"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
"Ayo ikut aku," kata Sadewa sambil memakai jasnya setelah makan siang hari itu.
"Kemana?" tanya Syifa.
"Ke gerai sampel. Pasti hari ini ada kendala karena masalah kemarin."
Syifa hanya menganggukkan kepalanya. Dia membawa tasnya dan beberapa dokumen yang dibutuhkan.
Mereka berjalan keluar dari perusahaan. Syifa tetap menjaga jarak aman di belakang Sadewa agar tidak ada yang curiga.
Setelah masuk ke dalam mobil, barulah mereka mengobrol dengan santai.
"Kalau begini kan enak. Kita bisa sering bersama," kata Sadewa sambil menggenggam satu tangan Syifa.
"Iya, tapi kita harus tetap profesional kalau di kantor."
"Tentu saja, aku selalu profesional dalam segala hal." Sadewa justru menggoda Syifa dengan senyumannya.
Beberapa saat kemudian, mereka sampai di sebuah supermarket besar. Gerai itu tampak sepi. Tidak seperti biasanya, hanya ada satu atau dua pengunjung yang sekadar lewat tanpa menoleh. Staf penjaga gerai pun tampak lesu, seperti kehilangan semangat setelah insiden alergen yang sempat viral beberapa hari lalu.
“Ini akibat kejadian waktu itu,” kata Syifa pelan pada Sadewa sambil mengamati gerai.
Sadewa mengangguk. “Kita butuh waktu untuk mengembalikan kepercayaan pelanggan.”
"Biar aku bantu, ya.", Tanpa menunggu jawaban, Syifa mengambil celemek promosi yang tergantung di sisi gerai dan memakainya.
“Selamat siang, Ibu! Mau coba sampel makanan instan kami? Kami sudah pastikan semuanya aman dari alergen tertentu. Ada label kandungan dan penjelasan detail juga,” serunya dengan ramah saat melihat seorang ibu dengan anak remaja melintas.
Ibu itu awalnya ragu, tapi Syifa tersenyum hangat dan menunjukkan selebaran berisi informasi alergen lengkap, sambil menjelaskan bahwa satu dari produk baru mereka tidak mengandung kacang tanah, telur, atau susu—tiga bahan yang paling umum menyebabkan alergi. Dia juga menyebut bahwa mereka bisa mencicipi gratis dan jika suka, akan mendapat kupon potongan harga untuk pembelian pertama.
Tak butuh waktu lama, ibu itu mencoba, lalu mengangguk puas. “Enak juga, ya. Dan kalau semua bahan dicantumkan begini, saya jadi lebih tenang.”
Syifa sangat senang. Dalam satu jam, pengunjung mulai berdatangan. Diaa mengajak bicara satu per satu, sabar menjelaskan, kadang menawarkan air minum bagi yang ingin mencicipi rasa lain.
Dari kejauhan, Sadewa terus mengamati. Mata laki-laki itu tidak lepas dari sosok Syifa yang ramah, dan penuh semangat. Dia tersenyum dalam diam.
...***...
Sore menjelang senja, gerai sampel mereka akhirnya selesai. Sadewa sedang menyelesaikan urusan administrasi dengan pihak manajemen supermarket di dalam, sementara Syifa memilih duduk di bangku panjang depan gedung. Di tangannya, tablet berisi laporan online dari pelanggan terbuka, dan jari-jarinya sibuk menggulir layar, membaca satu per satu komentar.
Banyak komentar positif tentang kejelasan informasi alergi yang ditampilkan hari ini. Beberapa bahkan memuji keramahan "SPG baru yang cantik dan ramah." Syifa tersenyum kecil membaca itu, walau tak pernah menganggap dirinya istimewa.
Namun, senyuman itu lenyap seketika saat sebuah tangan besar tiba-tiba membekap mulut dan hidungnya dari belakang.
“Mmph!” Syifa mencoba berteriak, tapi suaranya tertahan.
Tubuhnya diangkat dengan paksa. Tablet jatuh dan pecah di lantai. Matanya membelalak, mencari bantuan, tapi tempat itu mulai sepi.
Syifa mencoba menendang dan menggigit, tapi penculiknya terlalu kuat. Dalam hitungan detik, dia sudah didorong ke dalam sebuah mobil jeep hitam yang pintunya terbuka dari dalam.
“Diam!” bentak seseorang, menekannya ke jok belakang.
Mobil itu melaju kencang, meninggalkan parkiran sebelum siapa pun sempat menyadari sesuatu.
Syifa masih terengah, mencoba menyatukan napasnya yang tercekat. Hidungnya terasa perih. Dia menoleh, tubuhnya gemetar, lalu menatap wajah sosok di depannya—yang kini melepaskan penutup kepala dan masker yang tadi menyamarkan wajahnya.
Matanya membelalak.
“Arlan?”
Sosok itu tersenyum tipis. “Syifa, kamu mengingatku?"
“Kenapa kamu menculikku?”
Arlan adalah sahabat Syifa semasa kuliah. Dia tidak mengerti mengapa Arlan berubah. Dulu, Arlan sangat sopan dan baik padanya.
“Tenang. Aku tidak akan menyakitimu, Syifa. Aku hanya ingin kita bicara, tanpa gangguan dari Dewa.”
"Kita bisa bicara tanpa harus melakukan ini. Sekarang, aku sudah punya suami."
“Iya, aku tahu. Justru karena kamu istri Dewa, aku ingin menyelamatkanmu!"
Syifa menatapnya ngeri. “Kamu tidak tahu apa-apa tentang kami.”
Arlan mendekat, membelai pipi Syifa yang kini bergetar karena takut dan kemarahan. Tapi Syifa terus menghindarinya.
“Justru aku tahu banyak. Termasuk soal kedua orang tuamu... dan kenapa kamu seperti ini. Semua penderitaan yang kamu rasakan karena Dewa. Sama seperti penderitaan yang aku rasakan. Karena Dewa, aku juga kehilangan kedua orang tuaku. Nyawa, harus dibalas dengan nyawa."
"Semua itu sudah takdir!"
"Takdir? Tapi takdir itu disengaja. Tetap saja, aku tidak rela hidup Dewa bahagia di atas orang-orang yang menderita karena perbuatannya."
Mobil terus melaju ke arah luar kota.
kan pengen doubel bab gitu😊😊😊
semoga saling percaya dan saling menjaga... pondasi yang utama...