Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11
Michael mengerutkan kening, menatapnya dengan penuh kecurigaan. "Kau pikir aku akan memberimu jawaban begitu saja?" suaranya tegas, penuh peringatan. "Aku bukan temanmu."
Namun, Amina tidak terganggu. Dia tahu persis bagaimana menavigasi ketegangan ini, mengendalikan suasana. Dalam diam, dia mengamati gerak-gerik Michael. "Aku tidak memintamu untuk jadi teman. Aku hanya ingin tahu siapa yang benar-benar ada di balik pembunuhan itu," jawabnya, sambil melangkah mendekat, menandakan dia tidak akan pergi begitu saja.
Michael berhenti, napasnya berat, dan matanya sedikit melembut. "Itu bukan pekerjaan kami," katanya perlahan, matanya melirik ke samping seolah takut mendengar kata-katanya sendiri. "Ada kelompok lain... lebih besar. Mereka..." Dia berhenti, seperti takut akan bahaya yang lebih besar jika dia melanjutkan.
Amina menajamkan pendengarannya, perasaan berdebar mulai menyelimutinya. Kelompok lain? Lebih besar? Kata-kata itu menggantung di udara, lebih berat dari yang dia bayangkan. "Kelompok lain? Apa maksudmu? Siapa mereka?" Amina bertanya, hampir tak bisa menahan rasa ingin tahu yang mendalam.
Tapi Michael hanya menggelengkan kepala, tampak bingung dan terjebak antara ingin mengungkapkan kebenaran dan rasa takut akan konsekuensinya. "Aku tidak bisa memberitahumu lebih banyak... Bukan saat ini."
Amina mengamati ekspresinya, wajahnya terbalut kecemasan yang dalam. "Jadi kamu tahu lebih banyak... tapi kamu memilih diam," desahnya dalam hati, merasakan frustrasi yang mendorongnya untuk menggali lebih dalam. "Apa yang sedang kamu sembunyikan?"
Sebelum Amina bisa melangkah lebih jauh dalam percakapan itu, sebuah suara langkah kaki yang berat terdengar dari belakang. Amina langsung menoleh, hati berdegup lebih cepat. Seseorang mengikutinya.
Dengan sigap, Amina mempercepat langkahnya, berusaha menjaga jarak. Suara langkah itu semakin dekat, semakin cepat. "Siapa ini?" pikirnya, otaknya berputar, mencoba mengidentifikasi siapa yang mengikuti.
Dia berbalik, dan tanpa peringatan, sosok berbaju hitam muncul di depannya, memblokir jalan. Amina terhenti sejenak. Sosok itu tinggi, dengan tubuh kekar, wajahnya tersembunyi di balik masker hitam. Seolah sudah menunggu, dia berdiri di sana, dengan tangan terlipat, seolah mengamatinya dengan tatapan kosong yang penuh ancaman.
"Lalu kamu siapa?" Amina bertanya, suaranya bergetar sedikit, namun dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa takut.
Sosok itu tidak menjawab, hanya diam, menatapnya tanpa ekspresi. Amina merasakan ketegangan yang mencekam. "Aku harus tetap tenang," pikirnya, otaknya mulai bekerja lebih cepat, mencari jalan keluar. Dia tahu bahwa sosok ini bukan orang sembarangan, gerakannya cepat, penuh kekuatan tersembunyi.
Amina menilai situasi dengan cepat, memindahkan berat tubuhnya ke kaki kanan, siap melompat atau menyerang jika diperlukan. "Dia bukan hanya penghalang biasa. Ada yang lebih besar di balik ini." Amina merasakan aura bahaya yang kuat.
Tiba-tiba, sosok itu bergerak dengan sangat cepat, hampir secepat kilat. Amina, dengan refleks terlatih, melompat ke samping, menghindari serangan yang datang begitu mendekat. "Sial!" geramnya dalam hati, namun tubuhnya tidak berhenti bergerak. Instingnya berkata untuk tidak berhenti, terus bergerak, mencari celah.
Dalam sekilas pandang, Amina melihat betapa lihainya sosok ini. "Tidak mungkin dia hanya seorang penghalang biasa." Setiap gerakan sosok itu terkoordinasi sempurna, seperti mesin, terlatih dalam setiap langkah. Amina merasa dikepung, tapi dia tak boleh lengah.
Dengan sekali gerakan gesit, Amina berhasil melewati sosok itu, berlari secepat mungkin menembus malam yang semakin pekat. "Ini lebih besar dari yang kukira." Hatinya berdegup kencang, tubuhnya hampir kehabisan tenaga, tapi dia tidak bisa berhenti. Semua petunjuk yang dia dapatkan semakin menunjukkan bahwa ada jaringan yang lebih besar di balik pembunuhan yang dia selidiki—sebuah permainan yang jauh lebih rumit dan lebih berbahaya daripada yang pernah dia bayangkan.
Di tengah pelariannya, Amina mendengar suara langkah kaki lain, lebih ringan, namun lebih cepat. "Dia tidak sendirian." Sesuatu yang lebih gelap dari yang dia duga mulai mengejarnya. "Harus lebih cepat." Tubuhnya terasa berat, namun pikirannya tetap tajam. Langkah demi langkah, dia terus berlari, tanpa tahu pasti siapa lagi yang mengintainya.
Saat dia melirik ke belakang sekali lagi, sosok misterius itu hilang, namun perasaan terperangkap semakin kuat. "Apakah ini hanya permulaan?" Amina bertanya pada dirinya sendiri, sebuah pertanyaan yang penuh dengan rasa takut dan rasa ingin tahu yang mendalam.
Amina berlari, kakinya menyentuh tanah dengan kecepatan yang hampir tak terbayangkan. Desir angin menggigit kulitnya, namun rasa panas yang menyengat di tengkuknya lebih terasa. Tubuhnya lelah, tapi ia tidak bisa berhenti. Jantungnya berdetak kencang, seolah-olah ingin keluar dari dada. Langkahnya semakin cepat, namun suara langkah kaki yang mengikutinya masih terdengar jelas di telinganya, meskipun semakin jauh.
"Siapa mereka?" pikirnya dalam hati. Matanya terus melirik ke belakang, meski ia tahu, meskipun dirinya tak melihat siapa pun, mereka pasti ada di sana mengikutinya, menunggunya. Setiap bayangan di malam itu bisa saja menjadi ancaman. Amina menahan napas, merasakan keringat dingin yang mengalir di punggungnya.
Dan saat itulah, sebuah mobil hitam meluncur ke arahnya. Kaca mobil yang gelap menambah misteri dari kendaraan itu, seolah-olah ia tidak ingin dikenal. Amina sempat tertegun sejenak, sebelum suara pintu yang dibuka dengan cepat terdengar di telinganya. Dua sosok berbalut pakaian hitam, tampak seperti bayangan yang keluar dari malam itu, langsung menangkap tubuhnya.
"Berhenti!" Amina menjerit, berusaha melawan, namun cengkeraman mereka begitu kuat, membuat tubuhnya seperti terperangkap dalam jaring tak terlihat. Pukulan dan tendangan tidak bisa dia lepaskan. Salah seorang dari mereka menahan kedua lengannya, sementara yang lain dengan kasar memaksanya masuk ke dalam mobil. Pintu ditutup dengan suara yang menekan, mengurungnya dalam kegelapan.
Amina hanya bisa mendengus pelan, merasa tubuhnya terhimpit oleh panas dan ketakutan yang mencekam. Kenapa ini terjadi padaku? Siapa yang menginginkanku?
Panas yang menyebar di tengkuknya semakin terasa. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan segala sesuatu yang familiar. Amina menatap jalanan yang terbentang, mencoba menenangkan dirinya. Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Setiap percakapan yang ada di kepalanya terdengar hampa. Hanya ada satu hal yang pasti, kegelapan ini, dunia yang baru saja ia masuki, jauh lebih berbahaya daripada yang ia kira.
Ketika mobil akhirnya berhenti, Amina tidak tahu lagi apa yang akan terjadi. Di luar mobil, suara langkah berat terdengar mendekat. Begitu pintu mobil terbuka, tangan kasar langsung menariknya keluar. Amina terengah-engah, mencoba berdiri tegak meski tubuhnya terasa lemas.
"Diam," kata salah satu pria itu dengan nada rendah. "Ikuti kami."
Amina tidak bisa berbuat banyak. Tubuhnya dibawa ke sebuah ruangan gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang yang membuat bayangan-bayangan tampak bergerak. Kaki Amina menjejak lantai dingin. Ruangan itu sepi, kecuali satu sosok yang berdiri tidak jauh darinya.
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.