Pria Dingin & Angsa

Kitty kemudian menuju ke ruang tamu dan bersiap untuk pergi. Wajahnya menunjukkan ketegangan, namun ia berusaha tetap tenang.

"Kitty, kamu ingin kemana?" tanya Samuel, dengan nada khawatir dan sedikit curiga melihat gelagat Kitty yang terburu-buru.

"Pulang ke rumahku!" jawab Kitty dengan santai, namun suaranya bergetar menahan emosi agar tidak meledak.

Samuel mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres. "Apakah kamu sudah selesai memasak?"

Kitty berhenti sejenak, berbalik dan menatap Samuel dengan tatapan dingin. "Selama hidupku aku hanya memasak untuk papa dan mamaku. Orang luar kalau ingin makan, masak sendiri saja."Samuel terlihat bingung dan sedikit marah mendengar jawaban Kitty yang tiba-tiba berubah tajam.

"Kitty, kenapa kamu bicara seperti itu? Alena bukan orang luar."

Kitty mendekatkan wajahnya ke arah Samuel, matanya penuh dengan ketegasan. "Dia adalah keluargamu, dan aku bukan anggota keluarganya. Jadi dia adalah orang luar bagiku. Maaf, aku ada urusan lebih penting dan harus pulang sekarang!"Selesai berkata, Kitty segera melangkah keluar dengan cepat.

"Anak yang tidak dididik, beda kelas dan beda level," sindir Celine yang membandingkan Alena dan Kitty dengan nada menghina.

Billy, yang merasa bangga mendukung istrinya, melanjutkan dengan nada sarkastik, "Memang sudah seharusnya pergi kalau masih sadar diri."

Samuel berdiri di antara mereka, merasa bingung dan tertekan, sementara Celine melanjutkan serangan verbalnya dengan lebih tajam. "Samuel, biarkan saja Angsa murahan pergi. Jangan lupa, kau menikah untuk masa depanmu agar bisa sukses dan dibantu oleh istrimu. Kalau menikah dengan anak pasaran, sampai kapanpun kau tidak akan bisa sukses," ujar Celine sambil menyindir Kitty dengan nada penuh kebencian.

Samuel mencoba menengahi, "Ma...," ucapnya dengan ragu, namun suara tawanya Kitty yang tiba-tiba meledak membuatnya terhenti.

Kitty menoleh ke arah mereka dan tertawa terbahak-bahak, suaranya memenuhi ruangan itu."Hahahaha....," suara Kitty yang terbahak-bahak seakan mendengar cerita lucu membuat Samuel semakin bingung.

"Kitty, apa yang lucu?" tanya Samuel dengan nada heran.

Kitty menahan perutnya yang mulai terasa sakit karena tertawa terlalu keras, "Lucu sekali, lucu sekali," jawabnya di antara tawanya yang belum juga reda.

Celine dan Billy semakin kesal, wajah mereka memerah menahan emosi.

"Hahahaha... Anak laki-laki orang menikah demi kebahagiaan, dia ingin anaknya menikah demi bisa sukses," ucap Kitty sambil terbahak-bahak lagi, matanya memancarkan ejekan.

Celine, yang tidak bisa menahan amarahnya lagi, berdiri dengan nada tinggi, "Apa yang lucu?" tanyanya, suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan.

Kitty menatap Celine dengan tajam, "Bibi, apakah kalian sebagai orang tua tidak sanggup membimbing putra sendiri sehingga harus bergantung pada pihak wanita? Bukankah seorang pria harus berusaha untuk menjadi orang sukses? Kenapa malah harus menikah dengan wanita kaya agar anakmu bisa kaya? Lucu sekali," sindir Kitty dengan tajam, tanpa sedikit pun rasa takut.

Samuel yang merasa dipermalukan di depan orang tuanya, membentak dengan marah, "Kitty, diam! Jangan bicara seperti itu dengan mamaku!"

Kitty, yang tidak terintimidasi, menatap Samuel dengan tatapan penuh keberanian, "Samuel, selama hidup kamu selalu saja hidup di bawah kaki orang tuamu. Kapan kau baru bisa mandiri? Selalu bergantung pada orang tua dan sekarang ingin bergantung pada wanita kaya. Bukankah sama saja kamu seorang pria tidak memiliki kemampuan," ejek Kitty dengan nada tajam.

"Diam!" bentak Samuel lagi, kali ini tangannya terangkat, berniat menampar Kitty. Namun, Kitty tetap berdiri tegak, menantang."Tampar saja kalau berani! Walau aku bukan anak orang kaya, tapi orang tuaku tidak pernah memintaku menikah dengan pria kaya. Tidak seperti orang tuamu," ketus Kitty, tatapannya tidak gentar sedikit pun.

Samuel menurunkan tangannya sambil menahan emosi yang meluap-luap, "Cepat minta maaf pada orang tuaku!" perintahnya dengan nada penuh amarah.

Kitty menatap Samuel dengan penuh kebencian dan tekad, "Tidak! Sejak dulu mereka selalu saja merendahkan aku, lagi pula di dunia ini masih banyak pria yang jauh lebih baik dari putramu. Kenapa aku harus menjadi orang bodoh dan diperintah sana sini," jawab Kitty dengan tegas, suaranya penuh ketegasan dan keberanian.

Kitty kemudian menatap kedua orang tua Samuel, matanya penuh kebencian dan tekad. "Bibi, Paman, jangan cemas! Lagi pula aku juga tidak berminat dengan pria yang tidak punya prinsip dan tidak bisa mandiri. Aku hanya akan mencintai pria yang bisa melindungiku dan bisa membuatku nyaman. Sayang sekali, putra kalian bahkan tidak punya kemampuan itu," lanjut Kitty yang kemudian beranjak dari sana, langkahnya penuh keyakinan.

Samuel, yang merasa terpojok, mencoba memberi Kitty satu kesempatan lagi, "Kitty, kamu masih ada kesempatan, minta maaf pada orang tuaku dan aku akan melupakan apa yang kamu katakan tadi!" titahnya dengan suara yang bergetar menahan emosi.

Kitty berhenti sejenak, menoleh ke arah Samuel dengan tatapan tegas, "Samuel, walau aku mencintaimu, tapi aku tidak akan membiarkan siapapun yang menghina kedua orang tuaku. Kau selalu mengutamakan orang tuamu dan mantanmu sehingga mengabaikan perasaanku. Aku merasa hanya sebagai bonekamu di saat bersamamu. Aku juga ada harga diri. Jangan berharap keluargamu bisa menginjak harga diriku. Aku adalah Kitty, tidak berharap kamu memaafkanku. Karena aku merasa aku tidak bersalah," jawab Kitty dengan tegas, suaranya penuh keyakinan sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu dengan langkah mantap.

Setelah keluar dari rumah mewah itu, Kitty menghentikan langkahnya dan memandang bunga-bunga indah yang menghiasi halaman besar itu. Warna-warni bunga tersebut tampak kontras dengan amarah yang masih membara di dalam hatinya.

"Aku yakin bunga ini pasti mahal harganya. Bukankah ibu Samuel sangat menyukai bunga ini?" gumam Kitty, suaranya dipenuhi dengan kepahitan.

Gadis itu melampiaskan kemarahannya pada tanaman milik Celine. Dengan tangan gemetar dan penuh emosi, ia mulai mencabut kelopak bunga satu per satu hingga berserakan di sekitar batang tumbuhan lainnya.

"Tanaman sialan, kalian sama saja dengan majikan kalian itu. Karena majikan kalian menyinggungku, maka kalian juga menjadi musuhku," gerutu Kitty sambil mencabut hingga ke akar-akar semua tanaman tersebut.

Bunga-bunga yang sebelumnya tampak begitu cantik kini hancur berantakan di tangannya. Kitty merasa sedikit lega, meskipun hanya sejenak, dengan melampiaskan amarahnya pada tanaman-tanaman itu. Dengan nafas yang masih tersengal-sengal, ia mengamati hasil dari kemarahannya, lalu berbalik pergi, meninggalkan halaman rumah mewah itu dengan perasaan campur aduk antara marah dan kepuasan.