Di dunia dark web, satu nama ditakuti: LOOTER. Tak ada yang tahu identitas aslinya, hanya bahwa ia adalah algojo bayaran dengan keterampilan militer luar biasa. la bisa menyusup, membunuh, dan menghilang tanpa jejak. Kontraknya datang dari kriminal, organisasi bayangan, bahkan pemerintah yang ingin bertindak di luar hukum.
Namun, sebuah misi mengungkap sesuatu yang seharusnya terkubur: identitasnya sendiri. Seseorang di luar sana tahu lebih dari yang seharusnya, dan kini pemburu berubah menjadi buruan. Dengan musuh di segala arah, LOOTER hanya punya satu pilihan -menghancurkan mereka sebelum dirinya yang lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khabar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
MENYELUNDUPKAN KOTAK SENJATA
Dia dipanggil Looter bukan karena sangat sukses dalam misinya, atau prestasi lainnya yang begitu cemerlang hingga dapat julukannya itu.
Alasan sebenarnya adalah....
Dia akan mengambil sesuatu yang menurutnya berharga dan sangat perlu untuk diambil, semuanya bukan karena misi atau tugas tertentu, tapi semata karena hobi dan hal yang dia sukai.
Malam itu, bunker Renoir cukup ramai dengan aktifitas. Suara langkah kaki para prajurit yang mondar-mandir bercampur dengan deru mesin kendaraan berat yang diparkir di luar.
Dia mengambil nafas dalam-dalam, berjalan santai ke gudang senjata yang dijaga dua pria bersenjata. Mereka tidak terlalu memperhatikannya, hanya sekilas melirik, lalu kembali berbicara satu sama lain.
Di dalam gudang, rak-rak logam dipenuhi peti amunisi dan senjata. Dia melihat daftar inventaris yang tergantung di dinding. mencari apa yang ia butuhkan.
Tiga kotak amunisi dan tiga senjata mewah.
Dengan cekatan, dia mulai bekerja.
Dia mengangkat satu peti kecil berisi amunisi kaliber tinggi, menumpuknya di atas dua kotak lainnya, lalu menaruh tiga senjata mewah dalam peti kayu kecil.
Saat dia berjalan keluar membawa kotak pertama, seorang prajuri lain, Sam, memperhatikannya.
"Hei, kau! Apa yang kau lakukan?"
Dia menoleh, berpura-pura terkejut. "Saya diperintahkan membawa amunisi ini ke pos luar. Komandan bilang kita harus memperkuat pertahanan di sektor barat."
Sam mengerutkan kening, tapi akhirnya mengangguk. "Ya, masuk akal. Jangan sampai jatuh, bocah. Itu bukan barang murah."
"Siap!" jawabnya dengan patuh, lalu berjalan pergi.
Begitu sampai ke tempat yang lebih sepi, dia menaruh kotak pertama di balik tumpukan peti kosong yang telah ia siapkan sebelumnya. Dia kembali ke gudang untuk mengambil dua kotak lainnya, dengan cara yang sama.
Setelah semuanya terkumpul, dia menutupi dengan terpal kotor. Barang-barangnya telah diamankan. Hobinya berjalan sesuai rencana.
...----------------...
Langkah selanjutnya...
Malam semakin larut. Para prajurit Renoir sibuk berpatroli, sementara dia duduk di pojok ruangan, berpura-pura mengasah pisaunya.
Seseorang menepuk bahunya. Hawk kembali dengan sebotol minuman di tangan.
"Minumlah, bocah. Ini akan membuatmu lebih santai sebelum misi besok."
Dia menerima botol itu, pura-pura meneguknya. Minuman beralkohol itu menyentuh bibirnya, tapi dia tidak menelannya. Veteran seperti dirinya tahu cara berpura-pura minum tanpa kehilangan fokus.
Hawk tertawa. "Jangan terlalu tegang, kau akan terbiasa dengan semua ini. Besok kita akan memburu tikus-tikus sialan dari KOPSUS. Siap bertarung?"
Dia tersenyum kecil. "Tentu saja."
Dalam pikirannya, dia sudah tahu kemana arah semua ini. Besok, dia akan menjadi bagian dari Operas Blackout. Dan besok, dia akan membunuh mereka semua.
...----------------...
Jam 02:08 AM
Udara malam begitu dingin disertai hujan deras yang pekat, menyelimuti bunker dengan suara rintikan air hujan deras. Looter berdiri di salah satu sudut gelap, mendengarkan suara langkah kaki dan komunikasi radio tim Operasi Blackout yang semakin dekat.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Dari arah selatan, sebuah tim bergerak lebih cepat dari yang ia perkirakan. Operasi yang seharusnya dilakukan esok malam ternyata di majukan.
"Sial," gumamnya dalam hati, tangan secara refleks meraba pistol di pinggangnya.
Belum sempat ia bereaksi lebih jauh, suara tembakan meletus dari arah gelap. Sebuah tim telah menyerbu bunker.
Looter berusaha menghindar, tapi dalam sekejap tubuhnya dihantam oleh ledakan kecil di dekatnya. Suara peluit di telinganya membuatnya limbung. Saat ia mencoba bangkit, tiga anggota tim Operasi menghampirinya.
"Target teridentifikasi!" salah satu dari mereka berteriak, senjata sudah terarah padanya.
Otak Looter bekerja cepat. Ia tahu tidak mungkin menang dalam pertempuran terbuka. Maka, ia melakukan satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan dirinya.
Dia pura-pura mati.
Dengan gerakan terkontrol, ia menjatuhkan tubuhnya ke tanah menahan napas, dan membiarkan darah dari luka kecil di bahunya mengalir lebih deras. Pandangannya kosong, seolah-olah nyawanya sudah melayang.
Dua prajurit Bravo mendekat, memeriksa tubuhnya. "Sudah mati. Kita lanjut," kata salah satunya.
Mereka pergi tanpa menaruh curiga. Begitu mereka menghilang di balik lorong bunker, Looter membuka matanya.
"Nyaris saja."
Tanpa membuang waktu, ia bangkit dan segera melaksanakan misinya.
Ia merunduk di balik reruntuhan tembok bunker, membuka perangkat kecil di lengannya. Dengan cepat, ia menyambungkan alat peretas ke saluran radio tim Bravo.
Gelombang suara mulai terdengar di alatnya.
"Semua unit, dengar baik-baik. Kita punya waktu terbatas sebelum mereka menyadari kehadiran kita. Bergerak cepat, tetap dalam formasi."
Suara di radio segera menyahut.
"Diterima, Bravo-1. Apa kita bisa mengharapkan perlawanan berat?"
Suara Bravo kembali terdengar.
"Target utama ada di ruang kontrol. Fokus kita adalah mengamankan terminal sebelum mereka bisa menonaktifkan sistemnya."
Looter menyaring suara-suara itu, mengabaikan yang tidak perlu. Dalam waktu singkat, ia mulai memahami struktur komando tim.
Sambil mengobati luka tembaknya, dia mendengar satu suara mencolok di antara semuanya, suara sebuah tim pemimpin, Bravo- 1.
"Bravo-2, ke sisi timur. Jangan buat suara. Bravo-3, amankan jalur keluar. Jika terjadi sesuatu, kita butuh rute evakuasi yang aman. Aku akan tetap di posisi dan memastikan komunikasi tetap berjalan lancar."
"Dimengerti, Bravo- 1."
Pemimpin itu berbicara dengan percaya diri, memberikan perintah cepat dan tegas untuk timnya. Tapi ada sesuatu yang menarik perhatian Looter.
Dalam beberapa perintah terakhir, Bravo- 1 mulai bergerak sedikit berjauhan dari anggota timnya. Ia lebih sering berbicara dengan radio daripada berinteraksi langsung dengan pasukannya.
Looter tersenyum tipis.
"Kesempatan emas."
Dengan langkah senyap, ia bergerak menuju lokasi Bravo-1. Dari kejauhan, ia melihat pria itu berdiri terpisah dari anak buahnya, mengatur strategi lewat radio.
Looter mengambil pisau dari pinggangnya.
Gerakan cepat dan mematikan. Dalam satu tebasan, ia menyayat tenggorokan Bravo-1 sebelum pria itu sempat bereaksi. Darah mengalir deras, matanya membelalak dalam keterkejutan.
Tapi sebelum tubuhnya jatuh, Looter menangkapnya, menahannya agar tidak menimbulkan suara.
Dia membaringkan tubuh Bravo-1 perlahan ke tanah, lalu dengan sigap melepaskan topeng dan perlengkapannya. Dalam hitungan detik, ia sudah mengambil alih identitas pemimpin tim Bravo.
Sekarang, Looter adalah Bravo.
To Be Continued.....