi Bianka sejak pagi. Dan lima kali pula, suara dingin dari operator yang menyambutnya, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”
Langit Jakarta mendung sore itu. Udara pengap dan berat, persis seperti perasaannya. Ia duduk lama di balik kemudi, memandangi jalanan padat yang tak juga mengalir. Hatinya penuh tanya, pikirannya berkabut. Hingga akhirnya, tanpa rencana, ia mengarahkan mobil menuju apartemen Robert di kawasan SCBD.
Ketukan di pintu tak lama dijawab. Wajah Robert muncul, rambut awut-awutan, dan jelas belum mandi.
“Rupanya kamu tidur nyenyak, Robert,” gumam Andika setengah mengejek.
Robert tersenyum kecut. “Selamat datang, Bos. Silakan masuk.”
Apartemen itu masih seperti terakhir kali Andika datang: bersih, ringkas, cukup rapi untuk ukuran laki-laki yang tinggal sendiri. Mereka duduk di sofa, suasana masih canggung.
“Ada apa, Bos?” tanya Robert pelan.
“Aku ambil cuti dari jabatan presdir,” jawab Andika tenang.
Robert mengerutkan dahi. “Bukan karena aku mengundurkan diri, kan?”
Andika menggeleng pelan. “Bukan. Aku butuh jeda. Ingin melihat hidupku dari jauh. Ada sesuatu yang terasa janggal. Semuanya tampak baik-baik saja, tapi rasanya... tidak benar.”
Robert mengangguk kecil. “Aku tak sepenuhnya paham, tapi lanjutkan.”
“Aku ingin menyelidiki kematian Ibuku lebih dalam.”
Kali ini, Robert menatapnya dalam. “Tepat sekali, Bos.”
Andika menyipitkan mata. “Kenapa kamu menjawab begitu yakin?”
Robert menarik napas. “Aku pernah ingin bicara soal ini. Tapi aku tahu, kamu tak akan percaya. Sekarang, biarkan aku bicara sebagai sahabat. Mau diterima atau tidak, terserah.”
Andika mengangguk. “Katakan saja. Jangan bertele-tele.”
Robert menatap lantai sejenak, lalu berkata, “Saat aku mencoba mengakses penuh data Wijaya Grup—membuka jalur investigasi—aku merasakan ada kekuatan besar yang menekan. Seseorang yang mengendalikan segalanya dari balik layar. Bahkan saat aku mengajukan diri untuk memimpin investigasi, Oma Viona sendiri yang menolakku.”
Andika terdiam. “Apa artinya itu? Apa ada yang tak beres dengan Oma?”
Robert menggeleng cepat. “Bukan. Oma Viona tak mungkin mencelakai kamu. Tapi dia menyembunyikan sesuatu. Dan seseorang memengaruhinya.”
Andika mengepalkan jemari. “Lalu siapa?”
“Itu yang harus kita cari tahu,” bisik Robert. “Tapi jangan gunakan orang-orang perusahaan. Kita harus bentuk tim sendiri. Orang-orang yang benar-benar kita percaya.”
Andika mengangguk pelan. Di kejauhan, langit mulai hujan. Seperti hatinya yang akhirnya menemukan arah.
....
Kelopak mata Helena perlahan bergerak. Matanya mengerjap pelan, seperti mencoba mengenali cahaya yang menusuk setelah sekian lama terbenam dalam kegelapan.
Aston yang duduk di samping ranjang langsung berdiri. “Dokter! Dia sadar! Mama sadar!” teriaknya dengan suara tercekat.
Helena menoleh lemah ke arahnya. Bibirnya yang kering bergerak pelan. “Anakku...” gumamnya nyaris tak terdengar.
Aston tersenyum haru, matanya memerah. “Ini aku, Bu. Ini Aston, anakmu.”
Namun, Helena menggeleng pelan. Matanya menatap Aston dengan keraguan. Wajah itu tidak sepenuhnya dikenalnya. Ada luka yang dalam di balik sorot matanya. Seolah waktu dan rasa sakit telah menghapus ingatan akan siapa yang pernah memanggilnya “Mama”.
Aston terpaku. Ia melangkah mundur, dadanya sesak, lalu memutuskan keluar ruangan. Baru saja pintu terbuka, sosok Alecia berdiri di depan ambang. Wajahnya penuh cemas.
“Dia sadar?” tanya Alecia cepat.
Aston hanya mengangguk dan memberi jalan. Alecia langsung masuk, menghampiri ranjang ibunya. Dengan perlahan, ia menggenggam tangan Helena yang kurus dan dingin.
“Mamah... ini aku, Alecia,” ucapnya lembut.
Helena memandang putrinya. Mata itu tampak berkabut, namun di ujung sudutnya, sebutir air mata jatuh. Ia menggumam lagi, suaranya lirih namun jelas, “Anakku... wajahnya lebih cerah... lebih hangat...”
Alecia mengerutkan dahi. “Kenapa, Mamah? Kenapa Mamah berkata seperti itu?” tanyanya pelan, nyaris takut mendengar jawabannya.
Helena menoleh pelan, matanya masih berkaca. “Aku tidak mengerti... Mengapa hatiku terasa terhubung pada orang asing itu... dan bukan pada kalian…”
---
Aston keluar dari kamar ibunya dengan langkah berat. Di koridor, ia menemukan Amira sedang duduk santai di bangku panjang, menggulir layar ponselnya seolah tak terjadi apa-apa.
“Hei, kamu,” sapa Aston, suaranya berat namun menahan emosi.
Amira menoleh sambil tersenyum miring. “Hei juga. Ada apa, bos?”
“Ibuku... dia sudah sadar. Dan—dia mencarimu,” ujar Aston, wajahnya sulit ditebak, antara bingung, kesal, dan tak percaya.
Amira berdiri dengan angkuh. Senyumnya melebar, menyeringai penuh kemenangan. “Aku sudah bilang, orang pertama yang ibumu panggil pasti aku. Jadi kamu jangan macam-macam sama aku.”
Itu adalah ancaman paling blak-blakan yang pernah diterima Aston. Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, dia merasa goyah. Diam-diam, ada ketakutan yang muncul setiap kali Amira berbicara seperti itu.
“Cepat masuk,” perintah Aston, mencoba tegas.
“Tunggu dulu, santai saja bos... Aku ini penyelamat nyawa ibumu, ingat?” sahut Amira ringan, seolah ia pemegang kendali.
“Jangan banyak bicara. Masuk sekarang.”
Amira tertawa kecil, lalu melirik Renata di belakangnya. “Mah, ayo. Waktunya kita temui Mama.”
Aston hampir membuka mulut untuk melarang, tapi sorot mata Amira lebih dulu menahannya. Tajam. Penuh ancaman yang tak terucap. Ia mengalah. Lagi.
Amira dan Renata masuk ke kamar. Pintu terbuka perlahan. Di dalam, Helena terlihat menggenggam tangan Alecia yang duduk di sampingnya.
Alecia menoleh. Matanya langsung tertumbuk pada sosok yang baru masuk.
“Amira...” gumamnya lirih.
Ada sesuatu dalam nada itu. Jantung Alecia berdetak lebih cepat. Entah mengapa, setiap kali bertemu Amira, selalu ada getaran aneh di dadanya. Dan diam-diam, Amira pun merasakan hal yang sama.
kena jebakan sendiri nih...
felix ini yang jadi tangan kanan oma viona yang berusaha menyingkirkan keluarga wijaya dan bagus akan dijadikan pewaris....
wah, keren nih ceritanya 👍 makin seru
lanjut dong thor...
dipihak allesandro ada si rio....
jadi ini semua adalah jebakan mereka yang pasti ada dalang utama nya... membuat dua kubu saling berselisih paham, semoga cepat terbongkar...
kira2 siapa ya ? apa jangan2 yang disebut ayah oleh si bagus .....
lanjut dong thor❤️
allesandro tidak tahu kalau amira anaknya, tanpa disadari hasil TEs DNA sudah di sabotase....
alecia selidiki lebih lanjut tentang amira,,,
coba tes Dna ulang kembali pasti 99,9%.
siapa yang disebut bagus adalah ayah???
setiap kesalahan yang mengenai oma viona pasti dicuragai allesandro....
benarkan sudah disabotase hasil Tes DNA milik amira....
semoga secepatnya terbongkar kebusukan mereka....
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya