Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Quin menghela nafas kemudian duduk di samping Damar juga Sofia.
"Wah, sepertinya kamu ada sedikit kemajuan. Buktinya kamu sudah bias berpindah tempat dari kursi roda ke atas ranjang ini."
"Bukankah kamu sendiri yang mengatakan padaku, jika aku harus semangat untuk sembuh. Jadi aku mencoba berusaha sendiri," jelas Damar lalu membetulkan kacamata yang bertengger di hidungnya.
"Semangat banget sih, Kak?" ledek Sofia sekaligus membuat Damar juga Quin tertawa.
Kedekatan Quin, Sofia dan Damar semakin membuat Bik Yuni tak menyukai Quin. Ketiganya tak menyadari jika sejak tadi wanita paruh baya itu sedang memperhatikan mereka.
"Naira harus segera berada di rumah ini untuk menjadi terapis Den Damar. Jika tidak, Den Damar bisa-bisa jatuh cinta pada gadis itu," gumamnya dengan perasaan dongkol lalu meninggalkan tempat itu.
"Kak, Minggu depan HUT perusahaan papa. Jangan lupa hadir di acara itu," pesan Sofia.
Damar melirik Quin sembari mengusap brewoknya.
"Why? Tenang saja, sebagai asisten pribadi yang baik, aku akan menemanimu," kata Quin.
"Terima kasih Quin," ucap Damar.
"Ya sudah kalau begitu. Aku sekalian pamit," kata Sofia. "Kak Damar dan Kak Quin harus hadir, ya."
Quin mengangkat kedua jari jempol disertai senyum manis. Begitu Sofia berada di lantai satu, Bik Yuni langsung menghampiri.
"Nak Sofia!" panggilnya.
"Bibik, ada apa, Bik?"
"Apa gadis itu ...."
"Nona Quin," sela Sofia cepat sekaligus memotong kalimat bik Yuni. "Dia asisten pribadi Kak Damar. Jadi selama dia bekerja di sini perlakukan dia sebaik mungkin."
'Asisten pribadi?' batin Bik Yuni.
"Non Sofia, jika boleh bibik sarankan, bagaimana jika anak bibik saja si Naira yang menjadi terapisnya Den Damar. Soalnya dia seorang perawat," usul Bik Yuni.
"Itu bukan urusanku, Bik. Sebaiknya Bibik langsung usulkan kepada kak Damar atau mama," saran Sofia.
"Baiklah."
"Ya sudah, Bik. Aku pamit," kata Sofia lalu meninggalkan wanita paruh baya itu.
Sementara itu di dalam kamar, Quin dan Damar masih duduk betah duduk di ranjang yang sama.
"Ayo, biar aku membantumu. Besok jangan lupa meminta Adrian untuk membeli kruk untukmu," saran Quin sembari membantu Damar berpindah ke kursi roda.
"As you wish," sahut Damar.
Setelah memastikan Damar duduk dengan benar, Quin kembali menawarkan diri untuk mengantar pria brewok juga gondrong itu ke kamarnya.
Dengan patuh Damar menurut sekaligus merasa senang. Sesaat setelah berada di dalam kamar Damar, Quin menatapnya sejenak.
"Damar, aku tinggal dulu, ya. Pokoknya kamu harus semangat sekaligus percaya jika kamu bisa berjalan lagi," ucap Quin menyemangati Damar. Setelah itu, ia pun keluar dari tempat itu.
Sepeninggal Quin, Damar bergeming namun terharu. Entah mengapa ucapan Quin, membangkitkan semangatnya untuk segera sembuh.
"Aku merasa beruntung bertemu denganmu Quin," gumam Damar.
Beberapa jam kemudian ....
Setelah makan malam, Quin memilih ke rooftop untuk menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda sejak tadi siang. Sedangkan Damar memilih ke ruang kerjanya.
.
.
.
Di salah satu bar, Angga duduk sendirian. Sesekali ia menyesap rokok sambil meneguk minumannya.
Ia termenung memikirkan Quin. Tak lama berselang, seseorang menepuk pundaknya. Ia langsung memutar kepala. "Kinar!"
"Sepertinya lamunanmu cukup jauh. Pasti sedang memikirkan Quin," tebak Kinar dengan senyum sinis.
"Memang kenapa? Lalu, apa ada yang salah? Wajar kan karena dia tunanganku," sahut Angga Ketus.
"Ngapain mikirin dia yang belum tentu memikirkanmu. Lagian ada aku di sampingmu yang selalu siap melayanimu sepenuh hati!" sarkas Kinar.
Angga melirik Kinar lalu menenggak minumannya. Merasa tak habis pikir dengan Kinara.
"Kinar, jujur saja aku heran denganmu. Kamu dan Quin itu bersaudara. Tapi, kenapa kamu tega kepada saudaramu sendiri?"
"Kami hanya saudara tiri dan nggak ada hubungan darah sama sekali," jelas Kinar ketus.
Angga bergeming lalu menghembus asap rokoknya. Tak lama berselang, Dennis ikut bergabung.
Dennis tertawa memandangi Angga kemudian berbisik, "Quinnya mana?"
Tak ada tanggapan dari Angga. Pria itu memilih bungkam karena malas meladeni Dennis.
.
.
.
Setelah selesai menggambar sketsa beberapa model pakaian, Quin kemudian menutup buku gambarnya.
"Finally, selesai juga," gumamnya. Kini Quin beralih ke laptop.
Saking seriusnya, ia tak menyadari sejak tadi Damar sedang memperhatikannya. Diam-diam ia malah mengangumi gadis itu.
"Nak Damar, ini tehnya."
"Terima kasih, Bi," ucap Damar kemudian meminta Bik Yuni meletakkan nampan di atas kedua pahanya.
Setelah itu, Bik Yuni tetap berdiri di samping damar sambil memandangi Quin yang sedang fokus mengutak atik laptopnya.
"Bik, kembalilah ke bawah," pinta Damar.
Meski enggan, Bik Yuni tetap menurut sekaligus meninggalkan tempat itu. Sepeninggal Bik Yuni, Damar menggerakkan tuas kursi rodanya menghampiri Quin.
"Quin, ini, aku membawakanmu teh hangat."
Quin memutar kepala lalu tersenyum. "Maaf, kok aku malah merepotkan dirimu."
"Nggak apa-apa, lagian aku dibantu Bik Yuni," tutur Damar lalu menyodorkan segelas teh hangat untuk Quin.
Quin mengambil gelas itu lalu meletakkan ke atas meja.
"Damar, honestly aku sangat menyukai tempat ini. Suatu saat nanti, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," celetuk Quin.
Alis Damar saling bertaut sekaligus penasaran akan ucapan Quin barusan. Keduanya kini sama-sama bergeming dengan satu arah pandangan yang sama.
...----------------...