"Mahasiswi nakal harus dihukum!" Suara dinginnya menggelegar dan mengancam. Dia Gabriel, dosen killer yang terkenal kejam dan tidak suka digoda wanita.
Ivy, seorang primadona kampus memiliki nilai yang buruk dan nakal. Akibat kenalakannya, Mr. Gabriel ditugaskan untuk mengurus Ivy.
"Kerjakan soalnya atau aku akan menghukummu."
Karna tersiksa, Ivy mencoba membuat Mr. Gabriel menjauh berdasarkan rumor yang beredar. Tapi bukannya menjauh, Mr.Gabriel malah balik mendekatinya.
“Cium aku dong Mister~” Ivy selalu menggoda dosennya duluan agar risih.
Cup!
Bibirnya seketika dicium dalam dan membuat Ivy kewalahan. Saat pagutan dilepas, Ivy merasa bingung.
“KOK DICIUM BENERAN, MISTER?!”
“Loh kan kamu yang minta, kok di gas malah takut?”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kencan?
Mr. Gabriel menghela nafas panjang, mencoba menenangkan pikirannya.
"Sebentar, aku lihat dulu," ucapnya sambil berjalan menuju jendela. Ia mengintip ke luar, memastikan siapa yang mengetuk pintu garasinya dengan begitu kuat.
Dari balik kaca, terlihat sekelompok anak kecil sedang tertawa-tawa sambil berlarian menjauh.
“Hanya anak-anak nakal,” gumamnya sambil menutup kembali tirai.
Ivy, yang masih menatapnya dengan raut cemas, akhirnya menghela nafas lega.
"Mereka sering seperti itu?" Tanyanya, mencoba memastikan.
“Ya, mereka sering iseng. Lihat saja coretan di dinding garasi itu, itu semua ulah mereka,” jawab Mr. Gabriel sambil menunjuk ke bawah.
“Syukurlah…” Ivy tersenyum kecil, tapi ketenangannya hanya bertahan sesaat sebelum ponsel Mr. Gabriel tiba-tiba berbunyi.
"Mama kamu menelponku." Ucap Mr. Gabriel santai.
Hal itu membuat Ivy kembali panik. Gadis itu berlari ke sofa, meraih bantal, lalu memeluknya erat seolah bantal itu bisa menyembunyikannya dari segala masalah.
Mr. Gabriel terkekeh kecil melihat tingkahnya. Ia mengambil ponselnya dan tanpa ragu menekan tombol speaker.
"Tenang saja," katanya dengan nada menggoda sambil melirik Ivy. “Ayo dengarkan bersama.”
"Hallo, Mrs. Wendy, ada apa meneleponku di hari Minggu?" Sapanya santai.
Dari seberang telepon, suara cemas terdengar. "Mr. Gabriel, Ivy menghilang sejak kemarin. Dia kabur, dan kami sudah mengecek CCTV di sekitar kota, tapi terlalu gelap untuk melihat apa pun."
Mr. Gabriel mengangkat alis, sedikit tersenyum mendengar nada khawatir itu.
“Kenapa kalian tidak mencoba menghubungi polisi?” Tanyanya, berpura-pura polos.
“Kami tidak ingin berita ini menyebar. Gosip seperti ini akan sangat memengaruhi bisnis kami...” Suara Mama Ivy terdengar berat, seolah ia berusaha menahan malu.
“Kami sudah mencarinya semalaman dan seharian, tapi tetap tidak ada kabar. Ponselnya mati. Jika Anda melihatnya di suatu tempat, segera beri tau kami, ya?”
Mr. Gabriel melirik Ivy, yang saat itu sedang cemberut di sofa sambil menghindari tatapannya.
Dengan nada penuh sindiran, ia menjawab, “Apa aku akan mendapatkan bayaran jika membawanya pulang, Mrs. Wendy?”
“Iya, Mr. Gabriel, aku akan memberimu imbalan yang besar jika berhasil menemukan Ivy.”
Mendengar itu, Mr. Gabriel tersenyum lebar, menatap Ivy yang kini wajahnya memerah penuh rasa bersalah.
“Oh, kalau begitu...” Ia sengaja menggantung kalimatnya, menikmati ekspresi Ivy yang semakin gelisah. "Kurasa aku tau dia ada di man-"
Ivy terkejut dan langsung beranjak dari Tempatnya. Gadis itu segera meraih lengan Mr. Gabriel, bahkan tanpa sadar mencium b1' birnya lagi untuk menghentikannya.
Mr. Gabriel terkekeh kecil. 'Hadiah ya? Kurasa aku sudah mendapatkannya' Batinnya seraya mengelus punggung Ivy.
"Anda bicara apa Mr. Gabriel?" Nama Ivy tidak jelas mendengarnya.
Pagutan selesai dan Ivy menatap dosennya dengan wajah merah menahan malu.
Kini giliran Mr. Gabriel yang tersenyum licik, "Tidak ada Mrs. Wendy, aku akan mengabarimu jika melihat Nona Ivy."
Pria itu menutup telepon, menikmati ekspresi Ivy yang kini terdiam bingung.
Ketika telepon telah terputus, Ivy menyembunyikan wajahnya di dada Mr. Gabriel, malu luar biasa.
Mr. Gabriel tersenyum sinis, membalas dengan nada menggoda. “Ah, aktingmu benar-benar hebat, kamu bahkan rela mencium pria yang tidak kamu sukai untuk menghentikannya.”
Namun, Ivy mengangkat wajahnya, menatapnya dengan serius. “Kalau itu bukan akting, bagaimana?” Tanyanya pelan, namun ada ketegasan di matanya.
Tatapan itu membuat Mr. Gabriel terdiam. Sorot mata Ivy tampak begitu tulus, dan untuk pertama kalinya, pria itu merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Awalnya pria itu tidak percaya, tapi mata Ivy yang sekarang menunjukan arti lain.
“Jangan,” Ucapnya. “Jika ini bukan akting, berhentilah melakukan itu. Jangan memiliki perasaan untukku.”
Namun, terlambat. Ivy menatapnya dengan senyum kecil yang menyimpan banyak makna.
Sorot matanya penuh tekad, seperti seorang pemburu yang baru saja menemukan mangsa yang menarik.
Gadis itu tau perasaannya mulai berubah, dan jika dilarang, itu hanya membuatnya semakin berani.
Aku akan mengusahakan ini, pikir Ivy. Dalam hatinya, dia tau pasti bahwa ia menginginkan pria di depannya.
Kita lihat sampai mana dia bisa bertahan…Ivy tersenyum nakal, membuat suasana di antara mereka menjadi semakin aneh dan sulit ditebak.
Ivy tau jelas jika Mr. Gabriel terkadang antara tindakan dan ucapan tidak selaras dan ia akan memanfaatkan itu.
Mr. Gabriel menangkap tatapan Ivy yang menantang. Rasa tidak nyaman menjalar di tubuhnya. Ia mengerutkan kening, mencoba memahami perubahan gadis itu.
Sepertinya dia akan terus bersikap keras kepala, pikir pria itu.
Untuk mengalihkan perasaannya, ia melirik ke arah jam dinding. "Aku akan membeli bahan makanan untuk sarapan. Kamu mau apa?" Tanyanya dengan nada datar.
“Aku ikut!” sahut Ivy dengan cepat, melangkah mendekat seperti anak kecil yang takut ditinggalkan.
“Tidak perlu,” jawab Mr. Gabriel sambil menghela napas. “Aku saja yang pergi.”
Namun, Ivy langsung menatapnya dengan ekspresi serius, seperti mengancam.
“Baiklah kalau Mister meninggalkanku di sini, aku akan menghancurkan rumah ini,” katanya dengan nada serius, membuat alis Mr. Gabriel menukik tajam.
Gadis ini… selalu punya cara untuk masuk ke dalam hidup pria itu. Mr. Gabriel sudah mencoba jaga jarak, tapi setiap kali ia menjauh, Ivy selalu berhasil menariknya kembali.
“Baiklah, kalau begitu ikutlah. Tapi jangan mengganggu,” gumamnya, menyerah pada keteguhan Ivy.
Ivy tersenyum penuh kemenangan, berusaha menahan lonjakan rasa bahagia yang tiba-tiba meluap.
Sementara itu, Mr. Gabriel hanya bisa menghela nafas panjang, bertanya-tanya dalam hati bagaimana gadis ini terus memengaruhinya seperti ini.
...****************...
Mr. Gabriel memasangkan topi pada kepala Ivy dengan gerakan cepat, lalu menyampirkan jaket kulit ke pundaknya.
Ivy meringis kecil, “Ah, aku belum mengembalikan jaket dan beberapa blazer milikmu,” gumam Ivy, merasa sedikit bersalah.
“Tidak masalah,” jawab Mr. Gabriel santai. “Aku masih punya banyak. Pakai saja ini dan pastikan untuk mencucinya nanti.”
Ivy mendengus kecil, merasa diperlakukan seperti anak kecil. “Iya, iya… Dasar cerewet,” jawabnya setengah bercanda.
Mereka berdua akhirnya keluar rumah dan berjalan kaki menuju minimarket. Ivy, dengan tubuh mungilnya, tampak seperti seorang adik kecil yang berusaha menyamai langkah kakaknya.
Tapi, tentu saja, langkah Mr. Gabriel yang panjang membuat Ivy harus setengah berlari.
“Mister, pelankan jalanmu! Kakiku kecil, tau!” Keluh Ivy dengan nada manja.
“Siapa suruh kakimu kecil?” Balas Mr. Gabriel, tersenyum geli.
“Ih!” Ivy memukul-mukul tangan Mr. Gabriel dengan gemas, tapi pria itu hanya tertawa kecil, tidak menghiraukannya.
Sesampainya di minimarket, Mr. Gabriel berkata, “Aku ke toilet sebentar. Pilihlah apa yang kamu suka, tapi jangan berlebihan.”
Ivy mengangguk semangat dan mulai memilih barang-barang di rak.
"Aku mau buat sandwich," gumamnya dengan girang.
Gadis itu mulai mengambil bahan-bahan untuk membuat sandwich, seperti roti tawar, selada, tomat, dan keju, lalu menambahkan beberapa camilan favoritnya ke dalam troli.
Sesekali dia tersenyum puas, merasa seperti anak kecil yang diberi kebebasan untuk belanja.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat troli sudah hampir penuh, Ivy mendongak dan melihat seseorang berdiri di depannya.
Orang itu memakai masker, tetapi Ivy tau persis siapa dia. “Mama…” Bisiknya, matanya membulat karena panik.
Sebelum Ivy bisa mengatakan apa-apa, tangan Mamanya sudah menariknya dengan kuat. “Pulang sekarang!” Ucap Mama ivy dengan nada dingin dan tegas.
“Ma, tunggu! Aku belum selesai—” Ivy memprotes, tetapi Mamanya tidak menggubris.
Belanjaan yang sudah gadis itu pilih dengan hati-hati ditinggalkan begitu saja, dan Ivy hanya bisa mengikuti tarikan Mamanya keluar dari minimarket.
Di luar, mereka menuju parkiran, di mana Papa Ivy sudah menunggu di sekitar mobil.
Begitu melihat putrinya dengan pakaian yang tidak dikenalnya, Papa Ivy langsung memeluk putrinya erat-erat, seolah memastikan bahwa dia baik-baik saja.
Sementara itu, Mamanya memperhatikan pakaian besar dan lusuh yang dikenakan Ivy, jelas bukan miliknya.
“Kita akan bicara nanti,” ucap Mamanya dengan nada tegas, tanpa memberi ruang untuk penjelasan.
Ivy hanya bisa diam, mengikuti langkah kedua orang tuanya dengan perasaan campur aduk.
Di sisi lain, Mr. Gabriel menerima pesan dari Mama Ivy, Mrs. Wendy.
Mrs. Wendy: Terima kasih karena telah memberitahu keberadaan Ivy.
Mr. Gabriel: Tidak masalah. Senang bisa membantumu.
Ternyata, Mr. Gabriel tidak benar-benar ke toilet seperti yang dia katakan pada Ivy.
Pria itu diam-diam menelepon Mama Ivy, memberi tahu lokasi gadis itu di minimarket.
Mr. Gabriel melakukan itu karna ia ragu jika menampung Ivy terlalu lama.. akan terjadi suatu hal yang melanggar batas.
Beberapa saat kemudian, ponsel Mr. Gabriel berbunyi, menandakan transfer uang masuk.
Jumlahnya cukup besar, sebuah hadiah dari keluarga Ivy sebagai tanda terima kasih. Tetapi, alih-alih merasa puas, rasa kosong segera menyelimuti Gabriel.
“Kita tidak bisa terlalu dekat lagi…” gumamnya pelan, gusar.
Dengan hati yang berat, Mr. Gabriel melanjutkan belanjanya. Sesampainya di rumah, dia menyiapkan makanan sederhana dan melihat tas kecil Ivy yang tertinggal di meja.
"Aku kembalikan saja di kelas nanti." Gumamnya seraya duduk do sofa dengan santai.
Sebelum makan, tiba-tiba ponselnya sendiri menyala, memperlihatkan panggilan dari nomor tak dikenal.
“Halo?” Mr. Gabriel menjawab dengan tenang.
“Mister, ini aku!” Suara Ivy terdengar di ujung sana.
“Ivy? Kenapa kamu menelepon dari nomor ini?” Tanyanya, meskipun dia merasa lega mendengar suara gadis itu.
“Maafkan aku, Mister. Aku meninggalkan Mister di minimarket karna Mama menjemputku.”
“Baguslah kalau kamu pulang dengan selamat,” jawab Mr. Gabriel singkat.
“Mister, apakah kamu tidak merindukanku?” Ivy bertanya dengan nada menggoda.
“Untuk apa?” Mr. Gabriel menjawab, mencoba terdengar tak peduli.
“Haha, Mister, kamu selalu begitu…” Ivy tertawa kecil.
“Tasmu akan kukembalikan nanti saat kelasku,” ujar pria itu dingin.
“Tenang saja, Mister. Umm… aku ada permintaanku.”
“Apa itu?” Mr. Gabriel merasa firasat buruk mulai muncul.
“Aku janji akan membantu tujuanmu selesai. Aku juga akan berhasil dalam ujian. Dan… kalau aku berhasil...” Ivy terdiam sebentar sebelum melanjutkan.
“Ada satu hal yang kuinginkan, Mr. Gabriel.”
“Apalagi yang kamu inginkan? Bukannya kesepakatan kita adalah merchandise langka dari game kesukaanmu?” Mr. Gabriel bertanya dengan nada serius.
“Ah aku berubah pikiran.. setelah ujian ada pembukaan taman hiburan di pusat kota, aku ingin mengunjunginya bersamamu,” kata Ivy dengan suara kecil.
Wajah gadis itu memerah setelah mengatakannya, dia malu setengah mati karna untuk pertama kalinya, dia yang duluan mengajak pria itu berkencan.
Mr. Gabriel terdiam sesaat, pria itu tau jika ajakan ini adalah kencan. Jadi apa jawaban pria itu?
ikut nyimak novelmu thor..