Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Hukuman dari Sang Ayah
Herald kini berdiri di tengah ruang besar mansion, dikelilingi oleh beberapa prajurit yang menjaga dirinya dengan tatapan serius. Pakaian yang ia kenakan tampak kotor dan acak-acakan, penuh dengan lumpur dan sisa-sisa bunga Dandelion yang menempel di rambutnya. Penampilannya yang berantakan itu membuatnya tampak lebih seperti seorang gelandangan daripada anak seorang bangsawan.
Di hadapannya, duduk dua orang yang tak asing baginya. Seorang pria dengan wajah penuh kekuatan dan kemarahan, serta seorang wanita yang mengenakan gaun coklat semata kaki, dengan rambut pirang panjang tergerai sampai pinggang. Wanita itu menatap Herald dengan kedua mata yang lebar, penuh kekhawatiran.
"Herald, syukurlah... akhirnya kamu kembali juga," suara wanita itu lembut, penuh kasih sayang. Ia melangkah maju, berusaha mendekati anaknya. "Ibu sangat mengkhawatirkanmu. Kemana saja kamu selama ini?"
Herald memalingkan wajahnya ke samping, menutupi rasa malunya saat mendengar pertanyaan itu. "Hmph! Ibu tidak usah khawatir sebegitunya. Aku sudah dewasa. Jadi kemanapun aku pergi, itu adalah keputusanku."
Wanita itu, yang tentu saja adalah ibu Herald, Asdella Enhart, terlihat menghela napas panjang, namun ia tak berani menekan lebih lanjut. Namun, tak lama setelah itu, pria yang duduk di kursi, yang sebelumnya diam saja, kini berdiri dengan gerakan cepat dan menghempaskan kedua tangannya ke atas meja.
Bam!
Suara hentakan keras itu membuat seluruh ruangan terdiam seketika. Herald sedikit terkejut, menoleh sekilas ke arah pria itu.
"Herald," suara pria itu berat, penuh amarah yang tertahan. "Apa kamu tahu masalah yang sudah kamu buat? Kamu menghilang begitu saja, membuat banyak orang khawatir. Hampir setiap hari para prajurit pergi ke hutan hanya untuk mencari kamu. Lihat seberapa repotnya kami hanya karena kelakuanmu! Bahkan ibumu selalu khawatir, dan kamu malah merasa tidak bersalah sama sekali!"
"Dan juga, Ayah mendapat laporan kalau kamu membuat keributan di tempat penjualan bunga. Untung saja kamu hanya merusak bunga-bunga liar. Tapi tetap saja, kami harus mengganti pot-pot yang hancur," tambahnya, dengan tatapan tajam.
Pria itu adalah Demios Enhart, ayah Herald, yang kini memandang anaknya dengan wajah yang dipenuhi kekesalan.
Herald membalas perkataan ayahnya itu dengan acuh tak acuh, "Seharusnya kalian tidak perlu mengkhawatirkan diriku. Aku ingin pergi kemana pun, itu terserah aku. Dan soal keributan di tempat bunga itu, itu semua salah prajurit yang mengejarku. Kalau saja mereka tidak mengejarku, mana mungkin kejadian seperti itu terjadi."
Ucapan Herald justru membuat ayahnya semakin kesal. "Kamu ini... dasar keras kepala! Ingat, kamu adalah satu-satunya pewaris yang akan menggantikan ayah suatu hari nanti. Jadi jaga sikapmu dan mulailah belajar. Tata krama dan perilakumu harus diperbaiki!"
Herald mendengus kesal. "Hah, menyebalkan," gumamnya sambil membuang muka.
Demios kembali duduk di kursinya, berusaha menenangkan diri. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang. "Sekarang, lebih baik kamu bersihkan dirimu dulu. Baru nanti kita akan tentukan hukuman yang pas untukmu."
"Bersihkan diriku?" Herald memandang tubuhnya dengan bingung, baru menyadari betapa kotor dirinya. Ia terdiam sejenak, menyadari betapa berantakan penampilannya saat itu.
***
Herald adalah anak dari Demios, seorang Barron yang memimpin desa ini. Sebagai anak tunggal, ia menjadi satu-satunya penerus keluarga Enhart. Sejak dulu, Herald dikenal sebagai anak nakal, dan sepertinya sifatnya tidak pernah berubah. Baru-baru ini, dia menghilang selama tiga hari, yang membuat seluruh desa cemas. Tak hanya itu, ia baru kembali setelah dikejar oleh rombongan prajurit yang dikirim oleh ayahnya.
Pada usia 16 tahun, Herald tengah berada dalam masa pubertas. Sifatnya yang labil dan lugunya membuatnya sering bertindak gegabah. Ia ingin merasakan kebebasan masa muda seutuhnya, meski itu berarti melanggar aturan dan larangan yang ada.
Akibatnya, Herald sering terjebak dalam masalah. Baik ayah maupun ibunya, keduanya sering memberinya nasihat, namun keras kepala Herald selalu mengabaikan peringatan mereka. Bahkan, akibat kelakuannya, ia sering harus menghadapi hukuman.
**
Beberapa menit setelah kejadian tadi, Herald kini sudah berada di dalam kamarnya. Beberapa prajurit menjaga di luar pintu, memastikan agar dia tidak kabur lagi. Dengan langkah malas, Herald menuju kamar mandi. Ia melepas pakaian yang kotor dan berantakan, kemudian tangannya menyentuh sebuah tangkai Dandelion yang masih menempel di baju. Ia menatap bunga itu lama, membolak-balikannya di tangan. Sekilas, wajah Herald mengeras, mengenang kejadian saat dirinya terjatuh dan bunga-bunga Dandelion yang terbang ke udara.
[Bunga seindah ini... ternyata bunga liar?] pikir Herald.
Pikirannya melayang pada ucapan ayahnya yang sempat menyebutkan bunga Dandelion sebagai tanaman liar yang rusak akibat kelakuannya. Padahal menurut Herald, bunga itu begitu indah dan layak untuk dipuji, meski ia termasuk bunga liar.
Setelah itu, Herald berjalan menuju jendela yang ada di samping kanannya. Ia membukanya, membiarkan angin sepoi-sepoi masuk ke dalam kamar. Rambutnya terangkat sedikit, tertiup angin. Herald memandang bunga Dandelion yang masih ada di tangannya, lalu melemparkannya keluar dari jendela. Bunga itu terbang melayang, tertiup angin hingga akhirnya hilang dari pandangannya.
Melihat bunga itu mengingatkannya pada dirinya sendiri, yang pernah pergi dari rumah ini. Bedanya, bunga itu tidak akan pernah kembali lagi, sementara dirinya kini kembali lagi ke sini.
Herald menatap sejenak ke luar jendela, lalu menutupnya perlahan. Dengan langkah malas, ia bergegas untuk mandi, mencoba membersihkan dirinya dari kekacauan yang ia buat.
Setelah cukup lama berada di kamar mandi, Herald kini sudah bersih. Ia segera mengenakan pakaian barunya dan bergegas menuju ruangan ayahnya. Begitu sampai di sana, ia siap untuk menerima hukuman yang telah dijanjikan. Sesuai dengan yang telah dibicarakan sebelumnya, hukuman bagi Herald adalah berlatih pedang sepanjang hari. Ia sudah menghilang selama beberapa hari, melewatkan rutinitas latihannya, dan ini adalah cara ayahnya untuk mengembalikannya ke jalur yang benar.
Walau terdengar mudah, kenyataannya tidak demikian. Herald harus mengayunkan pedangnya tanpa henti sepanjang hari, bersama pelatih dan beberapa prajurit. Latihan ini berlanjut hingga matahari terbenam tanpa ada waktu istirahat. Pada malam hari, setelah semuanya selesai, Herald hanya bisa terbaring lemas di kamarnya, merasa tak berdaya. Ia harus beristirahat, memulihkan tenaga, dan memikirkan hukuman yang akan datang di hari berikutnya.
Hukuman itu berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Setiap hari, seluruh kekuatan Herald diuji. Di satu sisi, kemampuan berpedangnya meningkat, namun di sisi lain, kelelahan yang luar biasa membuatnya hampir tak mampu bergerak. Tempat ini rasanya seperti neraka baginya.
Dan akhirnya, hari ketiga tiba...
Herald sudah sangat lelah. Pedangnya terasa begitu berat, dan setiap ayunan membutuhkan waktu beberapa detik. Pelatih yang melihat kondisinya merasa kasihan dan mencoba membujuknya untuk beristirahat.
"Herald, lebih baik kita beristirahat sebentar. Kamu sudah sangat kelelahan..." ujar pelatih dengan nada khawatir.
Namun, Herald tetap bertahan. "Tidak, kita lanjutkan saja sampai selesai," jawabnya dengan tegas meskipun napasnya mulai tersengal.
Pelatih itu hanya bisa terdiam, tidak membalas kata-kata Herald. Latihan pun berlanjut.
Saat mereka berlatih, tiba-tiba ayah Herald muncul di tempat itu sambil membawa sebuah gulungan pesan.
"Herald, berhenti!" ucapnya dengan suara lantang, membuat Herald dan pelatih segera menghentikan latihan mereka.
Mereka menatap ke arah ayah Herald yang berdiri tegak di depan mereka.
"Herald, ikut ayah ke ruangan. Ada yang ingin ayah bicarakan," perintah Demios, lalu berbalik dan berjalan pergi.
Herald terdiam, matanya mengikuti ayahnya pergi. Dalam pikirannya, muncul pertanyaan-pertanyaan yang berputar.
Kenapa ayah memanggilku ke ruangan?
[Jangan-jangan, dia akan menambah hukumanku... Ah bakalan merepotkan sekali ini.]
Keringat dingin mulai bercampur dengan keringat latihan yang masih menempel di tubuhnya. Ia berpikir sejenak, jika alasan ayah memanggilnya adalah untuk memberi hukuman tambahan, maka ada kemungkinan besar ia akan semakin menderita.
[Kurasa aku harus melarikan diri lagi.]
Hanya satu jalan keluar yang ia pikirkan—melarikan diri. Jika tidak, mungkin hukumannya akan semakin parah. Dengan cepat, Herald mulai melangkah menjauh dari arah ruangan ayahnya, berniat untuk kabur.
Namun, baru beberapa langkah ia bergerak, sebuah tangan tiba-tiba memegang pundaknya. Tanpa ia duga, pelatihnya sudah berada di sampingnya.
"Herald, kamu mau kemana?" tanya pelatihnya dengan nada lembut namun penuh pengertian.
Herald perlahan menoleh, wajahnya terlihat gugup. "A-anu..." ia mencoba memberikan alasan, namun belum sempat ia melanjutkan, pelatih sudah memotong kata-katanya.
"Jangan bilang kalau kamu berniat melarikan diri lagi?" tanya pelatih dengan tegas.
Keringat dingin semakin bercucuran. Herald tahu pelatihnya sudah menyadari niatnya. Ia menepuk dahinya, menyerah pada kenyataan.
"Sudah kuduga," gumamnya. "Huf... lebih baik kalau aku yang mengantarmu ke ruangan ayah."
Herald hanya bisa menghela napas panjang. Tak ada jalan untuk melarikan diri kali ini. Dengan terpaksa, ia mengikuti pelatihnya menuju ruangan ayah, siap untuk menerima hukuman yang belum diketahui apa bentuknya.