Hal yang membuatmu ragu dalam melangkah, adalah dirimu sendiri.
***
Aku mengalami kecelakaan disaat-saat terbaik. Menjadi seorang chef terkenal dan menghasilkan banyak uang dengan sampingan menjadi seorang penulis handal adalah impianku.
Namun, semua hilang saat jiwaku bereinkarnasi ke dunia lain, di tubuh yang berbeda sebagai seorang antagonis dalam novel romantis kerajaan.
Petualangan ku dimulai, di Akademi Evergreen menjadi seorang antagonis.
***
"Aku tidak melakukannya karena keinginanku, melainkan ikatan yang melakukannya." - Aristella Julius de Vermilion
[COPYRIGHT FYNIXSTAR ]
[INSPIRATION FROM ANIME]
1. RAKUDAI KISHI NO CAVALRY
2. GAKUSEN TOSHI ASTERISK
3. CLASSROOM OF THE ELITE
[ENJOY]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Estellaafseena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER XI
Sama seperti Everglori yang lainnya, mereka menyiarkan pertarungan antar murid itu disetiap sudut akademi. Kini, murid-murid yang malas dan tidak sepenuhnya tertarik hanya duduk di kelas menyaksikan pertarungan di papan depan kelas.
Anehnya, berasal dari para Profesor yang mengajar di kelas itu tiba-tiba berhenti dan memilih keluar kelas menuju studion.
"Gadis itu bertarung? Hah! Sudah sangat jelas siapa yang akan menang."
"Benar. Kelas C dan E sudah berbeda, dia berani sekali."
"Bukan berani, dia itu bodoh."
Tawa menggelegar remeh diantara para murid dalam kelas. Hanya tiga orang yang tidak mengikuti jalan para setan itu, terutama Riana. Dia menatap khawatir layar di depannya, "Apa akan baik-baik saja?"
Mexis yang menjalankan misi wajib paginya di samping Riana kini membuka mata, menatap sesekali menguap tak bersalah sembari menopang dagu ke arah layar, "Dasar bodoh. Dia menggali kuburannya sendiri."
"Jangan bicara seperti itu!" Seru melengking Riana pada Mexis.
"Aku benar kan," balas Mexis tidak mau kalah dari sahabatnya. Mereka berdebat hak sepele sampai Mexis bicara, "Kenapa kau begitu baik pada orang sepertinya? Dia sudah berusaha untuk melukaimu."
Riana sedikit tersentak, lantas menunduk murung, "Tapi dia juga ..."
Mexis mengernyit karena tidak sepenuhnya mendengar ucapan Riana, dia hendak menanyakannya, namun terpotong oleh suara gemuruh dari pemandu acara.
"Pertarungan dimulai!"
...***...
"Gadis itu bodoh ya? C dan E? Dia benar-benar ceroboh," Envy bersedekap tangan dan mengomentari sebal pada layar. Dia seperti tidak tahu akan dirinya yang suka ceroboh dalam hal menantang murid-murid tanpa pandang bulu.
Leon menghela napas panjang, "Dia sudah gila," tambahnya bersandar di punggung kursi.
Beberapa saat, mereka terdiam tanpa sadar penasaran dengan pertarungan itu. Diingat lagi Envy pernah melihatnya menggunakan sihir untuk mengeringkan tubuhnya saat itu. Lalu, Leon diam-diam juga mengetahui bahwa Stella yang melemparkan batu ke arah kepala bedebah pada saat itu.
Mengingat jarak Stella dengan mereka saat mengganggu Riana lumayan jauh, tidak mungkin jika hanya menendangnya dengan 'biasa' saja.
Tatapan mereka sedikit menunjukkan rasa malas, tapi di sisi lain rasa penasaran itu mengalahkan rasa muaknya terhadap Stella.
...***...
Di studion, mereka saling berhadapan. Saat pemandu acara berseru tanda pertarungan dimulai, Zero lebih dulu mengeluarkan senjatanya.
"Decon, X," dia berseru dengan semangat, telapak tangannya mengeluarkan cahaya merah membentuk sebuah pedang berlapis api.
"Inilah senjata legendaris yang menemani kemenangannya selama ini. Decon X type A. Kekuatan api yang lebih panas daripada api. Bisa fatal jika terkena satu tebasan saja. Ini benar-benar mengagumkan!"
Zero merasa besar kepala mendengar sorakan girang dari bangku penonton meski itu hanya beberapa murid saja, "Keluarkan senjata sampahmu."
Stella menatap datar dengan ucapan remeh dari Zero. Dia menarik kalung yang melingkar di lehernya, menggenggam erat-erat lalu memejamkan kedua matanya.
"Exclart." Saat bergumam, cahaya muncul dari bawah lantai studion yang ia pijak membentuk lingkaran biru. Dari sela jarinya bersinar cahaya yang serupa yang kemudian memanjang membentuk sebuah pedang.
Stella membuka mata, mengayunkannya ke samping, lalu menghunuskan pedangnya ke arah Zero.
Seperkian detik terdiam, pemandu acara juga tidak kunjung bicara karena tidak mendapatkan informasi terhadap senjata Exclart itu sendiri. Zero tertawa mengisi gema di studion, diikuti murid-murid lain di sana maupun di luar studion.
"Apa-apaan itu? Pedang usang? Dengan ini sudah jelas siapa pemenangnya," lagi-lagi Zero bicara remeh, namun tidak ditanggapi oleh Stella.
Di sela tawa Zero bicara, "Baiklah jika kau bersikeras. Aku tidak akan mengalah, kau tahu itu bukan?"
'Banyak bacot.' batin Stella mulai sebal.
Zero bersiap dengan kuda-kuda masih dengan senyuman kebanggaannya, "Mari kita mulai."
Saat penantang sudah siap, lampu studion meredup berganti dengan lantai tengah studion yang dipijak dua peserta kini bercahaya lampu pola lantai neon pink dan biru mengisi ruangan.
Zero melesat cepat ke arah Stella, seakan menghilang, dia muncul di depan Stella dengan pedang yang terangkat. Stella menyerong untuk menghindari tebakannya yang beberapa detik hendak menyambut.
Ia melompat ke belakang membuat jarak, kembali pada posisi bersiap.
Zero menoleh dengan senyum mengejek, "Menghindar? Itu cara klasik dari para pecundang."
Stella menatap datar tak berkutik. Melihat hal itu Zero tersenyum kesal, kembali melesat ke arah Stella. Saat pedangnya terayun, Stella menangkisnya dengan cepat, membuat kedua pedang saling berhantaman.
"Kau benar-benar seorang pecundang, Aristella Julius!" Zero tertawa di sela pertarungan, dia mengayunkan pedangnya dari segala arah dengan cepat sampai tak terlihat wujud.
Stella tetap bertahan. Kekuatannya belum sepenuhnya ia kendalikan dan masih juga belum stabil. Ditambah baru satu elemen yang ia panggil dan terlihat wujudnya, Angin. Tidak mungkin dia menggunakan angin untuk melawan api.
Suara nyaring dari hantaman kedua pedang memenuhi area studion di setiap detiknya karena Zero yang terus melayangkan serangan.
Stella lagi-lagi melompat ke belakang membuat jarak. Zero yang tahu itu melesat, melompat di udara lantas berseru, "Firelai!"
Api berbentuk sabit mengarah pada Stella. Ia mengayunkan pedangnya membuat sabit api itu terbelah dan meledak di belakangnya tanpa menyentuh tubuhnya seinchi pun.
Zero seakan menghilang, ia tiba-tiba muncul di depan Stella yang dalam satu detik pedangnya mengarah padanya. Teknik yang sama, Stella menyerong dengan pedangnya yang bersentuhan dengan pedang Zero tepat di samping perutnya. Tebasan api terlihat memanjang di lantai beberapa inchi dari Stella. Jika terkena, habis sudah tubuhnya terbakar.
Stella menangkis pedang itu sedikit menjauh. Zero kini tersenyum sedikit dengan keringat dingin di pelipisnya. Dia melompat ke belakang dengan ragu.
'Sial. Bagaimana bisa dia menghindarinya? Keberuntungan atau memang dia yang melakukan itu?' batinnya menatap ke arah bangku penonton.
Mereka mulai berbisik-bisik dengan waktu yang terus berjalan kini lewat dua puluh menit. Kelas C dan E berbeda, seharusnya Zero sudah mengalahkan Stella sejak tadi. Merasa kesal, Zero masih tersenyum untuk menyembunyikannya meski tangannya sudah mengepal kuat.
"Lumayan, tapi, kau tidak akan sepenuhnya menghindari seranganku."
Mendengar hal itu, Stella menanggapinya dengan datar saja tanpa ekspresi bicara singkat, "Begitukah?"
Zero semakin terbawa emosi dengan berseru, "Jangan hanya karena bisa menghindari seranganku, kau menjadi besar kepala. Itu hanya keberuntungan saja!"
Zero melesat di kalimat terakhir, muncul di depan Stella dia dikejutkan dengan serangan balasan yang gerakannya sama persis dengan gerakan miliknya sebelumnya.
Kedua pedang saling berhantaman yang kemudian Zero kembali ke belakang, namun Stella kini yang maju menyerang. Kecepatannya melebihi Zero, namun gerakannya sama persis dengan milik Zero.
'Ini ... bagaimana bisa dia meniru gerakan ku?' batinnya kebingungan.
Di sisi penonton, seorang dengan jubah hitam khas Profesor akademi tersenyum miring. Ya. Profesor Egatha bersama wakil kepala akademi Profesor Preatta berada di sana.
"Apa ini yang Anda maksud pagi tadi?" Tanya Profesor Preatta melirik pada Profesor Egatha.
Ia hanya menanggapinya dengan anggukan, "Benar. Aku sangat terkesan dengan pengakuannya tadi pagi."
Sebelum pergi ke kelasnya, Stella diam-diam menemui Profesor Egatha untuk membahas tentang kekuatannya. Kekuatan yang Stella ciptakan sendiri yang ia namakan, "Pengamat, Observer."
"Apa itu, Nona?"
"Pengamat. Saya tidak yakin tapi, Saya menyadarinya saat latihan kemarin. Hanya dengan mengamati sebuah objek gerak satu kali saja, saya bisa dengan mudah menirunya."
Tentu saja Profesor Egatha terkejut sekaligus terkesan dengan itu. Sekarang dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kekuatan Stella. Namun di sisi lain ia juga merasa beberapa hal yang akan terjadi. Itu juga terpengaruh dengan ucapan Stella.
"Kemungkinan, penggunaan kekuatan utamanya sangatlah terbatas. Saya tidak tahu berapa itu karena belum mencobanya tapi, saya akan segera mengetahuinya."
Profesor Egatha bersandar pada punggung bangku penonton, sembari bersedekap tangan ia bergumam, "Kita akan lihat, Putri Aristella."
...***...
Pertarungan masih berlangsung dengan keadaan yang membingungkan semua orang. Murid kelas E bisa bertahan selama ini dari murid kelas C merupakan hal yang langka. Ditambah lagi dengan Stella yang dengan sempurna menyerang.
"Dia ... meniru gerakannya?" Envy tanpa sadar berdiri, betul-betul mengamati layar itu. Leon menatap dengan sedikit mengernyit di dahinya.
"Jelas sekali dia meniru gerakannya, namun bagaimana bisa dia melakukannya hanya dengan satu kali melihat gerakan itu?" Ucap heran Leon.
Envy setuju-setuju saja. Ia tidak bisa beralih pada layar besar itu. Suara dentingan kedua pedang yang keluar membuat detak jantungnya ikut tegang. Orang-orang yang meremehkan tadi kini diam tak bisa beralih.
...***...
"Apa itu?"
"Dia melakukannya!"
"Tapi bagaimana bisa?"
Kelas Stella kini menjadi ribut dengan bisikan-bisikan tak percaya. Teman-teman Zero yang tadi ikut dalam pembicaraan remeh kini bungkam.
"Hebat ..." Riana bergumam dengan wajah bersinar. Matanya begitu berbinar dengan kedua telapak tangan yang menutupi sebagian wajah saking kagumnya.
Mexis terdiam masih setia pada layar, "Jadi ini kekuatannya?" gumamnya pelan tak terdengar oleh siapapun.
...***...
"Bagaimana bisa ..." Suara Zero kini benar-benar tersendat dengan napas tersengal kelelahan. Ia berlutut dengan pedang yang tertancap di lantai sebagai tumpuan, menatap Stella dengan wajah merah padam.
Orang-orang kini membicarakan betapa payahnya dia.
Stella hanya menatapnya datar saat Zero perlahan berdiri. Seakan semua sudah mencapai puncak terutama emosinya, tubuhnya bercahaya dan terlahap oleh api.
"Jangan bermain-main denganku! Kau hanya kelas E jangan berlagak! Akulah yang akan menang!"
Zero berteriak nyaring lalu menarik kuat pedangnya. Hawa panas begitu terasa saat api itu membesar seiring amarah yang meluap. Stella menghembuskan napas perlahan untuk tenang, memejamkan mata, lalu bergumam.
"Mythic." Cahaya biru samar menyelimuti Stella. Benar. Inilah kekuatan inti yang ia miliki, kekuatan yang ia ciptakan dengan seluruh pengamatan serta menyerap kekuatan alam di sekitarnya.
Zero melesat cepat secepat kilat sedangkan Stella bertahan di tempatnya masih dengan mata yang terpejam, ia menghunuskan pedangnya.
"Rasakan ini!" Zero yang berseru di depan Stella beberapa langkah, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi yang terselimuti oleh api.
Stella membuka matanya perlahan, dalam pandangannya, gerakan Zero terlalu lambat seperti adegan slow motion. Ia menguatkan pijakannya, melesat cepat–lebih cepat dari cahaya–yang dalam pandangan orang lain seperti menghilang dan muncul di belakang Zero dengan posisi pedang seperti telah menebasnya.
Cahaya samar dari Stella menghilang, ia berdiri tegak merilekskan genggamannya pada Exclart yang lalu berubah kembali menjadi batu kristal. Lantai studion kembali normal dengan lampu yang kembali menyala.
Tubuh Zero tumbang setelahnya dengan senjata yang ikut lenyap. Studion hening seketika sama dengan semua orang di luar studion, menatap tak percaya Zero dari kelas C tumbang karena orang dari kelas E.
"Pe ... pemenangnya ... Aristella Julius, kelas E adalah pemenangnya!" Pemandu acara berseru membuat gemuruh sorakan ramai dari semua orang.
Di tengah itu semua, Stella tak mampu lagi menahan tubuhnya yang kini lemas tak bertenaga. Ia limbung terjatuh dengan napas tersengal sesak.
"Wow wow, sepertinya kemampuan itu memerlukan energi yang besar. Segera bawa ia ke ruang perawatan!" Pemandu acara memberi arahan, beberapa orang segera masuk ke tengah studion membantu dua orang itu ke ruang perawatan.
^^^つづく^^^
...ーARIGATO FOR READINGー...
...THANKS...