Gubee, Pangeran Lebah yang ingin merubah takdirnya. Namun semua tidaklah mudah, kepolosannya tentang alam membuatnya sering terjebak, dan sampai akhirnya menghancurkan koloninya sendiri dalam pertualangan ini.
Sang pangeran kembali bangkit, mencoba membangun kembali koloninya, dengan menculik telur calon Ratu lebah koloni lain. Namun, Ratu itu terlahir cacat. Apa yang terjadi pada Gubee dan Ratu selanjutnya?
Terus ikuti ceritanya hingga Gubee terlahir kembali di dunia peri, dan peperangan besar yang akan terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cahaya Bawah Tanah
“Kenapa kau bersedih? Apa yang terjadi dengan ratumu?
Gubee mencoba menenangkan sahabat kecilnya.
Tubuh sahabatnya itu tampak semakin lemah tak berdaya. Air mata, meski sangat kecil, mengalir dari mata Semut merah penjaga yang biasa tegas, menetes perlahan membasahi tanah tempatnya terduduk.
“Katakan. Apa yang terjadi?” ulang Gubee.
“Ratuku sedang sekarat. Waktu hidupnya telah berakhir. Koloni ini akan punah Gubee!
Semut merah penjaga melihat ke sekelilingnya. Lorong-lorong yang terjalin seperti labirin yang menghubungkan berbagai ruang dan ruangan, tampak sangat hening. Dinding-dindingnya yang terbuat dari tanah yang di padatkan dengan sempurna, mulai lusuh tak terurus. Sementara aroma tanah dan feromon yang menyelimuti keseluruhan struktur, terasa pengap dan bercampur dengan bau kesedihan.
“Apa gunanya istana yang kami bangun bertahun-tahun ini, kalau akhirnya kami semua harus mati tanpa meninggalkan penerus untuk koloni ini!?” lirihnya lagi.
“sudah, sudah! Hentikan tangisanmu. Itu takkan terjadi! Jangan terlalu memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi.
Gubee melepaskan ikatan tabung di pinggangnya. Ia membuka penutup tabung itu, dan bau khas nektar bunga Edelweis yang masih terasa segar, menguap dari tabung itu.
“Ambillah. Berikan nektar bunga keabadian ini pada Ratumu.” Gubee meletakkan tabung itu di pangkuan Semut merah penjaga.
“Kau berhasil mendapatkannya Gubee?” Raut iba Semut merah penjaga berubah drastis. Aroma nektar bunga Edelweis yang membubung ke udara, seakan menyinggahkan corak baru ke wajah Semut merah penjaga.
Gubee tersenyum pada serangga kecil itu.
“Ayo berikan pada Ratumu sebelum semuanya terlambat,” ucap Gubee, membantu Semut merah penjaga yang tampak kesulitan mengangkat tabung di pangkuannya. Cairan nektar itu lebih berat dari minyak Ratu semut merah.
Semut merah penjaga kemudian berjalan memasuki ruangan, mendekati Ratu semut merah.
“Minggir! Minggir! Beri aku jalan!!
Ratusan Semut merah pekerja mulai memisah barisannya mendengar suara Semut merah penjaga yang melengking di ruangan itu. Mereka memberi jalan untuk Semut merah penjaga yang sedikit terseok-seok membawa beban di pangkuannya.
“Ratu kita akan selamat!!” pekiknya lagi.
Dibantu oleh dua ekor semut pekerja, ia meminumkan nektar bunga Edelweis itu kepada Ratunya yang tertungkup lemah. Nektar itu sedikit demi sedikit mulai mengalir ke rongga mulut Ratu semut merah.
Perlahan, Ratu semut merah mulai membuka matanya. Cahaya tubuhnya yang awalnya redup, berubah terang seperti mentari pagi yang baru saja menyembul dari balik puncak gunung Alpen.
Tubuhnya yang di tutupi oleh lapisan yang merah mencolok, mulai bergerak dengan anggun namun penuh kekuatan.
Matanya yang besar dan hitam mengamati sekeliling dengan tajam, sementara antenanya bergerak lincah, menangkap setiap getaran di udara.
Ratu semut merah yang merupakan pusat kehidupan koloni di tempat itu, melangkah dengan keyakinan menuju singgasana yang ada di sampingnya. Singgasana yang tebuat dari gabungan tanah, serpihan daun, dan bahan organik lain itu, tampak berdiri kokoh menyambut kedatangan Ratu semut merah. Dan penjaga setia Ratu, mulai mengelilingi singgasana itu.
“Wahai anak-anak dan pengikut setiaku. Kehidupan koloni kita akan kembali berlanjut dalam beberapa dekade. Kerajaan yang kita bangun bertahun-tahun ini akan kembali berjalan seperti biasanya. Dan ini, berkat jasa seekor lebah.
Ratu semut merah memandangi Gubee yang masih berdiri di pintu masuk ruangan itu.
“Masuklah nak!” serunya kemudian.
Gubee melangkah memasuki ruangan itu. Wajahnya tampak sedikit canggung saat semua mata yang ada di ruangan itu tertuju padanya. Langkahnya sedikit tersendat-sendat sambil memaksakan senyum di wajahnya.
“Ayo kesini!” panggil sahabatnya semut merah penjaga, melihat Gubee yang gugup dan ragu-ragu.
Gubee terus berjalan di antara semut-semut merah pekerja, menuju ketempat sahabatnya yang berdiri di samping Ratu semut merah.
“Siapa namamu nak?” tanya Ratu semut merah pada Gubee yang telah berada di samping singgasana.
“Gubee! Namanya Gubee Ratu,” timpal semut merah penjaga bersemangat.
Gubee hanya tersenyum simpuh sambil menganggukan kepalanya. Raut wajahnya masih tampak canggung.
“Aku dan semua koloniku sangat berterimakasih padamu Gubee. Kau sudah menjadi penyelamat kerajaan ini. Kau sudah sangat berjasa pada kelangsungan hidup koloni ini. Katakan, apa yang kau inginkan sebagai bentuk imbalan dari kebaikanmu ini?
“Ah! tidak Ratu. Kau tak perlu memberikan apapun. Kau tak perlu merasa berhutang budi padaku. Aku bisa berada di tempat ini sekarang, juga berkat bantuan kolonimu. Kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi bangkai di daun tanaman itu. Aku yang patut berterimakasih pada kalian,” ungkap Gubee membungkukkan badan.
“Jasamu pada koloni ini tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan padamu Gubee,” sela Semut merah penjaga.
“Kami hanya menyelamatkan satu nyawa, sedangkan kau menyelamatkan semua nyawa yang akan meneruskan koloni ini.
Semut merah penjaga memeluk Gubee. Serangga yang hanya setinggi pinggang Gubee itu, menangis haru. “Terimakasih Gubee,” desisnya.
Gubee tersenyum sambil mengelus-elus punggung sahabatnya. Pertemuan mereka tiga hari lalu seakan membuat ikatan yang sangat sakral di antara keduanya. Suasana haru, berlangsung di lorong bawah tanah itu.
“Aku harus pergi kawan. Ratumu telah selamat. Semoga kalian semakin berkembang,” bisik Gubee pada Semut merah penjaga yang masih merangkul pinggangnya.
“Kemana?” semut Merah penjaga melepaskan pelukannya. Wajahnya tampak tak senang.
“Aku ini lebah. Aku juga punya koloni. Aku akan kembali ke sarangku.
Gubee berusaha menenangkan sahabatnya yang kembali terlihat murung. Dihapusnya bekas air mata yang masih mencolok di wajah sahabatnya itu.
“Bermalam lah di sini untuk satu malam Gubee,” pinta Ratu semut merah yang juga mendengar percakapan mereka.
“Kami akan mengadakan pesta untukmu sebagai ucapan terimakasih,” imbuh Ratu semut merah, tersenyum.
“Hhh, itu tidak perlu..,
“Siapkan pesta!! seru semut merah penjaga.
“heii, tidak perlu repot-repot!” ujar Gubee, berusaha menghentikan sahabatnya yang ingin meninggalkan tempat itu.
“Beristirahatlah di sini. Aku akan membawakan nektar bunga untukmu,” ucap Semut merah penjaga tersenyum senang, lalu pergi.
Semut pekerja di ruangan itu membubarkan barisannya. Mereka mulai bergerak keluar ruangan, mengikuti perintah Semut merah penjaga.
Gubee tak mampu berkelit lagi. Dia tak dapat berkata-kata lagi melihat tingkah sahabatnya yang sangat bersemangat mempersiapkan pesta untuknya.
Malam itu, di sebuah ruang bawah tanah yang luas, pesta berlangsung dengan meriah. Ratusan semut merah bergerak lincah di atas tanah merah, berbaris dalam formasi yang teratur dan penuh semangat.
Mereka saling berinteraksi dengan cara yang unik: bertukar makanan kecil, menari-nari dengan gerakan terkoordinasi, dan membangun struktur mini dengan bermacam-macam pola dengan tarian mereka. Suara riuh dan hentakan kaki mereka, terdengar seperti musik alami di ruangan itu, menciptakan suasana penuh kegembiraan.
Bermacam-macam nektar bunga dihidangkan di hadapan Gubee yang duduk di samping singgasana Ratu semut merah. Tanah di sekitar singgasana itu, terasa bergetar oleh gerakan kaki Ratu semut merah yang tanpa sadar mengikuti irama pesta. Sahabat Gubee si Semut merah penjaga, juga ikut menari-nari di sampingnya.
Malam itu berlalu dengan penuh suka cita. Pesta yang di adakan koloni semut merah terasa seperti perayaan keajaiban alam. Sinar rembulan yang membias lewat kisi-kisi ruangan itu, menjadi saksi bangkitnya kembali semangat koloni semut ini.
Lanjut Bab 12