Caca terpaksa harus menikah dengan suami adiknya yang tengah terbaring sakit di salah satu kamar rumah sakit.
"Kak, aku mohon, menikahlah dengan abang Alden!" Ucap Lisa, sang adik di waktu terakhirnya.
Caca menggeleng tak setuju. Begitu juga dengan Alden. Tapi mendengar Lisa terus memohon dengan suara seraknya yang nyaris hilang dan dengan raut wajahnya yang menahan segala rasa sakitnya, Caca pun akhirnya menyetujui permohonan terakhir adiknya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka?
Yuk langsung saja intip serial novel terbaru Author!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Jampi pengusir sihir
Taksi terus melaju, sampai akhirnya berhenti tepat di luar pagar rumah keluarga Adnan. Satpam yang berjaga di pos depan pun langsung membukakan pagar saat melihat siapa yang datang.
"Selamat malam, non Caca." Sapa satpam itu.
"Malam, pak."
Caca menjinjing tasnya dan menggendong ranselnya. Melihat itu, pak satpam pun menawarkan bantuan.
"Waduh, malah merepotkan bapak nih."
"Tidak apa non. Saya senang bisa membantu non Caca." Sahutnya.
Mereka melangkah beriringan menuju rumah. Setibanya di depan pintu, Caca di sambut oleh Nadin dan Rani.
"Pergilah wahai nenek sihir..." Ujar mereka seperti membaca mantra dan mereka menaburkan garam tepat ke arah Caca.
"Pergilah wahai penyihir yang menghuni tubuh Shaima Afsha Hanum..."
Nadin dan Rani terus berucap dan menaburkan garam semakin banyak pada Caca.
Pak satpam yang tadi membawakan tas Caca langsung pergi begitu melihat kode tatapan tajam Nadin padanya.
Sedangkan Caca hanya bisa menutup bagian wajahnya agar tidak terkena oleh butiran butiran garam yang dilemparkan padanya.
"Wahai penghuni tubuh Shaima Afsha Hanum.. tinggalkan raganya.."
Ting
Tong
Nadin membaca mantra yang entah apa maknanya sambil memegang kedua bahu Caca. Sementara Rani memutarkan lonceng kecil berkeliling di atas kepala Caca.
Lalu, beberapa saat kemudian Nadin mengunyah garam yang tersisa ditangannya.
Bbbuuurrr
Dia menyemburkan garam yang dikunyahnya tepat kewajah Caca yang tidak lagi dia lindungi, karena kedua tangannya ditahan oleh Rani.
Bruuukkk
Tubuh Caca ambruk begitu saja ke rumput hijau halaman rumah. Dia pingsan. Tidak. Caca hanya pura pura pingsan sambil menyusun rencana untuk membalas ulah mama mertua dan iparnya itu.
"Ma, dia pingsan!" Seru Rani agak takut.
"Mungkin ini efek dari jampinya yang sepertinya berhasil." Gumam Nadin.
Caca menahan tawa saat mendengar mama mertuanya ternyata tadi membacakan jampi jampi pengusir sihir padanya. Ide cemerlang pun terlintas dikepala Caca untuk membalas mereka.
"Apa sihirnya hilang kali ya ma dari tubuhnya?" Tanya Rani yang bersembunyi dibelakang mamanya.
"Sepertinya begitu. Kakakmu memang bisa diandalkan menyangkut hal hal mistis."
Nadin memuji Rahayu yang memberikan jampi jampi ini yang diyakini bisa digunakan untuk mengusir sihir.
"Apa dia mati, ma?!" Tanya Rani mulai takut.
"Sssttth! Kamu bisa diam dulu nggak sih." Rutuknya pada Rani.
"Iya ma, maaf."
Perlahan mereka melangkah mendekati Caca. Mereka hendak memeriksa apakah Caca pingsan atau benaran mati. Dan Saat mereka sudah sangat dekat, Caca pun membuka matanya.
"Aaakhhh...!! Mama..." Pekik Rani kaget karena Caca tiba tiba bangun dan langsung duduk.
Sedangkan Nadin diam saja tidak berkutik sangking kagetnya melihat Caca tiba tiba bangun.
"Mama!" Seru Caca dengan suara yang sangat lembut seperti cara Khalisa memanggil mama mertuanya itu.
"Siapa kamu?!" Teriak Nadin sambil mengulurkan lonceng kearah Caca.
Caca tersenyum sangat manis dengan senyumnya yang mencontoh cara Lisa tersenyum. Tentu terlihat sangat mirip dan senyum ini paling disukai Lisa darinya.
Mata mereka membola melihat senyum itu yang sangat mirip dengan senyuman Lisa. Bukan hanya mereka berdua saja yang merasa itu senyuman Lisa, Yuni yang mengintip di balik pintu pun terkejut seakan dia melihat Lisa hidup kembali.
"Siapa kamu?!"
"Mama ini aku Lisa.." Ucap Caca lembut mencontoh cara bicara Lisa yang lemah lembut.
Mendengar itu membuat Nadin melangkah mundur dan Rani pun memegang tangan mamanya erat. Tampak dari wajah mereka tentu mereka ketakutan saat ini.
"Non Lisa!" Gumam Yuni tidak percaya.
Dia masih terus mengintip dibalik pintu.
"Jangan macam macam kamu! Katakan siapa kamu sebenarnya!!" Teriak Nadin yang kembali membacakan mantra tadi dan membunyikan lonceng.
Sementara Caca terus tersenyum dengan senyumannya yang mirip dengan cara Lisa tersenyum. Caca berniat membodohi mereka dengan berpura pura menjadi Lisa.
"Ma, mungkin benaran kak Lisa yang masuk ke tubuh nenek sihir itu." Bisik Rani yang terus bersembunyi dibelakang mamanya.
"Jangan ngawur kamu. Mana mungkin arwah Lisa gentayangan." Bantahnya.
Mendengar itu, Caca pun kembali pura pura pingsan lagi. Dia tidak lagi melanjutkan idenya untuk mengerjai Nadin dan Rani dengan cara membawa bawa Lisa yang sudah tenang disana.
"Ma, dia pingsan lagi!"
"Kamu itu penakut banget jadi orang. Berisik tau.." Rutuk Nadin kesal pada Rani.
Dan Caca pun kembali membuka matanya. Ditatapnya Nadin dan Rani bergantian dengan tatapan sendu.
"Ma, aku kenapa?" Tanya Caca pura pura bingung.
Nadin dan Rani tidak langsung menjawab, mereka tampak sangat hati hati saat melihat kearah Caca yang sudah berdiri.
"Non Caca!" Seru Yuni berlari menghampiri Caca.
"Mari masuk non, pasti non capek pulang kerja." Celoteh Yuni khawatir.
"Aku kenapa bik. Kok aku baring di rumput?" tanya Caca pura pura tidak tahu apa yang terjadi.
"Non Caca pingsan. Sepertinya non kecapek an." Sahut Yuni menjelaskan sambil memapah Caca untuk ikut masuk ke rumah.
Sedangkan Nadin dan Rani diam saja melihat Yuni membawa Caca masuk. Mereka masih syok dengan apa yang barusan mereka saksikan.
"Ma, apa benaran sihir sudah keluar dari tubuhnya? Atau dia malah kerasukan setan.."
"Mana mama tahu. Kita lihat saja nanti saat abang kamu pulang. Kalau abang kamu mengabaikannya, berarti benar sihir itu sudah hilang." Sahut Nadin.
Kemudian mereka pun kembali masuk ke rumah. Sementara Caca sudah berada di kamarnya dan Yuni juga datang lagi mengantarkan makan malam untuknya seperti yang diperintahkan Alden.
"Non ini bibik bawakan makanan untuk makan malam"
Yuni meletakkan makanan itu diatas meja komputer Alden.
"Terimakasih bik. Tapi, sebenarnya aku sudah makan malam tadi sama temanku."
"Lah begitu. Ya makan saja lagi non. Biar makin kenyang."
Caca mengangguk sambil tersenyum menanggapi ocehan Yuni.
"Kalau begitu saya permisi dulu ya, non."
"Iya, bik. Terimakasih sudah dibawakan makanan. Jadi tidak enak, karena merepotkan bibik." Ujarnya.
"Loh tidak repot kok, non. Lagian den Alden yang berpesan untuk membawakan makanan untuk non Caca ke kamar setiap hari selama den Alden masih di Bandung." Tutur Caca memberitahukan.
"Alden yang menyuruh bibik membawakan makanan ke kamar?"
"Iya non. Den Alden tahu non Caca pasti tidak akan nyaman kalau makan di meja makan bersama nyonya dan Non Rani."
Caca tersenyum merespon ucapan Yuni.
"Ternyata dia tidak seutuhnya mengabaikan aku." Gumam Caca dalam hatinya.
"Non.. non.." Yuni memanggil manggil Caca yang terdiam dengan raut wajah terlihat lelah itu.
"Non, ada apa?"
Akhirnya Yuni menyentuh bahu Caca.
"Iya bik, ada apa?" Sahut Caca tersadar dari lamunannya.
"Non kenapa, kok diam saja?"
"Mmh, tidak apa kok bik. Sepertinya aku lelah."
"Ya sudah kalau gitu, non istirahat saja. Selamat malam non Caca."
"Selamat malam bik." Sahut Caca.
"Oh iya non bibik sampai lupa." ujarnya.
Yuni membuka salah satu pintu lemari di kamar itu. Dia mengambil satu set mukena lengkap dengan sajadah.
"Den Alden bilang non Caca butuh ini." Yuni mengulurkan mukena itu pada Caca.
"Untukku bik?"
"Iya non. Itu dibelikan yang baru sama den Alden. Tadi siang sebelum berangkat ke Bandung, den Alden sempatkan pulang mengantarkan mukena ini. Katanya Non Caca tidak nyaman kalau harus memakai punya non Lisa." Tutur Yuni.
Caca hanya tersenyum tipis menanggapi penuturan Yuni.
"Oh iya, ada piyama baru juga di kamar mandi untuk non Caca." Ujar Yuni sebelum akhirnya pergi meninggalkan Caca sendirian di kamar yang luas itu bahkan lebih luas dari apartemennya.