Marina, wanita dewasa yang usianya menjelang 50 tahun. Telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarganya. Demi kesuksesan suami serta kedua anaknya, Marina rela mengorbankan impiannya menjadi penulis, dan fokus menjadi ibu rumah tangga selama lebih dari 27 tahun pernikahannya dengan Johan.
Tapi ternyata, pengorbanannya tak cukup berarti di mata suami dan anak-anaknya. Marina hanya dianggap wanita tak berguna, karena ia tak pernah menjadi wanita karir.
Anak-anaknya hanya menganggap dirinya sebagai tempat untuk mendapatkan pertolongan secara cuma-cuma.
Suatu waktu, Marina tanpa sengaja memergoki Johan bersama seorang wanita di dalam mobilnya, belakangan Marina menyadari bahwa wanita itu bukanlah teman biasa, melainkan madunya sendiri!
Akankah Marina mempertahankan pernikahannya dengan Johan?
Ini adalah waktunya Marina untuk bangkit dan mengejar kembali mimpinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#32
#32
Sambil menikmati kudapan pagi, mereka berbicara santai, jauh dari kesan formal, karena memang topik pembicaraan mereka bukan urusan pekerjaan.
Terpaksa Marina mengisahkan kisruh rumah tangganya bersama Johan, walau hanya garis besarnya saja. Bukan bermaksud mengumbar aib, tapi masalah ini juga menjadi masalah tuan Gusman, yang notabene orang penting di dunia bisnis.
“Jadi begitu, Tuan,” ungkap Marina usai menuturkan apa yang terjadi.
“Suamimu sengaja menyeretku, agar dia bisa menutupi kesalahannya sendiri?” Dengan santai, Tuan Gusman menanggapi penuturan Marina. Namun tanpa sepengetahuan siapapun, pria itu mengepalkan tangannya di bawah meja, Johan barusaja membangunkan singa yang tertidur lelap.
Biasanya tuan Gusman hanya marah atau kesal, ketika rencana bisnisnya tak berjalan sesuai rencana. Atau jika ada masalah di salah satu anak perusahaan Senopati Group.
Tapi ini? Sungguh tak pernah terbayangkan jika akhirnya tuan Gusman menjadi tersangka pebinor yang sesungguhnya. Hebat bukan?
Tuan Gusman semakin dongkol ketika melihat Agung diam-diam menertawakannya, “Makin besar kepala saja anak itu,” gerutu tuan Gusman dalam hati.
“Sekali lagi, saya minta maaf, Tuan. Saya benar-benar tak ada maksud melibatkan Anda.” Marina meremas kedua tangannya sendiri, ia gugup, takut jika tuan Gusman marah. Tapi sepertinya yang dikhawatirkannya tidak terjadi, karena pria itu nampak santai seolah ini bukan masalah besar.
“Ini bukan salahmu, karena hari itu aku yang menghampirimu, seandainya aku langsung pergi, tentu tak akan terjadi hal seperti ini.”
“Tapi, bukan itu inti permasalahannya,” sambung tuan Gusman.
Marina dan Farida saling pandang, “Maksud Tuan, apa?”
“Suamimu sengaja mencari-cari kesalahanmu, agar kamu terlihat sebagai orang yang paling bersalah dalam hal ini.”
Tuan Gusman melambaikan tangan ke arah Agung, dan pria itu pun mendekat. Mereka berbisik, tak jelas apa yang sedang mereka bicarakan.
Marina dan Farida sama-sama diam, menunggu kalimat tuan Gusman selanjutnya. “Izinkan Aku membantumu.”
“Apa?!” tanya Marina kaget.
“Aku akan meminjamkan pengacaraku padamu, agar ada yang memberimu arahan soal hukum.”
Sementara wajah Farida sudah berbinar, Marina masih keheranan. “Tapi, Tuan. Bukan itu maksud saya datang menemui Anda. Apalagi sampai meminta bantuan pengacara.” Marina merasa tak enak, ia bahkan membayangkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar pengacara.
“Sungguh, Tuan, saya …” Farida membungkam bibir Marina, agar tak melanjutkan kalimatnya.
“Terima kasih, Tuan. Saya yakin Marina memang perlu kuasa hukum, jika tidak, ia akan terus dibodoh-bodohi anak dan suaminya.”
“Rida! Kamu ini bicara apa?” sentak Marina tak suka. Namun Farida mengabaikannya.
“Nah, kan, begini ini Marina. Dia selalu menolak bantuan, padahal sangat membutuhkannya.”
Tak disangka tuan Gusman tersenyum, wajahnya terlihat semakin menawan, “Bersamaku, dia tak pernah tersenyum semanis itu,” cebik Agung, tentu saja dalam hatinya.
“Biar itu menjadi urusan pengacara, dan mungkin nanti, pengacara langsung yang akan menghubungimu. Agar kalian bisa berkoordinasi.” Seolah-olah masalah bisa selesai dengan mudah, jika tuan Gusman yang bicara.
“Alhamdulillah. Tuh, kamu dengar kan, Rin?” ucap Farida penuh syukur, akhirnya ada jalan terang buat Marina.
Farida memang pernah berpengalaman mengurus perceraian, tapi ketika itu lawannya hanyalah pria biasa, jadi tak sampai adu mulut antar pengacara.
Bahkan prosesnya bisa lebih cepat, serta tak ada pembagian gono-gini, karena semua uang hasil kerja kerasnya sudah dihabiskan oleh mantan suaminya bersama sang gundik.
Marina tersenyum, ia jadi serba salah, padahal tuan Gusman tak keberatan membantunya. “Saya tak tahu harus berkata apa lagi, tapi terima kasih, Tuan.”
“Itu saja sudah cukup, aku permisi, karena setelah ini masih ada pertemuan penting.” Tuan Gusman menegakkan punggungnya, kemudian berdiri sambil memasang kembali kancing jasnya.
Marina dan Farida sama-sama berdiri, mereka bersalaman kemudian berpisah, karena tuan Gusman harus menghadiri pertemuan selanjutnya. “Kami tunggu kabar selanjutnya, Tuan.”
Marina menyenggol lengan Farida, agar wanita itu tak asal berucap. Namun Farida mengabaikannya. Wanita itu justru melambaikan tangan ketika mobil tuan Gusman mulai berjalan meninggalkan tempat parkir.
“Kamu itu, bisa gak kalau ngomong jangan asal bunyi!” tegur Marina tegas.
“Asal bunyi gimana toh?” Dengan santai Farida menanggapi ucapan Marina.
“Ya, asal bunyi. Gimana kalau Tuan Gusman menganggapku punya maksud mengemis bantuan?” Marina sedikit menaikkan suaranya, bahkan wajahnya masih merengut tak terima.
Farida tertawa, “Kita tidak mengemis, Rin. Kamu dengar sendiri kan tadi. Jelas-jelas Tuan Gusman yang menawarkan bantuan, Aku cuma mengiyakan loh.”
“Aku malu sekali tadi, Kamu itu … “
“Rina, dunia ini tidak hanya berisi orang baik, tapi banyak orang yang berpura-pura baik, agar bisa tetap berbuat jahat. Coba kamu resapi ketulusan Tuan Gusman, dia benar-benar ingin membantumu, disamping ingin membersihkan nama baiknya juga. Jadi please, singkirkan segala prasangka dan rasa tak enak yang bersemayam di hatimu.”
Marina diam, ia merenungi kata-kata Farida. Kini semakin jelas terlihat, bahwa dirinya hanya seperti orang primitif di tengah ramainya Ibu Kota Jakarta.
Farida mendekat, ia berbisik agar Marina mendengar dengan jelas perkataannya. “Aku yakin sekali, setelah putusan cerai turun, dan masa iddahmu berakhir. Tuan Gusman akan segera melamarmu.”
Blush, wajah Marina memerah. “Sok tahu, kamu bukan Tuhan!”
“Memang, siapa yang bilang aku adalah Tuhan, tapi tebak-tebakan boleh kan?” Farida menyendok potongan terakhir cakenya.