NovelToon NovelToon
Alena: My Beloved Vampire

Alena: My Beloved Vampire

Status: tamat
Genre:Tamat / Romansa Fantasi / Vampir / Romansa
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Syafar JJY

Alena: My Beloved Vampire

Sejak seratus tahun yang lalu, dunia percaya bahwa vampir telah punah. Sejarah dan kejayaan mereka terkubur bersama legenda kelam tentang perang besar yang melibatkan manusia, vampir, dan Lycan yang terjadi 200 tahun yang lalu.

Di sebuah gua di dalam hutan, Alberd tak sengaja membuka segel yang membangunkan Alena, vampir murni terakhir yang telah tertidur selama satu abad. Alena yang membawa kenangan masa lalu kelam akan kehancuran seluruh keluarganya meyakini bahwa Alberd adalah seseorang yang akan merubah takdir, lalu perlahan menumbuhkan perasaan cinta diantara mereka.
Namun, bayang-bayang bahaya mulai mendekat. Sisa-sisa organisasi pemburu vampir yang dulu berjaya kini kembali menunjukan dirinya, mengincar Alena sebagai simbol terakhir dari ras yang mereka ingin musnahkan.
Dapatkah mereka bertahan melawan kegelapan dan bahaya yang mengancam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syafar JJY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10: Masa Lalu Alberd

Chapter 27: Rencana Bertemu Keluarga

Di puncak gedung bertingkat 20, angin malam berembus lembut, membawa aroma samar kota yang tak pernah tidur. Alena dan Alberd duduk berdampingan di tepi atap gedung, Alena mengayun ayunkan kakinya perlahan seraya menyandarkan kepalanya di pundak Alberd, sementara tangan mereka saling bertaut erat.

Malam sudah cukup larut, hanya menyisakan 2 jam menuju pergantian hari.

Alberd menatap lurus ke depan, sesekali melirik ke bawah. Jelas terlihat dari gerak tubuhnya yang sedikit tegang bahwa ia sedang berusaha menyembunyikan rasa takut. Dalam hatinya, ia bergulat dengan bayangan masa kecil yang membuat ketinggian menjadi musuh lamanya.

"Alberd," Alena memecah keheningan dengan suara lembut namun penuh rasa ingin tahu.

"Bolehkah aku tahu kenapa kamu takut pada ketinggian?"

Alberd menoleh, mencoba menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya.

"Takut ketinggian? Siapa yang bilang itu?" nada suaranya sedikit defensif, tetapi ada kilasan cemas di matanya.

Alena tersenyum tipis, matanya tak lepas menatap wajahnya.

"Aku tahu dari Nina... dan dari reaksimu tadi," jawabnya, dengan nada setengah menggoda.

Alberd tertawa kecil, tetapi terdengar sedikit gugup.

"Baiklah, aku akui... itu benar," dia akhirnya mengaku, lalu menarik napas panjang sebelum melanjutkan.

"Hal itu bermula sejak aku masih kecil."

Alena menatapnya dengan serius, tatapannya mengisyaratkan keinginan untuk mendengar lebih banyak.

"Oh? Bisakah kamu ceritakan apa yang terjadi?" tanyanya penuh perhatian.

Alberd mengalihkan pandangannya ke depan, mencoba menenangkan dirinya. "Pertama... aku pernah jatuh dari pohon. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi memanjat pohon," katanya sambil tersenyum pahit.

Alena memiringkan kepala, ekspresi di wajahnya menunjukkan bahwa ia ingin tahu lebih banyak.

"Dan yang kedua?" tanyanya pelan, suaranya terdengar hati-hati.

Alberd terdiam sejenak. Tatapannya menjadi kosong, seperti menembus jauh ke masa lalu.

"Yang kedua... jauh lebih buruk," katanya dengan nada rendah, hampir berbisik.

"Saat kecil, aku pernah tergelincir dari balkon di lantai sepuluh. Aku berhasil meraih pegangan besi, tapi aku bergelantungan di sana, hanya dengan tanganku, sambil berteriak minta tolong."

Mata Alena melebar, kini seluruh perhatiannya tertuju pada Alberd.

"Lalu apa yang terjadi?" desaknya, nadanya hampir penuh kecemasan.

"Saat itu aku masih sangat kecil, Alena... Aku menangis, menoleh ke bawah, dan melihat betapa jauh jarak antara aku dan tanah. Aku berpikir aku akan mati." Suara Alberd mulai bergetar, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang.

"Aku bergelantungan selama lima menit yang terasa seperti seumur hidup. Tak ada yang mendengar teriakanku. Area sekitar gedung itu memang sepi."

Alena tertegun, tatapannya tak lepas dari Alberd. Ia bisa merasakan ketakutan yang menyelimuti kekasihnya saat itu, seolah ia sendiri berada di posisi Alberd.

"Untungnya, ibuku yang sedang mencuci piring mencariku dan menemukanku. Itu seperti insting seorang ibu, dia lalu menarikku ke atas sambil menangis. Saat itu aku benar-benar merasa telah kehilangan segalanya... tapi pelukan ibu menyelamatkanku." Alberd tersenyum kecil, tetapi matanya tak bisa menyembunyikan emosi yang bergejolak.

Alena terdiam, perasaan bersalah mulai menghantui hatinya.

"Alberd... maafkan aku," ucapnya lirih, suaranya bergetar. "Aku tak seharusnya memaksamu terbang tadi... aku benar-benar.."

Sebelum Alena sempat menyelesaikan kalimatnya, Alberd meraih tangannya dengan lembut, menggenggamnya erat.

"Tidak, Alena," katanya tegas namun lembut, menatap matanya dalam-dalam.

"Kamu tidak perlu minta maaf. Ini bukan salahmu."

Alena terkejut, tetapi kehangatan di mata Alberd membuatnya merasa sedikit tenang. Perlahan, ia menyandarkan kepalanya di dada Alberd, mendengarkan detak jantungnya yang stabil.

"Terima kasih... Alberd," bisiknya pelan.

Alberd memeluknya erat, pandangannya kembali tertuju ke cakrawala.

"Aku akan baik-baik saja, selama kamu ada di sisiku," katanya dengan senyum kecil di wajahnya.

Setelah beberapa menit berlalu, Alberd menatap ke arah langit seperti sedang memikirkan sesuatu..

“Sayang, apa yang kamu pikirkan?” tanya Alena dengan suara lembut, matanya melirik wajah Alberd yang tampak serius.

Alberd mengalihkan pandangan ke arahnya dan tersenyum tipis.

“Tidak ada... hanya saja ada sesuatu yang perlu kuberitahukan padamu.”

“Seserius itu?” Alena menaikkan alisnya, mencoba membaca ekspresi Alberd.

Alberd mengangguk kecil.

“Orang tuaku memintaku untuk membawamu ke rumah besok. Mereka ingin bertemu denganmu.”

Alena tertegun sejenak. Ia memiringkan wajahnya untuk menatap Alberd dengan ekspresi setengah tak percaya. “Bertemu denganku? Kamu serius?”

“Serius,” Alberd mengangguk, suaranya terdengar yakin.

“Mereka sendiri yang memintanya. Mereka terdengar sangat antusias, jadi aku langsung menyetujui.”

Alena terdiam sejenak, bibirnya sedikit terbuka, tampak sedang mencerna informasi itu.

“Aku tidak masalah... tapi, apa mereka tahu tentang hubungan kita?”

“Aku sudah menceritakan tentang bagaimana kita bertemu,” jawab Alberd dengan santai.

“Seperti cerita yang kamu bagikan ke Nina.”

“Jadi...” Alena menatap Alberd, ada sedikit ketegangan dalam suaranya. “Kamu tidak memberitahu mereka siapa aku sebenarnya?”

Alberd menggeleng.

“Tidak. Aku hanya mengatakan bahwa kamu seorang penjual bunga. Bahwa keluargamu meninggal dalam kecelakaan, dan kamu dibesarkan di panti asuhan.”

Alena menarik napas pelan, lalu tersenyum tipis.

“Aku mengerti. Mungkin itu yang terbaik... untuk sekarang.”

Alberd menatapnya penuh perhatian. “Kamu tidak marah, kan?”

“Tidak, Alberd.” Alena tertawa kecil, senyumnya lembut.

“Aku percaya padamu. Aku tahu kamu hanya ingin melindungiku.”

Alberd menghela napas lega, lalu tersenyum lebar.

“Syukurlah. Orang tuaku sudah menyebutmu ‘calon menantu keluarga Reinhard’.”

Alena terkesiap, wajahnya memerah seketika, dan matanya berbinar. “Benarkah? Mereka benar-benar bilang begitu?”

Alberd mengangguk, geli melihat reaksinya.

“Iya. Mereka terlihat sangat penasaran denganmu.”

Alena menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menyembunyikan senyumnya yang terlalu lebar.

“Aku senang mendengarnya. Walaupun mereka belum tahu siapa aku sebenarnya, setidaknya ini awal yang baik.”

Alberd meraih tangannya dan menggenggamnya erat.

“Kita akan memastikan rencana ini berjalan lancar. Kita harus sepakat dengan cerita yang akan kamu sampaikan besok.”

Alena mengangguk penuh keyakinan. “Aku akan melakukan yang terbaik.”

Mereka kemudian membahas rencana tersebut dengan rinci, dari detail kecil tentang kehidupan Alena yang “normal” hingga cara ia harus menjawab pertanyaan yang mungkin diajukan.

Lima belas menit berlalu.

“Baiklah,” kata Alberd akhirnya, setelah memastikan semuanya terencana dengan matang.

“Ingat, mereka sangat sensitif terhadap kebohongan. Tapi kamu tidak perlu terlalu khawatir, mereka akan menyukaimu.”

Alena menghela napas dalam, lalu mengepalkan tangannya.

“Aku akan berusaha,” katanya dengan semangat.

Setelah selesai, mereka memutuskan untuk kembali ke apartemen. Kali ini, mereka memilih naik mobil yang diparkir Alberd di dekat gedung teater.

Sesampainya di apartemen, mereka bergantian mandi.

Udara kamar mulai terasa hangat setelah Alberd mematikan lampu, menyisakan bayangan samar dari lampu kota yang menyelinap lewat jendela.

Alberd menarik selimut sambil berbaring di sebelah Alena.

“Besok siang kita akan ke rumah orang tuaku. Aku akan menjemputmu setelah selesai kuliah.”

Alena mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya.

“Baik. Aku akan siap.”

Perlahan, keheningan menyelimuti mereka. Alena menutup matanya, mendengar suara napas Alberd yang tenang di sampingnya. Dalam hati, ia merasa gugup sekaligus bersemangat. Besok adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih besar bersama Alberd.

1
Wulan Sari
critanya sangat menarik lho jadi kebayang bayang terus seandainya kenyataan giman
makasih Thor 👍 salam sehat selalu 🤗🙏
John Smith-Kun: Terima kasih, kebetulan ini novel pertama yang saya tulis, syukurlah klo ceritanya menarik
total 1 replies
Siti Masrifah
cerita nya bagus
John Smith-Kun: Thank u👍
total 1 replies
Author Risa Jey
Sebenarnya ceritanya bagus, ringan dan cocok untuk dibaca di waktu santai. Cuma aku bacanya capek, karena terlalu panjang. Satu bab cukup 1000 kata lebih saja, agar pas. Paling panjang 1500 kata. Kamu menulis di bab yang isinya memuat dua atau tiga chapter? ini terlalu panjang. Satu chapter, kamu buat saja jadi satu bab, jadi pas.

Bagian awal di bab pertama harusnya jangan dimasukkan karena merupakan plot penting yang harusnya dikembangkan saja di tiap bab nya nanti. Kalau dimasukkan jadinya pembaca gak penasaran. Kayak Alena kenapa bisa tersegel di gua. Lalu kayak si Alberd juga di awal. Intinya yang tadi pakai tanda < atau > lebih baik tidak dimasukkan dalam cerita.

Akan lebih baik langsung masuk saja ke bagian Alberd yang dikejar dan terluka hingga memasuki gua dan membangunkan Alena. Sehingga pembaca akan bertanya-tanya, kenapa Alberd dikejar, kenapa Alena tersegel di sana dan lain sebagainya.

Jadi nantinya di bab yang lain nya akan membuat keduanya berinteraksi dan menceritakan kisahnya satu sama lain. Saran nama, harusnya jangan terlalu mirip atau awalan atau akhiran yang mirip, seperti Alena dan Alberd sama-sama memiliki awalan Al, jadi terkesan kembar. Jika yang satu Alena, nama cowoknya mungkin bisa menggunakan awalan huruf lain.
John Smith-Kun: Untuk sifat asli Alena ada di bab 15 dan terima kasih atas sarannya
Author Risa Jey: 5.

Pengen lanjut baca tapi capek, gimana dong penulis 😭😭😭
total 5 replies
Dear_Dream
Jujur aja, cerita ini salah satu yang paling seru yang pernah gue baca!
Siti Masrifah: mampir di cerita ku kak
John Smith-Kun: Terima kasih🙏
total 2 replies
John Smith-Kun
Catatan Penulis:
Novel ini adalah karya pertama saya, sekaligus debut saya sebagai seorang penulis.
Mengangkat tema vampir dan bergenre romansa-fantasy yang dibalut berbagai konflik dalam dunia modern.
Novel ini memiliki dua karakter utama yang seimbang, Alena dan Alberd.

Novel kebanyakan dibagi menjadi dua jenis; novel pria dan novel wanita.
Novel yang bisa cocok dan diterima oleh keduanya secara bersamaan bisa dibilang sedikit.
Sehingga saya sebagai penulis memutuskan untuk menciptakan dua karakter utama yang setara dan berusaha menarik minat pembaca dari kedua gender dalam novel pertama saya.
Saya harap pembaca menyukai novel ini.
Selamat membaca dan terima kasih,
Salam hangat dari author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!