Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.
Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.
Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEMBILAN BELAS
Malam yang gelap dan sunyi membungkus ruang tengah dengan hening yang pekat. Caca, dengan tatapan tajam dan jari-jarinya yang lincah, terus mengedit skripsinya. Cahaya lampu meja hanya menerangi wajahnya yang serius, memperlihatkan kerutan di keningnya saat ia membenahi bagian-bagian yang masih berantakan dari tulisannya.
Caca bertekad kuat, ia harus lolos ujian minggu depan, dan besok adalah hari terakhir untuk mendaftar sebagai peserta ujian sidang skripsi.
Jam semakin larut, dan rasa kantuk mulai menghampiri. Caca berusaha keras melawan kantuknya yang terus menyerang, matanya sesekali terpejam. Akhirnya, tanpa sadar, ia tertidur dengan kepala bersandar pada tumpukan kertas dan buku di atas meja.
Pukul tiga dini hari, keheningan malam terpecah. Faza, yang terbangun untuk melaksanakan salat sunah tahajud, tampak kaget saat melihat Caca tak ada di sebelahnya.
"Dimana dia..?" batin Faza. Faza piki Caca sedang tahajud.
Faza lantas bergegas turun dari atas ranjang, melangkah keluar. Dengan langkah yang hampir tidak bersuara, Faza berjalan ke ruang tengah, karena cahaya ruangan itu masih terang.
Mata Faza, tertuju pada sosok Caca yang terlelap, dengan kepala bersandar di atas meja yang penuh tumpukan kertas dan laptop yang masih menyala . Faza hanya menghela napas.
Faza lama menatap wajah Caca yang terlelap, rambutnya tergerai menutupi wajah ayu yang tampak damai. Dengan lembut, tangannya terulur menyisir rambut tersebut ke belakang telinga. Bibir Faza sekilas melengkung.
"Cukup menggemaskan jika sedang tidur," gumam Faza dalam hati, tersenyum dalam diam. Perlahan, Faza membungkuk, mengangkat tubuh Caca dengan hati-hati agar tidak membangunkannya, lalu membawanya ke kamar. Setelah memastikan Caca nyaman di atas ranjang, Faza menutup pintu kamar dengan perlahan dan kembali ke ruang salat.
Dalam keheningan malam, Faza khusyuk menunaikan tahajud, memanjatkan doa dan harapan untuk masa depannya. Setelah selesai, Faza berjalan ke ruang tengah dimana tas Caca yang masih tergeletak dengan segepok naskah skripsi yang tampak berantakan. Faza mengambil naskah tersebut,dan membereskannya sesuai urutan.
Tak hanya itu, dengan teliti, Faza mengedit, merapikan setiap bab, memastikan alur argumentasinya jelas dan data yang ditampilkan akurat. Faza tersenyum setelah dirinya selesai merampungkan skripsi milik Caca.
Tepat pukul tujuh pagi, Faza telah merampungkan tugas di dapur, bahkan Faza telah membuatkan Caca sarapan. Melihat Caca yang kembali tertidur setelah salat subuh, Faza pun tak ingin mengganggunya, karena Caca habis begadang semalaman.
Akhirnya Faza pergi ke kampus, dengan meninggalkan catatan kecil di bawah piring sarapan.
"Saya pergi ke kampus duluan, cepat sarapan dan pergi ke kampus untuk mendaftar ujian," begitulah kira kira isi not dari Faza.
Tepat pukul delapan tiga puluh Caca baru terbangun.
"Astagfirullah, sudah setengah sembilan " ujar Caca langsung melompat ke lantai. Caca terburu buru, pontang-panting mengejar waktu. Hingga Caca tak sempat untuk sarapan dan alhasil Caca tak membaca catatan kecil dari Faza.
Sesampainya di kampus, Caca segera melaju ke bagian pendaftaran, tempat mahasiswa lain telah memadati antrian untuk mendaftar ujian munaqasyah.Di tengah kerumunan, mata Caca tertumbuk pada sosok Alfin.
Pak Alfin, yang tak sabar ingin mendengar kabar baik dari Caca, segera mendekat dengan langkah yang tergesa-gesa.
"Ca... sudah mendaftar?" tanyanya, penuh penantian akan jawaban dari mahasiswinya.
"Sudah Pak, baru saja," jawab Caca dengan napas yang masih terengah-engah. "Syukurlah,selamat ya, Ca. Semoga ujiannya lancar" ujar Pak Alfin seraya matanya berbinar,
"Aamiin, makasih Pak" sahut Caca, tak ingin banyak bicara. Karena merasa sungkan. Namun ternyata Pak Alfin malah mengajak Caca,untuk sarapan
"Kalau begitu, saya traktir kamu sarapan, ayok ikut saya!" serunya, suaranya penuh semangat, hampir tidak mengizinkan adanya penolakan. "Tapi Pak..." Caca ragu, bibirnya terkatup, namun sebelum dia melanjutkan, Pak Alfin sudah langsung berjalan.
Caca yang merasa tak enak pun akhirnya mengikuti Alfin dengan langkah ragu.
"Sudah, ayo jangan sungkan," Alfin memotong, nada suaranya tegas namun bersahabat, membimbing langkah Caca menuju kantin. Sampai di kantin, Alfin berujar dengan wajah sumringah, "Ayo pesan Ca, tinggal pilih apa saja." Ucap Alfin.
"Emm, Pak Alfin aja yang pesan, saya ikut" ujar Caca menghargai Pak dosennya.
"Oke saya pesankan,soto babad ya" ujar Alfin, dengan begitu semangatnya.
"Ya boleh" sahut Caca pelan.
Ada kilau kebahagiaan yang tak tersembunyi di wajah Alfin, rasa puas mendalam karena berkesempatan berbagi meja makan dengan gadis pujaannya untuk yang kedua kali. Namun, ironi membalut suasana. Alfin tak menyadari bahwa Caca, wanita yang dikejarnya itu, adalah istri dari sahabatnya sendiri. Sebuah kenyataan yang siap mengguncang dunia Alfin.
Saat menikmati hidangan yang Alfin pesan, tiba-tiba Faza menyambar semangkuk soto babat di hadapan Caca yang masih mengepul, tanpa basa-basi Faza dengan santainya duduk dan menyeruput kuah hangat itu.
"Eemm..enak. Kamu pesan lagi yang baru," ujarnya santai, sebelum langsung melahap isi mangkuk itu. Caca hanya bisa tertegun, tak sempat mencerna apa yang baru saja terjadi. Alfin, yang duduk di samping Caca, melotot memandang Faza dengan wajah penuh keheranan.
"Sejak kapan Pak Faza doyan soto babad?" sindir Alfin dengan nada datar. Karena yang Alfin tahu, Faza tak menyukai soto babad. Tapi Faza tampak tak peduli, terus melahap soto itu sampai habis, seakan tak ada yang salah dengan tindakannya.
Begitu tandas, Faza bangkit dari duduknya. "Sotonya sudah saya bayar, semua. Terima kasih, sotonya enak," ucapnya sebelum beranjak pergi, meninggalkan Caca dan Alfin yang masih terpana. Caca menatap punggung Faza yang menjauh, rasa bingung mulai menguasai pikiran Caca.
"Ada apa dengan Pak Faza?" batin Caca heran. Tingkah lakunya yang aneh seolah menantang logika. "Apa mungkin dia tak suka aku ditraktir oleh Pak Alfin? Tapi itu terdengar tidak masuk akal. Sejak kapan dia peduli pada hal seperti itu?" Batin Caca mencoba mengusir pikiran pikiran konyolnya.
Alfin tiba-tiba memecah lamunan Caca, mungkin pak dosennya itu ikut merasakan kebingungannya.
"Eh, jangan dipikirin terlalu dalam. Faza memang begitu orangnya, aneh dan penuh misteri," ujarnya ringan sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana. Caca memaksakan sebuah senyuman lalu mengangguk, mencoba untuk kembali menikmati makanan di depan kami, meskipun rasa penasaran itu terus bersemayam di sudut pikirannya.
Selepas makan Caca buru buru pulang. Sesampainya di rumah, ternyata Faza sudah sampai duluan. Faza tak menyapa Caca, pria berhidung mancung itu terlihat fokus dengan dokumen di hadapannya.
Tapi, saat Cacat membuka pintu kamar, suara Faza langsung menggema, menghentikan langkahnya di ambang pintu.
"Kemari...," perintah Faza singkat, datar, namun begitu dingin. Suaranya seperti embun beku yang merayap ke tulang punggung. Caca menoleh dan menelan ludah pelan sebelum membalikkan badan dan berjalan ke arahnya.
"Duduk..." titah Faza terdengar dingin.
"Iya, Pak... ada apa?" tanya Caca dengan suara pelan, mencoba tetap tenang meski hatinya berdebar tak karuan.
"Kamu itu sudah jadi istri. Apa pantas makan berduaan dengan pria lain? Dan jelas-jelas dia sahabat saya? Apa kamu sengaja mau tebar pesona? membuktikan jika kamu bisa menaklukkan dosenmu...?" Suara Faza semakin tajam, seperti belati yang menyasar langsung ke uluh hati Caca.
Dada Caca terasa sesak mendengar tuduhan Faza. "Tebar pesona? Apakah dia serius dengan perkataannya itu? "hem...Istri...?" Caca mengulangi kata itu dalam hati, seperti tidak percaya. Kata-katanya membuat mata Caca terasa panas.
"Heem..bahkan Dia berbicara tentang statusku sebagai istrinya, tetapi... bagaimana dengan dia?" tanya Caca dalam hati, yang terasa getir. "Lantas bagaimana dengan,dirinya? Hati dan pikirannya yang jelas-jelas tak pernah sepenuhnya berada di sini, bersamaku sebagai istrinya! Apakah status saja cukup baginya?, sementara sikap dan perhatianmu selalu melayang ke tempat lain?" batin Caca menarik napas, mencoba menguasai diri, namun rasa tersinggung itu tak bisa sepenuhnya Caca tenggelamkan.
Lantas dengan lantang Caca menyuarakan isi hatinya.
"Maaf Pak, saya tidak sedang tebar pesona, Saya hanya menghormati Pak Alfin sebagai dosen pembimbing saya. Apa salah saya berbuat begitu?" tanya.Caca tajam, mencoba membalas tatapannya yang terasa membakar.
"Tentu saja salah," jawab Faza dengan tegas. "Karena status kamu itu sebagai istri saya. Jadi, jangan samakan antara perasaan dengan status di hadapan Allah. Perasaan itu bisa berubah kapan saja. Tapi tanggung jawab saya sebagai suami tidak akan berubah, selagi saya masih menjadi suamimu." Kata-katanya begitu menusuk, seakan menegaskan bahwa dirinya hanyalah 'status,' tidak lebih.
Caca terkesiap, tak tahu harus tertawa atau menangis mendengar kalimat itu.
"Apakah ini yang disebut tanggung jawab,Pak...?" batin Caca menahan perih.
Sungguh sakit. Dengan perlakuan Faza yang dingin, kata-kata tanpa rasa, dan tuduhan tanpa dasar? Jika status itu segalanya, lalu di mana ruang untuk cinta dan rasa, untuk Caca? Hatinya bergemuruh, tapi Caca hanya menahan diri untuk tidak mengeluarkan satu patah kata pun lagi.