"Jadi pacar saya, maka kamu akan wisuda tahun ini. Setelah itu masa depanmu pun saya jamin."
Surat cinta dari Bu Dosen membuat Cakra berlonjak kegirangan. Tanpa pikir panjang dia menerima demi lulus tahun ini dan foto wisuda bersama kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon weni3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga Diri
"Udah nangisnya, Bu! Sumur aja bisa kering gimana air mata Ibu? Udah ya Bu Dosen, istrinya Cakra. Jangan nangis lagi!" pinta Cakra dengan lembut. Mengusap kepala Viola lalu mengajaknya keluar dari kamar orang tuanya.
Jadi tadi setelah sesenggukan dengan Pak Narto dan Bu Narto. Viola masuk ke kamar kedua orang tuanya dan mengingat semua kenangan saat bersama kedua orang tuanya di sana. Rasanya sangat menyesakkan. Bahkan dia ditinggal berbarengan. Sangat tidak siap menghadapi semua tanpa orang tua. Mereka yang paling utama bagi Viola mengingat dia hanya satu-satunya anak mereka.
"Aku masih sedih banget. Nggak akan pernah siap berada di posisi ini." Viola mengusap air matanya. Jika tak ada Cakra dan keluarganya pun mungkin Viola hanya dengan Pakdhenya yang juga tidak bisa terus ada di sampingnya. Mereka memiliki usaha yang ramai dan dikelola sendiri. Maka dari itu Pak Narto memilih pensiun dan menariknya ke kampus itu.
Sebenarnya bukan hanya itu, kampus besar tempatnya mengajar adalah milik keluarga besarnya. Milik mendiang kakek Viola dan dipasrahkan pada sang Papah. Namun karena Papahnya begitu sibuk dengan kantor dan segala macam bisnisnya. Maka dari itu dilimpahkan kepada Pak Narto untuk membantu mengurus.
Sang Papah lebih fokus ke bisnis hingga menumpuk harta karena memikirkan masa depan Viola, anak semata wayangnya. Mungkin sudah jalannya dan sudah ada firasat sebelumnya hingga semua dipersiapkan hanya untuk Viola.
Benar saja, Papah berpulang dan disusul oleh Mamah. Mereka sehidup semati hingga tersisa Viola sendiri. Inginnya Viola menikah pun sudah terwujud. tanpa mereka tau jika itu semua karena keterpaksaan.
"Sabar! Saya sudah janji 'kan?"
"Kamu jangan membebankan diri kamu. Saya bukan tanggung jawab kamu. Saya yang maksa kamu kemarin. Boleh kalau kamu juga mau ninggalin saya."
"Ngomongnya gitu terus. Nggak bosen? Jalanin aja dulu! Ini masih berduka. Jangan membicarakan tentang perpisahan! Kalau nggak ada saya, Ibu mau sama siapa?"
Viola bungkam. Benar kata Cakra. Dia akan sangat sendirian jika tidak ada pria itu di sampingnya. Namun sampai kapan? Sedangkan Cakra sendiri memiliki impian menikahi kekasihnya.
"Ibu istirahat dulu! Saya mau bantu Bapak di bawah. Jangan banyak melamun! Nggak baik. Ngeri aja nanti kayak ayamnya Bapak. Gara-gara ngelamun jadi kesurupan. Mana suaranya beda. Bukan berkokok malah jadi seperti sapi. Emoooooohhhh... Apa nggak ngeri coba?"
Viola berdecak lalu menatap sengit ke arah Cakra. Bercandanya terlalu garing tetapi mampu membuat ekspresi di wajah Viola berubah.
"Ya udah sana!"
"Duh jangan dorong-dorong Bu dosen tersayang!" ucap Cakra dengan lembut lalu melangkah keluar kamar setelah memastikan jika Viola aman dia tinggal.
"Gimana Nak Viola, Cak?" tanya Ibu. Sejak tadi Ibu merasa khawatir dengan menantunya. Namun karena belum dekat membuat Ibu hanya melihat. Ada Pakdhe dan Budhenya Viola juga di sana yang mencoba menenangkan jadi sedikit lega, meskipun Ibu sangat ingin memeluk menantunya.
"Sedang istirahat, Bu. Malam ini Cakra tidur di sini ya, Bu. Kasihan Viola, kayaknya masih ingin di sini."
"Ndak apa-apa to, Le. Ya ditemani gitu istrinya. Jangan ditinggal dulu! Kalau bisa tiga hari ini kamu ambil libur dulu buat menghibur istrimu. Ibu dengar mantu Ibu itu seorang dosen di kampus kamu? Banyak banget tadi yang datang melayat.
"Iya Bu."
"Kok bisa to, Cak? Mainmu kejauhan," sahut Bapak yang ikut penasaran.
"Jauh gimana kalau tiap hari ketemu, Pak. Nggak ada yang salah 'kan? Hanya jabatan ya meskipun umurnya juga beda sekitar lima tahunan tapi anggap aja sama. Bu Viola cantik 'kan?"
"Nggak kelihatan lebih tua dari kamu tapi dewasa. Ibu mah siapa saja, yang penting sayang dan kamu bisa tanggung jawab."
"Insyaallah Cakra jawab, nanti biar Viola yang bagian nanggung hidup."
"Hush ngawur! Sudah mulai mencari nafkah buat istri," tegur Ibu.
"Harga diri seorang laki-laki jatuh jika tidak bisa menafkahi istri apalagi menelantarkan. Ingat! Tiga bulan kamu nggak kasih nafkah lahir batin. Kamu bisa kena pasal," timpal Bapak juga memperingatkan putranya.
"Nggih Ibu Bapak, duh aku harus berjuang. Berasa lagi ikut perang," gumam Cakra lalu melangkah keluar hendak menyapu-nyapu karena tadi banyak orang. Jadi rumah agak kotor.
Malam ini acara tahlilan berjalan lancar. Ada beberapa mahasiswa juga yang datang untuk ikut mendoakan. Termasuk dengan Topan dan ada Lani juga di sana. Tak hanya itu, Ramon pun hadir bahkan di ujung acara mencoba mendekati Viola.
"Are you oke?"
"Tidak perlu aku jawab, kamu sudah tau jawabannya," jawab Viola dingin. Matanya sembab karena sepanjang acara tadi dia begitu sibuk menangis.
"Kamu masih marah sama aku?" tanya Ramon tetapi Viola tak minat berkomunikasi dengan pria itu. Viola memilih untuk menghindar tetapi Ramon segera menahan tangan Viola dan menghentikan langkah wanita itu.
"Kamu nggak percaya sama aku?"
Viola menoleh ke arah Ramon. Menatap wajah pria itu dengan kedua mata yang terlihat menahan pilu. Masih teringat akan bayang-bayang pria itu yang bergerak di atas seorang wanita. Tanpa penghalang apapun dan begitu asyik hingga lupa menutup pintu. Bahkan tidak tau akan kedatangannya sampai beberapa saat Viola sadar dan berteriak.
"Apa yang harus aku percaya dari pria seperti kamu? Bahkan ucapan kamu saja nggak bisa aku pegang. Kamu itu nggak lebih dari seorang pengkhianat!"
"Oke kalau kamu yakin itu aku. Mungkin benar jika aku khilaf, tapi itu karena kamu yang nggak mau aku ajak, Viola."
"Brengkksek kamu, Ramon! Kamu tuh emang sejak awal nggak cinta sama aku!"
"Kata siapa?"
"Kalau cinta nggak gini caranya! Kamu sabar dan kamu nggak memaksakan semuanya, atau memang itu sudah menjadi habit buat kamu? Pergi dari rumahku sekarang juga!"
Di sisi lain Cakra yang sedang mengobrol dengan Lani dan Topan sontak menoleh ke arah Viola saat mendengar wanita itu sedikit meninggikan suaranya. Tanpa pikir panjang Cakra beranjak dan melangkah mendekati tetapi dengan cepat Lani menghadangnya.
"Kamu mau kemana, Cakra?" tanya Lani sedangkan Topan mengerutkan keningnya saat tau hubungan Cakra dan Lani seperti tak baik-baik saja.
Sebenarnya sejak tadi pagi sudah mulai curiga setelah melihat Cakra begitu dekat dengan dosen pembimbingnya. Namun ingin bertanya pun terhalang dengan situasi yang ada. Terlebih sejak tadi Lani begitu menempel pada mereka hingga membuatnya urung untuk bertanya.
"Itu..." Cakra tak meneruskan ucapannya. Dia kembali menoleh ke arah Viola saat Ramon terus berusaha untuk membujuk sedangkan yang ia lihat Viola seperti tak nyaman dengan pria itu.
"Kamu mau deketin Bu Viola lagi? Sebenarnya kamu tuh cinta nggak sich sama aku, Cak? Kamu perduli dengannya melebihi denganku. Dia juga bilang kamu itu pacarnya sedangkan kamu bilang kalau ini semua untuk kita. Sisi mana yang harus aku percaya jika memang apa yang kamu lakukan itu untuk kita, Cakra?"
udah lama banget ini.... Thor, jangan lama ngilangnya...
bner tuh si cakra egois 😏