Bagi beberapa orang, Jakarta adalah tempat menaruh harapan. Tempat mewujudkan beragam asa yang dirajut sedemikian rupa dari kampung halaman.
Namun, bagi Ageeta Mehrani, Jakarta lebih dari itu. Ia adalah kolase dari banyak kejadian. Tempatnya menangis dan tertawa. Tempatnya jatuh, untuk kemudian bangkit lagi dengan kaki-kaki yang tumbuh lebih hebat. Juga, tempatnya menemukan cinta dan mimpi-mimpi baru.
“Kata siapa Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri? Kalau katamu begitu, mungkin kamu belum bertemu dengan seseorang yang akan membuatmu menyadari bahwa Jakarta bukan sekadar kota bising penuh debu.”—Ageeta Mehrani, 2024
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Cup of Coffee
Hujan deras yang mengguyur selama empat jam nonstop membuat halaman rumah Ageeta tergenang di beberapa titik. Untuk itu, ia harus mengeluarkan ilmu benteng takeshi miliknya agar bisa sampai ke teras tanpa membuat sepatunya jeblos ke dalam genangan. Oh, sekadar informasi, dari semua pekerjaan fisik di dunia ini, mencuci sepatu yang kotor terkena tanah dan lumpur adalah satu-satunya pekerjaan yang tidak Ageeta sukai. Jadi sebisa mungkin dia akan menghindari hal tersebut.
Terpaut hanya satu langkah di belakang Ageeta, Reno mengekor dan turut menerapkan ilmu serupa. Walau akhirnya ujung sepatunya tetap saja kotor terkena cipratan air berkat langkah pamungkas Ageeta yang sedikit salah perhitungan.
“Yah...” sang gadis melenguh, meringis menatap ujung sepatu Reno yang kotor akibat kecerobohannya. Ini bukan hanya soal sepatu, by the way, karena Ageeta tahu betul selain harganya yang lumayan, sepatu yang kini lelaki itu kenakan juga merupakan salah satu dari segelintir pasang sepatu favorit.
Sementara itu, sang pemilik sepatu hanya melirik ujung sepatunya sebentar lalu mengabaikannya, menganggap noda kecil itu bukanlah sebuah masalah besar.
“Masuk dulu kali ya, Pak,” tawar Ageeta. Bermaksud mengambil tanggung jawab untuk setidaknya membersihkan ujung sepatu Reno menggunakan tisu basah. Atau kalaupun harus dicuci, mungkin dia bisa mencucinya hanya pada bagian yang kotor. Well, masih bisa dia kerjakan seharusnya.
Alih-alih setuju, Reno malah menggeleng cepat. “Di sini aja,” tolaknya.
“Tapi...”
“Kamu kalau mau suguhin saya kopi, bikinin aja sekarang, terus bawa ke sini,” kata Reno, seraya mendorong tubuh Ageeta agar gadis itu segera beranjak dari hadapannya dan berhenti menyuguhkan tatapan penuh penyesalan seperti sekarang. Ayolah, ini hanya noda kecil di ujung sepatunya, Ageeta tidak perlu menampakkan raut melas sampai segininya. Membuat gemas saja.
Beberapa detik ditunggu, Ageeta masih belum kunjung beranjak dari posisinya. Bahkan ketika Reno sudah mengambil posisi duduk di kursi teras, gadis itu masih saja terpaku di depan pintu yang tak pula kunjung dibuka kuncinya.
Reno menatap balik, alisnya menukik. “Kenapa?” todongnya.
Sambil menggaruk daun telinganya, Ageeta tampak ragu-ragu menjawab, “Duduk di dalam aja, Pak, di sini dingin.”
“Di sini aja, nggak apa-apa.” Final Reno.
Apa yang Ageeta katakan memang benar. Dengan hujan yang masih terus mengguyur dan angin yang berembus kencang seperti sekarang, duduk di teras terbuka seperti ini bukanlah ide yang bagus untuk dilakukan. Tetapi, mengingat ia tahu bahwa Ageeta tinggal sendirian, Reno akan mencoba menahan hawa dingin yang menusuk tulang ini. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi jika dia lancang menginjakkan kaki melewati pintu depan rumah sang gadis.
Seperti diketahui, lingkungan tempat Ageeta tinggal tidaklah sama dengan miliknya. Berpasang-pasang mata sudah jelas selalu mengawasi dari berbagai sisi. Reno tidak ingin ada kabar-kabar miring yang berembus menghampiri Ageeta. Tidak ingin gadis itu menjadi gunjingan tetangga.
“Udah sana bikinin kopi, keburu beku badan saya.” Susulnya, mendapati Ageeta yang masih tidak juga bergerak dari posisinya.
Kemudian, setelah terdengar embusan napas panjang, barulah Ageeta bergerak melaksanakan perintah. Ogah-ogahan membuka pintu dan menyeret langkahnya masuk.
Hanya dua detik berselang setelah menghilangnya Ageeta dari pandangan, ponsel di saku celana Reno berdenting. Senyumnya seketika terkembang bahkan sebelum benda pipih itu sempurna ia keluarkan. Tidak perlu menebak-nebak juga siapa yang mengirim pesan, karena Reno sudah mengatur nada notifikasi khusus hanya untuk satu orang.
Scarlett ❤️
Kapan pulang?
Scarlett-nya yang posesif menanyakan kapan ia akan pulang. Sebuah rutinitas yang tidak pernah terlewat, dan selalu Reno tunggu setiap hari. Malah akan terasa hampa dan menyebalkan kalau kecintaannya itu tidak merengek kepadanya, meminta untuk segera menapakkan kaki di rumah mereka yang luas dan nyaman.
Maka, dengan kesadaran penuh, Reno membalas, satu jam lagi sampai rumah, tunggu ya. Tak lupa disertai emotikon hati sebanyak tiga kali. Karena kalau emotikon hatinya ketinggalan, Scarlett pasti akan mengamuk. Mereog seperti buaya air tawar yang sudah berhari-hari tidak diberi makan daging segar.
Tak lama berselang setelah balasan dikirim, Reno kembali mendapatkan pesan dari Scarlett. Kali ini adalah request untuk dibawakan martabak cokelat keju dan selusin yoghurt plain. Seperti biasa, tidak perlu ragu bagi Reno untuk menjawab iya. Apa pun, apa pun di dunia ini yang Scarlett minta, akan ia berikan dengan sukarela. Bahkan kalau suatu saat Scarlett meminta nyawanya sekali pun, Reno akan menyerahkannya. Secinta itu ia pada gadis itu.
Pesan yang Reno kirimkan terus berbalas, menimbulkan denting demi denting yang riuhnya bersahutan dengan rintik hujan yang jatuh menimpa genting. Sesekali tawa Reno mengudara, lebih-lebih saat Scarlett begitu antusias menceritakan apa-apa saja yang ia lakukan hari ini. Puncaknya, ketika Scarlett mengirimkan sebuah foto dengan pose bibir manyun seolah hendak menciumnya, tawa Reno meledak sejadi-jadinya.
“Siapa yang ngajarin dia jadi centil begini, sih?”
“Pak,”
Interupsi itu lantas membuat Reno menoleh cepat. Ageeta sudah kembali rupanya, membawa nampan berisi dua cangkir. Dari aromanya, Reno bisa mengidentifikasi bahwa satu cangkir berisi kopi dan satunya lagi adalah cokelat panas.
Tersenyum, Reno menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Sigap ia berdiri menyambut nampan yang Ageeta bawa, membantu gadis itu menurunkan dua cangkir ke atas meja bundar berbalut taplak renda-renda warna putih tulang.
“Saya kira kamu nggak suka manis,” komentarnya, seraya mendorong cangkir cokelat panas ke hadapan Ageeta.
Sang gadis menarik ujung-ujung bibirnya sedikit, menggenggam cangkir dengan kedua tangan demi merasakan kehangatan dari sana. “Suka, tapi nggak terlalu. Cuma di waktu-waktu tertentu kalau lagi pengin aja,” jelasnya.
Reno mengangguk mengerti, lantas mengangkat cangkir kopi miliknya ke depan bibir. Uap panas yang menguar dari sana membuat wajahnya seketika menghangat, dan aroma khas biji kopi yang digiling sendiri (bukan kopi instan) membuatnya otomatis memejamkan mata dengan senyum yang terkembang.
“Saya rasa kamu memang punya bakat buat meracik kopi, Git,” pujinya usai menyeruput kopinya sedikit. “Kamu nggak ada keinginan buat buka kedai kopi?” lanjutnya.
Ageeta menurunkan kembali cangkir cokelat panas usai menyesapnya sedikit. Berpikir sebentar, kemudian menjawab, “Ada.” Disertai anggukan kepala mantap.
“Terus? Kapan rencana buat mewujudkannya?”
“Mungkin ... Setelah saya yakin bahwa membuat kopi memang benar-benar sesuatu yang saya senangi, bukan sekadar sesuatu yang terbiasa saya lakukan karena itu adalah bagian dari tanggung jawab pekerjaan saya?” jawab Ageeta, lebih kepada sambil mengira-ngira dan bernegosiasi dengan dirinya sendiri. “Enggak tahu juga, Pak, mungkin nggak dalam waktu dekat.”
Reno kembali menganggukkan kepala. “Kalau suatu saat kamu udah yakin dan merasa butuh bantuan, jangan ragu buat cari saya.” Lantas setelah mengatakan itu, Reno sibuk menyelami rasa khas dari kopi racikan Ageeta yang jelas berbeda dengan kopi-kopi yang biasa gadis itu suguhkan kepada dirinya selama di kantor.
Malam itu, masih ditemani rinai hujan dan cangkir minuman masing-masing, Reno dan Ageeta mulai saling membuka diri. Bertukar lebih banyak isi kepala. Yang tidak satu pun di antara mereka pernah duga bahwa saat-saat seperti itu akan datang juga.
...****************...
“Jangan lupa kunci pintu dan jendela.”
Sederhana, tetapi sudah cukup lama Ageeta tidak mendengar seseorang mengingatkannya untuk tidak teledor selama tinggal sendirian. Jadi ketika Reno mengatakan hal tersebut sebelum pamit pulang, ia tidak kuasa menahan senyum dan rona merah yang merekah di pipinya.
“Hati-hati nyetirnya, Pak. Kabarin kalau udah sampai di rumah,” ucapnya.
“Iya, nanti saya kabarin kalau udah sampai rumah.” Lalu kaca mobil kembali dinaikkan dan mobil Reno perlahan-lahan melaju meninggalkan halaman rumah Ageeta.
Di balik kemudinya, Reno masih menyempatkan diri mengawasi Ageeta melalui kaca spion. Memastikan gadis itu sudah kembali masuk ke dalam rumah sebelum mobilnya akan hilang ditelan belokan. Setelahnya, barulah ia menekan pedal gas lebih dalam, melajukan mobilnya lebih kencang demi menghampiri Scarlett yang sudah menantinya di rumah.
“Martabak cokelat keju dan selusin yoghurt plain siap meluncur, Tuan Putri.” Adalah sebaris kalimat yang ia kirimkan melalui voice note. Senyumnya tak luntur-luntur, sudah membayangkan akan mendapat pelukan dan kecupan dari kecintaannya begitu ia sampai di rumah nanti.
“Fxck, I love her so much....”
Bersambung...
ninggalin 🌹 dulu buat ka author✌️✌️✌️