Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Deandra Argadewantara, sang direktur utama yang terkenal dingin dan penuh perhitungan, duduk santai di kursi sofa empuk ruang kerjanya.
Dengan satu tangan menggenggam cangkir teh hangat, matanya tertuju pada pemandangan luar jendela yang luas, meski pikirannya jelas tak sepenuhnya terfokus pada keindahan luar.
Pikirannya melayang, mencerna informasi yang baru saja diterimanya dan itu bukanlah kabar baik.
Apa yang ditemukan Deon, putranya yang selama ini dianggap masih terlalu hijau dan tak berdaya dalam dunia korporasi, ternyata bisa mengguncang fondasi perusahaan besar yang telah dibangunnya dengan keras.
Dokumen yang tersebar, transaksi yang bocor ke publik, dan bukti-bukti manipulasi yang tak terduga. Semua itu bukan hanya masalah kecil. Itu seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Namun, meskipun guncangan itu terasa, Deandra tetap tenang. Keadaannya jelas lebih rumit dari yang diperkirakan, tapi masalah terbesar saat ini bukan tentang bagaimana dia akan mengatasi kerugian yang sedang mengancam perusahaannya, atau bagaimana dia akan menenangkan dewan direksi yang semakin resah. Masalah utamanya adalah sang anak.
Deon.
Sang putra yang dulu ia anggap hanya sebagai bocah yang belum mengerti dunia ini, kini malah menjadi ancaman terbesar bagi kerajaan bisnis yang telah dia ciptakan. Satu langkah salah, dan reputasi perusahaan bisa hancur.
"Tapi aku tidak akan membiarkan dia mengacaukan lebih banyak lagi," gumam Deandra pelan, meneguk tehnya sekali lagi dengan santai. Dia tahu satu hal yang pasti Deon harus dihentikan sebelum semuanya menjadi lebih buruk.
Hanya saja, untuk menghentikan langkah anaknya yang sudah terlanjur berjalan, Deandra tahu dia harus berhadapan dengan anaknya. Dan itu bukan sesuatu yang mudah.
Tapi dia tidak akan ragu. Deon harus belajar apa artinya konsekuensi. Apalagi jika itu adalah sesuatu hal yang berbahaya seperti ini.
Dengan tatapan yang semakin tajam, Deandra meletakkan cangkir tehnya dengan hati-hati di atas meja, lalu menatap pintu yang akan segera terbuka. "Deon," ucapnya dalam hati, "Semuanya harus selesai hari ini."
Pintu ruang direktur terbuka dengan suara yang memecah keheningan, dan Deon memasuki ruangan itu dengan langkah tenang, meski setiap inci tubuhnya dipenuhi ketegangan yang tak terlihat.
Deandra menatap putranya, matanya penuh perhitungan, seolah dia tengah mempersiapkan setiap langkah untuk perang yang akan datang.
"Deon," suara Deandra terdengar tegas, lebih seperti perintah daripada panggilan. "Kamu datang tepat pada waktunya."
Deon berdiri tegak, tak gentar sedikit pun, meski atmosfer ruangan semakin menegangkan. "Saya tahu apa yang Ayah ingin bicarakan," jawabnya dengan nada datar, penuh kewaspadaan.
Deandra meletakkan cangkir tehnya dengan sangat hati-hati, seolah-olah setiap gerakan itu dihitung.
"Kamu tahu betul apa yang telah kamu lakukan," katanya, suaranya lebih dingin dan tajam dari biasanya. "Kamu telah mengguncang perusahaan ini dengan cara yang bahkan tidak aku bayangkan. Semua yang telah kita bangun, hancur dalam semalam hanya karena kebodohan kamu."
Deon tidak mundur, tatapannya tetap penuh tantangan. "Kalau menurut Ayah itu kebodohan, berarti saya memang salah memilih jalan. Tapi jangan salah, Ayah, saya tidak takut mengambil risiko."
Deandra berdiri, menatap anaknya dengan mata yang penuh api. "Kamu menganggap ini permainan? Kalau begitu, kamu belum paham apa yang sedang kamu hadapi. Kamu bisa jadi pahlawan di luar sana, tapi di dunia ini, ada harga yang harus dibayar untuk setiap langkah yang kita ambil."
Deon tetap diam, menunggu. Namun, ada kilatan tajam di matanya yang mengisyaratkan bahwa dia siap menghadapi apapun yang datang.
"Jadi, apa yang kamu inginkan, Deon?" tanya Deandra dengan nada yang penuh ancaman, suara rendah yang membuat setiap kata terasa lebih berat dari sebelumnya.
Deon mengangkat alis, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Saya hanya ingin tahu, Ayah, seberapa jauh Ayah siap melangkah untuk menghentikan saya."
Deon berdiri dengan sikap yang lebih tegas, matanya menatap tajam ke arah ayahnya yang masih duduk di depannya. Suasana dalam ruangan itu semakin mencekam, namun Deon tak gentar sedikit pun.
"Dan satu lagi, Ayah... Saya benar-benar bingung sekarang," ucap Deon dengan nada yang tajam, seolah menantang. "Bukankah seharusnya pemilik perusahaan itu senang jika penggelapan dana mereka terungkap? Itu artinya perusahaan tidak akan lebih jauh mengalami kerugian. Tapi kenapa justru sebaliknya? Kenapa Ayah marah dan menganggap apa yang saya lakukan sebagai kebodohan?!"
Deon berhenti sejenak, memandang ayahnya yang tampak semakin tertekan, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih menggebu. "Ayah, bukannya lebih baik rugi karena semuanya terungkap, daripada rugi karena membiarkan mereka memakai uang perusahaan Ayah seenaknya? Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah?"
Tiba-tiba, sesuatu di dalam diri Deon menyadarkan dirinya akan kejanggalan yang tak biasa. Kata-katanya berhenti sejenak di udara, dan dia merasakan ada ketegangan yang lebih dalam dari sekadar masalah penggelapan uang ini. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang tersembunyi. Sesuatu yang lebih dari sekadar marahnya seorang ayah terhadap putranya.
"Ini bukan cuma soal uang, bukan?" Deon melanjutkan, suaranya mulai berubah. "Ada hal lain yang Ayah sembunyikan, kan? Sesuatu yang lebih besar dari sekadar kerugian atau kehancuran reputasi perusahaan ini. Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah?"
Deandra yang semula terlihat sangat tenang, kini tampak merubah ekspresinya. Tatapannya semakin keras, dan ketegangan di ruang itu makin terasa. Deon, yang mulai menyadari ada sesuatu yang lebih dari apa yang dilihatnya, menatap ayahnya dengan penuh kecurigaan.
"Ayah," Deon berkata dengan lebih dalam, "apa yang Ayah sembunyikan dari saya? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik semua ini?"
Deandra terdiam sejenak, seperti sedang memikirkan apakah akan melanjutkan perbincangan ini atau menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Namun, Deon tahu, ada yang tak beres. Terdengar desahan dari bibir Deandra, dan matanya yang semula tajam kini dipenuhi keraguan.
Dia memutar tubuhnya dan berjalan ke jendela besar, menatap kota yang seolah tak bisa memberikan jawaban atas kegelisahan yang menghantui dirinya.
Deon mendekat, langkahnya penuh keyakinan, dan suaranya kini berubah lebih serius, "Ayah, saya tidak bodoh. Semua ini, semua yang terjadi terlalu terstruktur. Sepertinya ada yang sedang disembunyikan, dan saya ingin tahu apa itu."
Deandra menoleh perlahan, matanya yang sebelumnya dingin kini menyiratkan kecemasan yang sulit disembunyikan. "Deon," suaranya berat, hampir seperti bisikan, "ada banyak hal yang kamu belum siap untuk tahu."
"Jangan coba menghindar, Ayah!" Deon menatapnya langsung, dengan tatapan yang tak tergoyahkan. "Kalau ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar penggelapan ini, saya berhak tahu! Apa yang sebenarnya ada di balik semua ini?"
Deandra menatap putranya dengan wajah yang seakan berperang dengan dirinya sendiri. Detik-detik yang terasa berat menggantung di udara. Akhirnya, Deandra menghela napas panjang, dan bibirnya terkatup rapat. Tapi saat itulah, sesuatu yang sangat mencengangkan keluar dari mulutnya.
"Semuanya... bukan hanya tentang uang," kata Deandra pelan, suaranya begitu dalam, seperti mengandung beban yang sulit diterima. "Ada banyak yang terlibat dalam permainan ini, Deon. Bukan hanya perusahaan kita. Kalau sampai salah langkah, bukan hanya reputasi yang akan hilang. Kami semua bisa kehilangan jauh lebih dari itu."
Deon terdiam, rasa penasaran dan ketegangan di dalam dirinya membuncah. "Apa maksud Ayah?" tanyanya, hampir berbisik, tak bisa menahan rasa ingin tahu yang mendalam.
Deandra menatapnya dengan ekspresi yang campur aduk, lalu akhirnya dengan suara berat dan penuh arti, ia berkata, "Ada orang-orang yang lebih besar dari kita, Deon. Mereka tidak hanya ingin merusak perusahaan, mereka ingin mengendalikan segalanya. Dan kamu, putraku, mungkin terjebak di dalamnya tanpa kau tahu."
Deon merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Apa yang Ayah maksudkan dengan itu?" tanyanya, suaranya serak. "Kenapa saya juga ikut terlibat sedangkan saya tidak tahu apa apa ayah?"
__
Deon membuka pintu rooftop yang terletak di lantai 36 itu dengan kekuatan yang hampir menghancurkan pintu. Tanpa perasaan, dia menendang tong sampah yang berdiri diam di sana, membuat benda itu jatuh terbalik dengan suara berdebam.
"Sialan!" teriak Deon, frustrasi dan marah.
Mata Deon terbuka lebar, namun masih dipenuhi kebingungan yang makin dalam. "Maksud Ayah apaan sih? Gue bener-bener nggak ngerti!" Dia menghela napas kasar, seolah mencoba meredakan kegelisahan dalam dirinya. "Apa selama ini Ayah menyembunyikan sesuatu di belakang gue? Apa selama gue nggak peduli, perusahaan ini diam-diam nggak baik-baik aja?!"
Deon terus berputar-putar di sekitar rooftop, berlarian kesana kemari, suara kakinya yang menghentak seakan mewakili ketegangan yang tak bisa dia bendung. "No, no, no! Mungkin terjadi sesuatu? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?"
Frustrasi yang semakin menggila membuatnya berbicara sendiri, meracau tentang segala hal yang tak bisa dia pecahkan. Setiap pertanyaan yang dia lontarkan hanya semakin menambah kebingungannya, membanjiri dirinya dengan ketidakpastian yang semakin mencekam.
Namun, tiba-tiba suara Gwen yang santai menggelegar di balik pemandangan kota yang luas. Tanpa terburu-buru, Gwen muncul di sudut rooftop, duduk santai dengan secangkir kopi di tangan, menatap jalanan di bawah sana seolah dunia ini tak ada apa-apanya.
"Mungkin lo bisa cari tahu sendiri?" Gwen berkata pelan, suaranya datar, namun mengandung makna yang mendalam. Dia menoleh sesaat ke arah Deon, dengan senyum tipis yang sulit dibaca. "Kalo lo ngerasa ada sesuatu yang janggal, coba lo gali lebih dalam. Mungkin jawabannya ada di depan mata lo."
Deon, yang baru saja hampir meledak dengan amarah, terkesiap melihat Gwen yang muncul begitu tiba-tiba.
"Gwen! Lo tuh kek hantu ya, lama-lama. Di mana-mana ada lo! Lo nggak kerja apa?" serunya dengan nada yang bercampur antara heran dan kesal.
Gwen hanya terkekeh kecil, tidak terburu-buru menjawab. "Kerja, dong," jawabnya santai. "Tapi gue nggak mau jadi orang yang gila kerja. Gue yang capek-capek kerja, orang lain yang diangkat jadi karyawan tetap. Mending nyantai aja, nggak sih?"
Deon menatapnya bingung, tak bisa memutuskan apakah dia sedang bercanda atau berbicara dengan serius. Namun, satu hal yang pasti Gwen selalu ada, dengan cara yang sangat berbeda dari orang-orang di sekitarnya.
Dan mungkin, hanya Gwen yang bisa memberikan sedikit petunjuk untuk membuka jalan yang kini terasa begitu gelap dan misterius.