Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 - Realita Hidup
Sabtu pagi datang dengan tenang, matahari menyinari halaman belakang rumah megah itu dengan lembut. Burung-burung kecil terdengar dari kejauhan, menyambut hari baru yang seolah penuh janji. Namun bagi Tari, pagi itu bukan tentang santai atau menikmati akhir pekan. Ia bahkan belum sempat menyesap teh paginya ketika seorang pelayan menyampaikan pesan singkat dari Gilang,
“Non Tari, Mas Gilang meminta Non ke Perpustakaan jam sembilan."
Tari hanya sempat menarik napas panjang. "Makasih ya Mba, saya mandi dulu."
Ia lalu ke kamar mandinya yang dielngkapi bath tub besar dan shower diruangan terpisah. Dengan air hangat tentu saja. Airnya terasa begitu bersih seperti air mineral botolan. Sabun mandi dan shampo yang tersedia di kamar mandi tentu saja produk luxury KBeauty (Kertanegara Beauty). Ia hanya mengenakan handuknya saat keluar kamar mandi dan memulai memakai moisturizer wajah, sunscreem, bedak tabur den makeup tipis. Melapisi seluruh kulit tubuhnya dengan Lotion KBeauty dan menyemprotkan parfume kecil yang ada di lemari, bukan produksi KBeauty tapi begitu segar wanginya. Ia lalu berjalan menatap walkin closetnya yang belum begitu penuh, bahkan 3 koper bawaanya dan baju yang sudah tersedia disana belum bisa membuat lemari itu terlihat penuh. Tari memutuskan memakai blus rajut putih bersih dengan leher V rendah dan celana panjang coklat susu, lalu menyisir rambutnya rapi ke belakang. Dalam hatinya, ia masih belum terbiasa dengan semua formalitas ini, hari libur memang biasanya hari sibuk untuk tari. Acara pernikahan, bucket bunga dan juga pesanan biasanya hectic di hari libur. Namun Ia tidak suka ide bahwa Ia akan di perpustakaan seharian di hari sabtu. Dari dulu Ia tak suka perpustakaan, ia lebih suka diluar bersama bunga dan tanaman. Tari menghela nafas panjang lagi, tersenyum pada bayangannya sendiri, memberi semangat dirinya sendiri,
Perpustakaan berada di sisi timur lantai dua, di balik dua pintu kayu ganda yang jika terbuka menampakkan ruangan indah setengah bundar. Rak-rak kayu menjulang dari lantai ke langit-langit, penuh buku tebal tentang manajemen, botani, seni, dan ekonomi. Di bagian tengah ruangan, terdapat satu meja kerja besar dengan lima kursi ergonomis, beberapa laptop, printer canggih, dan layar monitor 65 inci yang menempel di dinding seperti pusat kontrol di perpustakaan modern.
Tari terpana. Ini bukan sekadar perpustakaan. Ini ruang belajar yang dirancang seperti kantor kecil dengan gaya klasik dan sistem digital penuh.
Gilang sudah berdiri di depan layar monitor besar, mengenakan polo shirt putih yang pas di tubuh kurusnya dan celana jeans gelap. Ia tampak begitu kasual, tapi justru dari situlah muncul kesan profesional yang mengintimidasi. Wajahnya bersih, rambutnya rapi, dan tatapannya tetap dingin seperti biasa.
“Duduk,” ucapnya singkat sambil menunjuk kursi yang menghadap ke layar.
Tari menurut, duduk perlahan. Ia mengambil iPad dari tasnya dan membukanya, mencoba bersiap.
Lalu layar TV besar itu menyala, dan Tari langsung kaget.
Tampilan pertama adalah fotonya sendiri—foto formal saat wisuda—dengan nama lengkap “Tari Sukma Dara” terpampang jelas di bawahnya, lengkap dengan detail:
Lulusan S1 Agribisnis – Universitas Swasta Bandung
Mengikuti tiga kali kursus merangkai bunga (level dasar hingga lanjutan)
Founder & Owner Toko Bunga Dara (2022 – sekarang)
Portofolio: dekorasi pernikahan, langganan florist tiga perusahaan kecil di Bandung Selatan
Tari menelan ludah. “Itu... dari mana kamu dapat semua ini?”
“Informasi ini disusun oleh tim riset internal perusahaan,” jawab Gilang, masih menatap layar. “Tapi tenang saja, hanya untuk kalangan terbatas. Tidak dipublikasikan.”
Tari merasa tidak nyaman. Ia tahu hidupnya sederhana, tapi melihatnya dipaparkan seperti ini membuatnya merasa telanjang. Terlalu terlihat. Terlalu kecil di hadapan dunia yang besar ini.
“Kenapa harus ditampilkan?” tanyanya pelan.
“Karena kita harus tahu dari mana kita mulai sebelum tahu ke mana kita akan pergi,” jawab Gilang tanpa menoleh. Ia mematikan layar dan berjalan menuju meja di sampingnya. Di sana, ia mengambil sebuah folder dan menyerahkannya pada Tari.
“Di dalam situ, ada struktur organisasi Kartanegara Beauty, daftar pemegang saham utama, jumlah karyawan aktif, serta laporan keuangan tahun terakhir. Mulai sekarang, kamu harus membaca dan memahami semua ini.”
Tari membuka folder itu dan langsung disambut halaman-halaman penuh angka, grafik, dan nama-nama asing.
“Aku nggak punya latar belakang manajemen atau bisnis besar,” gumamnya sambil menelusuri dokumen itu.
“Kamu punya agribisnis,” potong Gilang cepat. “Itu artinya kamu sudah akrab dengan rantai pasok, perhitungan produksi, dan logika pasar. Kita tinggal perluas skalanya.”
Tari menoleh padanya. “Mungkin kamu lupa, aku lebih sering memegang gunting dan pita daripada kalkulator.”
Gilang tersenyum sekilas, sangat tipis, nyaris tak terlihat. Tapi cukup untuk mengejutkan Tari.
“Justru itu,” lanjutnya. “Aku ingin tahu seberapa jauh kamu bisa berkembang.”
Ia menyalakan layar lagi, dan kali ini muncul bagan pemegang saham Kartanegara Beauty. Ada beberapa nama besar, kebanyakan investor lama dan kerabat Tirtamarta. Gilang menjelaskan satu per satu—berapa besar saham mereka, posisi strategis mereka, siapa yang punya pengaruh lebih di rapat, siapa yang lebih loyal pada Bu Tirta, siapa yang... hanya menunggu Tari gagal.
Tari mencoba menulis di iPad-nya. Tapi suaranya sendiri dalam kepala terlalu ribut. Suara yang terus berkata: Ini bukan duniaku. Ini bukan levelku. Ini terlalu besar.
Sementara itu, suara Gilang terus terdengar di latar: menjelaskan istilah-istilah ekonomi yang dulu hanya ia dengar sepintas, seperti EBITDA, market share, gross margin, dan financial exposure.
Tapi Tari tidak bisa fokus.
Alih-alih mencatat, matanya justru sering mencuri pandang ke arah Gilang—cara dia berdiri, cara dia menjelaskan dengan tenang dan penuh keyakinan, cara dia menyentuh layar dan mengganti slide seakan semua informasi itu sudah ia hafal di luar kepala.
Di balik gaya bicaranya yang kaku dan kering, ada sesuatu yang menarik. Gilang tidak tampan dengan cara flamboyan. Ia bukan model majalah, tapi ada intelegensi yang memancar dari setiap geraknya. Aura pria dewasa yang matang. Tidak dibuat-buat.
Tari menggeleng pelan. Fokus, Tar. Ini bukan waktunya kagum sama paman angkatmu sendiri.
Tapi tetap saja, setiap kali Gilang bicara, suaranya seperti gelombang tenang yang menggema di kepala Tari.
“...dan kamu harus ingat, Tari,” Gilang memutar tubuh dan menatap langsung ke arah Tari, “apa pun posisi kamu nanti di perusahaan ini, kamu akan dinilai dari dua hal: kapabilitas dan keberanian. Kapabilitas bisa dilatih. Tapi keberanian? Itu dibangun dari keputusan yang kamu buat hari ini.”
Tari menatap matanya. Ia ingin menjawab, ingin memberi respons cerdas. Tapi yang keluar hanya, “Oke. Ehm aku boleh bertanya?"
"Apa?" Gilang menghapus catatan di board.
"Aku harus memanggilmu apa?" Tanya Tari.
Pertanyaan itu membuat Gilang menghentikan kegiatannya menghapus board. Ia membalikan tubuhnya,"Gilang. Namaku Gilang."
Tari menatapnya, "Tapi bukankah kamu anak angkat Nenekku? Berarti kamu pamanku?"
Gilang tertawa lepas, sepertinya sangat menggelikan baginya. "Ayolah, beda usia kita tidak sejauh itu. Umurku baru 30, bahkan kita dari generasi yang sama."
Tari menatap tawa lepasnya itu, Gilang yang dingin bisa tertawa begitu manis.
"Mas Gilang?" Tanya Tari lagi.
"Tidak-tidak panggil aku Gilang dirumah, kalau dikantor tentu saja memakai Pak. Aku ini kastanya lebih rendah darimu jadi kamu tak perlu khawatir salah memanggilku." Gilang tersenyum kecut.
"Baiklah, Gilang?"
"Ya Gilang, dan aku akan memanggilmu Tari." Tiba-tiba waktu terasa terhenti saat mata mereka bertaut. Ada sesuatu yang bekerja saat ini, dan jantung mereka masing-masing berdegup kencang. Gilang melihat wajah Tari memerah dan Ia segera menutup presentasi. “Hari ini cukup. Besok kita mulai lebih serius.”
Tari berdiri perlahan. Menutupi wajahnya yang memanas, dan juga kepalanya begitu penuh informasi. Tapi anehnya... ada sesuatu yang membuatnya bersemangat.