"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
"Ha? Gimana? Kok bisa nggak paham dengan kekuatanmu sendiri, Bethari? Jangan ngelawak deh! Aku sampai kesakitan kayak tadi loh!" dengus Lingga kesal seraya memijit-mijit lengannya sendiri.
Syaidra duduk di hadapan Lingga dengan terkekeh. "Haha... biar aku jelaskan... sebenarnya aku berencana memberikanmu sebuah kekuatan untuk mengendalikan roh agar bisa membantumu bertahan di dunia ini. Namun, saat proses itu terjadi, kamu malah mampu menerima segala amarah dan dendam dari jiwa-jiwa yang tersesat itu. Entah apa sebenarnya yang terjadi, sehingga hal itu membuat energi chakra-mu terbentuk semakin sempurna. Padahal normalnya, manusia dari dunia lain sepertimu perlu adaptasi dan belajar bertahun-tahun untuk membentuk pola aliran chakra yang solid dan kokoh di dalam tubuh. Tapi, ini sungguh di luar dugaan! Kamu telah mendapatkan kekuatan besar yang mungkin mampu mengendalikan alam roh, mengendalikan hidup dan mati, memanfaatkan kekuatan sebuah jiwa, serta mampu menyerap energi kehidupan orang lain. Setidaknya itu yang bisa aku tangkap dari proses penyaluran kekuatan tadi. Aku sendiri tak tahu, mungkin karena faktor keberuntungan semata atau memang kamu mempunyai bakat! Sekali lagi, selamat, Lingga! Kamu telah menjadi sosok manusia yang mempunyai kekuatan melebihi dewa sepertiku. Dan... aku sangat bangga!"
"Berarti aku lebih kuat dari kamu, dong?" tanya Lingga dengan senyum sombong.
Syaidra mengangguk. "Aku berani menjamin, kamu sekarang lebih kuat daripada aku. Mungkin ini semua sudah takdir yang diberikan Bethara Brahma kepadamu..."
"Bethara Brahma? Siapa lagi itu? Apa dia sosok dewa lain di dunia ini?"
"Iya, Lingga. Beliau adalah dewa agung, dewa dengan kedudukan tertinggi, bapak dari segala dewa dan pencipta seluruh alam dan kehidupan di dunia ini."
Lingga mengangguk paham. "Oh, begitu. Salam aja deh buat si Brahma. Bilang terima kasih ke dia!"
Plak!
Seketika Syaidra memukul kepala Lingga dengan keras. Membuat Lingga seketika pusing. "Aduh! Apaan sih, Syaidra! Ngapain mukul kepalaku?!"
"Jangan bicara tidak sopan jika menyangkut Bethara Brahma!" sahut Syaidra naik pitam.
"Ah, oke-oke... a-aku minta maaf. Lantas, gimana caranya agar aku bisa menggunakan kekuatan ini?" tanya Lingga seraya melihat telapak tangannya, lalu mengepalkannya dengan keras. "Tapi, sepertinya... aku nggak merasakan perubahan apapun di dalam tubuhku. Rasanya biasa saja..."
Namun, saat Lingga menggerak-gerakkan telapak tangannya, ia merasakan sebuah energi misterius yang muncul dan hilang tak menentu. Ia merasa terkejut namun ia tak buru-buru bilang kepada Bethari Syaidra. Ia ingin membuktikannya sendiri apa kekuatan itu memang sudah berada dalam dirinya.
"Mungkin seiring berjalannya waktu, kamu akan bisa menggunakan kekuatanmu dan menguasainya. Yang jelas, kamu mungkin perlu membiasakan diri dan berlatih untuk menggunakannya," ujar Syaidra tak henti-hentinya menyungging senyum.
"Hmm, latihan ya... apa kamu punya sesuatu untuk dijadikan semacam... eksperimen?"
"Eksperimen? Percobaan maksud kamu? Untuk apa?"
"Yah, buat apa lagi kalau bukan untuk mengetes kekuatanku!"
"Ah, begitu. Baiklah, sebentar..." Bethari Syaidra membuka telapak tangannya di hadapan Lingga. Dari udara kosong, tiba-tiba seekor kelinci putih muncul begitu saja di tangan sosok Dewi berparas cantik itu.
"Bagaimana kalau pakai ini?"
"Kelinci? Hmm, boleh deh. Aku akan mencobanya."
Lingga memfokuskan pikirannya dan mencoba merasakan aliran energi chakra yang mengalir melewati nadi dan urat syarafnya. Perlahan, Lingga mulai bisa mengikuti ke mana aliran energi itu. Ia pun berusaha mengumpulkan dan memadatkan energi tersebut di telapak tangannya. Benar saja, tiba-tiba telapak tangan kanan Lingga mulai memancarkan aura gelap yang berwarna keunguan.
"Astaga! Rupanya Lingga sudah paham cara menggunakan energi chakra-nya!" batin Syaidra sedikit terkejut.
Lingga seketika mengarahkan telapak tangannya ke arah kelinci lucu itu. Dan dengan suara lantang, Lingga berteriak. "Mati!"
Energi ungu gelap melesat dari ujung telapak tangan Lingga dan tepat mengenai tubuh kecil kelinci putih itu. Tubuh kelinci itu bergetar sesaat, namun tak menunjukkan sedikit perubahan. Kelinci itu masih bergerak dan hidup.
"Kenapa nggak berefek apa-apa?" tanya Lingga menunjukkan ekspresi kecewa.
"Sebentar, Lingga. Sebenarnya aku sedikit terkejut saat melihat kamu sudah bisa mengalirkan energi chakra-mu. Namun, ada beberapa hal yang mungkin tidak kamu ketahui," sahut Bethari Syaidra dengan tatapan tajam.
Lingga mengerutkan keningnya. "Apa maksudnya?"
"Pertama, kamu tidak bisa memerintah sesuatu yang hidup untuk mati secara tiba-tiba kecuali kamu merapal sebuah mantra khusus yang kuat. Kedua, kekuatanmu masih kecil sehingga kamu tidak bisa membunuh kelinci ini secara instan. Ketiga, kembali lagi... mulai sekarang kamu harus lebih banyak berlatih dan membiasakan diri."
Lingga menghela nafas panjang lalu menyahut. "Bethari... inilah yang aku maksud sebagai percobaan. Kalau nggak gini, aku nggak akan tahu seberapa besar kekuatan dan kapasitasku!"
"Ah, kamu benar... kamu mau mencobanya sekali lagi?" tanya Syaidra seraya mengangkat kelinci yang ia pegang.
"Apa kamu bisa membunuh kelinci itu untukku, Bethari?"
"Tentu!" sahut BetharI Syaidra seketika meremukkan kepala kelinci itu. Sontak saja kelinci lucu itu seketika mati. "Begini sudah cukup?"
Lingga tak menyahuti pertanyaan Bethari Syaidra. Lingga memfokuskan pikirannya dan membangun sebuah imajinasi di dalam otaknya. Setelah itu, ia kembali mengalirkan energi chakra yang ia miliki ke telapak tangannya. Kali ini ia melakukannya lebih cepat dari pada sebelumnya. Dengan cepat, Lingga melesatkan energi berwarna ungu gelap itu ke arah bangkai kelinci tersebut seraya berteriak. "Bangkitlah!"
Seketika, telinga kelinci dengan kepala yang remuk itu bergerak sedikit. Hal itu tampak membuat Syaidra begitu terkejut. Namun setelahnya, kelinci itu terdiam tak bergerak lagi. Lingga menghela nafas seraya bergumam. "Ah, benar katamu, Syaidra... mungkin aku perlu banyak latihan dan membiasakan diri dengan kekuatan ini."
"Lingga!" panggil Syaidra dengan kedua mata yang terbelalak.
"Ya?"
"Kamu... astaga! Bagaimana mungkin kamu bisa mengucapkan perintah tanpa merapal mantra?" tanya Syaidra dengan ekspresi terkejut yang tak dibuat-buat.
"Ha? Mantra? Emangnya ngucapin mantra beneran ngaruh?"
"Astaga! Semua ilmu sihir dan magis di dunia ini harus melalui proses perapalan mantra terlebih dahulu! Sedangkan kamu... bisa melakukannya tanpa merapal mantra terlebih dulu. Sebenarnya siapa kamu?" ujar Syaidra masih tak bisa menerima hal yang menurutnya tak lazim ini.
Lingga mengorek kuping seraya menyahut asal. "Ha? Masa sih? Apa itu menyalahi aturan?"
"Bukan begitu... aduh! Bagaimana yah cara menjelaskannya," gumam Syaidra mulai panik. "Intinya, kamu itu luar biasa! Bisa memunculkan energi chakra dan melakukan sihir tanpa merapal mantra! Itu benar-benar... luar biasa! Kamu benar-benar berbakat!" teriak Syaidra dengan wajah berbinar.
"Ah, masa sih... aduh, aku jadi malu..." sahut Lingga seraya memasang wajah canggung.
Namun, senyum di wajah Syaidra memudar, tergantikan dengan sorot mata tajam. "Lingga, demi kebaikanmu, lebih baik kamu merahasiakan tentang kemampuanmu ini. Karena sihir tanpa rapalan di dunia ini dianggap tabu. Mungkin lebih tepatnya, banyak yang menginginkan kemampuan tersebut namun tak ada yang bisa menguasainya. Alhasil, mereka menetapkan hal tersebut menjadi sesuatu yang tabu. Apa kamu paham, Lingga?"
Lingga mengangguk sedikit terpaksa. "Ah, baiklah... aku paham. Tapi, kayaknya bakal merepotkan deh."
"Merepotkan atau tidak, kamu harus melakukannya seperti yang aku peringatkan. Jangan sampai kamu terlibat masalah yang rumit ke depannya!" pesan Syaidra seolah mewanti-wanti Lingga.
"Iya-iya aku paham!" sahut Lingga dengan malas. "Duh, bawel banget sih nih cewek!" batinnya sedikit kesal.
"Oh, iya... aku punya sesuatu untukmu," ujar Syaidra seraya mengeluarkan sebuah benda dari telapak tangannya yang menyala. Benda kecil itu memancarkan aura gelap yang mencekam, seolah menyimpan jutaan dendam. "Ambillah, Lingga."
"A-apa ini, Syaidra?"
***