Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Satu cup Java Mild Ice Latte kedengarannya oke untuk memulai hari yang terik ini. Maka, sepulangnya dari kampus, Kayanara membelokkan mobilnya ke coffe shop langganan sebelum pulang ke apartemen.
Slot parkir tersisa banyak ketika dia tiba. Sebuah hal yang wajar sebab kini sudah masuk jam kerja sehingga tak banyak dari pekerja kantoran di gedung-gedung seberang yang masih berkeliaran untuk mendapatkan morning coffee mereka.
Kayanara berjalan masuk ke coffe shop dengan papan nama segede gaban berwarna hitam itu. Bunyi lonceng menyambutnya setelah mendorong pintu kaca, disusul senyum ramah barista laki-laki yang berjaga di balik counter dengan apron cokelat tua melilit di pinggangnya.
“Java Mild Ice Latte satu, normal ice dan less sugar,” pintanya.
“Java Mild Ice Latte normal ice dan less sugar satu, ada lagi tambahannya, Kak?”
“Tambah butter croissant dua deh, udah itu aja.”
Si barista mengulang pesanan, kemudian menanyakan metode pembayaran. Kayanara mengelurkan kartu debit tanpa pikir panjang. Akhir-akhir ini tak suka terlalu banyak menyimpan tunai di dompet—terlalu merepotkan.
Pembayaran selesai dilakukan dalam waktu singkat. Selagi menunggu pesanannya selesai dibuat, pandangan Kayanara menyapu seluruh sudut coffee shop yang tampak lengang.
Biasanya, pengunjung baru akan berdatangan di sore hari—para pekerja kantoran yang lelah setelah seharian berkutat di gedung tinggi, para mahasiswa semester akhir yang sedang pusing menyusun skripsi, atau sepasang muda-mudi mabuk cinta yang sedang ingin memadu kasih sambil menikmati segelas kopi. Mereka akan tersebar di seluruh bangku, tenggelam dalam kegiatan masing-masing sambil diiringi alunan lagu-lagu hits pilihan yang selalu diupdate agar tidak ketinggalan zaman.
Di hari Sabtu, sejak jam 3 sore, juga aka nada panggung live music yang membolehkan pengunjung naik menyumbang suara. Satu daya tarik lain yang membuat tempat ini begitu dinikmati di antara yang lainnya.
Terlalu asyik menjelajahi setiap sudut, Kayanara tak menyadari ada seseorang yang tengah melangkah ke arahnya, tersenyum begitu lebar dengan sepasang mata yang menyorot hangat.
Ia baru tersentak dari lamunannya ketika suara nyaring memanggil namanya—lantang dan penuh semangat, disertai lambaian tangan yang tak kalah antusias.
"Kak Tejas?” gumamnya, masih setengah percaya bahwa sosok lelaki jangkung yang sedang berjalan ke arahnya itu adalah Tejas Wisesa—senior di kampus yang pernah dia taksir dulu.
Kabar terakhir yang Kayanara terima menyebutkan bahwa lelaki itu telah pindah ke luar kota untuk mengurus bisnis keluarga, sekitar empat tahun lalu. Maka, tak heran jika rasanya agak mustahil bisa melihatnya berdiri di hadapannya sekarang.
“How have you been, Darling?” sapa Tejas dengan senyum khasnya yang menawan.
Darling adalah sapaan umum dari lelaki itu kepada siapa saja yang dia anggap dekat, jadi Kayanara tahu diri untuk tidak terlalu larut hanya karena panggilan itu. Tapi dia tak bisa membohongi dirinya sendiri—netra cokelat terang milik lelaki itu masih sanggup membuatnya terkesima.
“I’m good. How about you? Is your business running well?” Kayanara balik bertanya.
“I’m super good. Bisnis lancar, sih ... ya, goyang-goyang dikit lah pas pandemi kemarin. Tapi overall masih oke,” jawab Tejas santai.
“Glad to hear that,” komentarnya. Ia berbalik sebentar untuk mengambil pesanannya yang sudah siap, mengucap terima kasih pada barista, lalu kembali berdiri berhadapan dengan Tejas. “Want to get your morning coffee?” tanyanya.
Tejas mengangguk. “Butuh asupan kafein yang cukup buat bekal lembur.”
“Lembur?” Kayanara mengerutkan kening, heran.
Mendapati ekspresi bingung itu, Tejas terkekeh pelan. “Iya, lembur. Gue urus kantor yang di Jakarta sekarang, udah sekitar dua bulan,” jelasnya.
“Ah ... I see.” Kayanara mengangguk pelan.
“Lo sendiri sibuk apa sekarang?” tanya Tejas sambil melangkah mendekati counter untuk memesan minuman.
“Pengangguran,” celetuk Kayanara cepat, lalu terkikik sendiri.
Jawaban itu membuat Tejas menoleh dengan tatapan heran. “Ini serius atau bercanda?”
Raut polos yang menyertai pertanyaan itu sukses membuat tawa Kayanara pecah. Sudah sekian lama tak bertemu, ternyata Tejas masih sama seperti dulu. Katanya, seseorang memang tidak akan berubah... kecuali ajalnya sudah dekat.
“Aku freelance di beberapa platform berita online,” jawabnya ringkas setelah tawanya mereda.
"Oh ya? Kategori apa?” tanya Tejas, tampak tertarik.
“Entertainment,” jawab Kayanara.
“Termasuk berita KPop?” tebak Tejas antusias.
Kayanara tersenyum. Rupanya Tejas masih ingat—dulu semasa kuliah, dia begitu tergila-gila pada semua hal yang berbau Korea, mulai dari KPop sampai K-drama.
“Iya, termasuk KPop.” Meski kini dia sudah tak sefanatik dulu dalam mengagumi segala hal dari negeri ginseng tersebut. Semakin tua, semakin sedikit energinya untuk kegiatan fangirling.
“Seru ya, bisa kerja di bidang yang benar-benar disukai,” ujar Tejas. Ada nada samar dalam suaranya, perpaduan antara rasa sedih dan… iri?
“Seru. Tapi buat sampai di titik ini, aku harus jungkir balik dulu. You would never believe kalau aku dulu bahkan sempat kerja jadi sales asuransi.”
Pandangan Kayanara menerawang, mengingat masa-masa suram ketika ia harus menelepon puluhan orang dalam sehari dan mengulang penjelasan yang sama, hanya demi mengejar target.
Aduh. Kalau ingat masa-masa itu, rasanya sedih sekali. Dia yang introvert malah harus terjun ke bidang yang memaksanya berinteraksi dengan banyak orang—dengan segala rupa karakter dan sikap—demi sesuap nasi.
“You did well, Darling.”
Kayanara refleks menunduk sedikit saat merasakan tepukan halus di puncak kepalanya. Kebiasaan lama Tejas itu... masih saja membuat jantungnya berdebar. Seperti kata orang-orang, yang diajak rambut, tapi hati yang berantakan.
Halah. Masa lalu.
Tejas mungkin akan terus menepuk-nepuk kepalanya kalau saja bartender di belakang mereka tidak menginterupsi.
Dengan sigap, Tejas bergerak mengambil pesanannya dan kembali ke sisi Kayanara secepat sambaran kilat.
“Gue masih punya waktu 30 menit sebelum balik ke kantor. Mau ngobrol dulu di depan?” tawarnya.
Kayanara berpikir sejenak, lalu mengangguk. Hitung-hitung reuni setelah sekian lama tidak mendengar suara merdu lelaki itu.
Mereka melangkah keluar dari coffee shop dan mengambil tempat duduk di area depan yang menghadap langsung ke jalanan.
Satu meja bundar mereka pilih. Duduk berseberangan, mereka menyesap minuman masing-masing—menikmati sensasi dingin yang turun perlahan menyusuri tenggorokan, sebelum obrolan kembali mengalir.
“Oh ya, gimana kabarnya Michelle?” Tejas memulai lagi.
“She’s doing well,” jawab Kayanara sambil meletakkan cup ke atas meja. “Beberapa bulan lagi dia nikah.”
“Sama Banyu?”
Kayanara menggeleng sambil terkekeh pelan. “Edward.”
“Edward yang setengah bule itu?!” Tejas hampir berteriak. Matanya melebar, jelas terkejut.
Kayanara tertawa kecil. Dari dulu, Tejas memang ekspresif. Menggemaskan.
“Padahal dulu dia semangat banget mau nikah sama Mas-Mas Jawa,” gumam Tejas, mengingat Michelle yang dulu begitu bucin pada kekasihnya—Banyu, si pria Jawa santun nan soleh idaman para calon mertua.
"Namanya juga hidup. Kadang rencana bisa berubah di tengah jalan. Tahu-tahu putar balik padahal sebentar lagi sampai tujuan,” komentar Kayanara sembari kembali menyedot minumannya. Matanya melirik jalanan yang kini makin sepi.
“Kalau lo sendiri gimana? Ada plan juga buat menikah dalam waktu dekat? Calonnya udah ada?”
Pertanyaan itu tidak langsung ia jawab. Kayanara hanya menoleh sekilas, tersenyum tipis, lalu kembali mengarahkan pandangan ke jalanan.
Entahlah. Dia tidak terlalu suka membagi rencana kepada siapa pun. Dari pengalaman, rencana yang diumbar justru lebih sering berakhir berantakan.
Lagi pula, semuanya masih abu-abu untuk dijawab dengan “iya” atau “tidak”. Perjuangannya menghadapi Naren masih panjang. Jadi, untuk saat ini... biarlah semua mengalir seperti air dari hulu ke hilir.
Bersambung....