Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Bayangan Luka yang Belum Sembuh
Bab 25 – Bayangan Luka yang Belum Sembuh
Siang itu langit mulai menggelap ketika Calvin memarkir mobilnya di seberang kampus tempat Alya kuliah. Tidak ada rencana pasti hari itu—hanya dorongan aneh dalam hatinya yang membuatnya ingin memastikan Alya baik-baik saja. Mungkin karena tatapan sendu Alya pagi tadi masih menghantui pikirannya.
Ia menyandarkan kepala ke sandaran jok, menghela napas panjang. Dunia di sekitarnya berputar seperti biasa—ramai, padat, dan tidak peduli. Tapi tidak dengan isi kepalanya. Semuanya kacau.
Namun detik berikutnya, sesuatu membuat tubuhnya seketika menegang.
Seorang gadis muda berjalan menyeberang jalan. Wajahnya… begitu familiar. Terlalu familiar.
Langkah gadis itu ringan, tapi Calvin seperti dihantam oleh palu godam. Jantungnya berdetak liar, perutnya terasa mual. Wajah gadis itu—meski kini lebih dewasa—masih membawa jejak masa kecil yang tak bisa Calvin lupakan.
Gadis itu…
Gadis kecil itu.
Gadis yang menjadi saksi kelam masa lalu Calvin. Gadis yang—dulu—dilukai oleh tangan yang seharusnya melindungi. Gadis yang menjadi korban dari kelamnya masa kecil mereka, saat Ronald memaksa Calvin melakukan hal yang tidak pantas… hal yang hingga sekarang membusuk dalam pikirannya, menjadi racun yang tak pernah hilang.
Tubuh Calvin membeku.
Napasnya tercekat. Ia bahkan lupa bagaimana caranya bernapas dengan normal.
“Bukan… ini tidak mungkin…” bisiknya sendiri.
Namun semakin lama ia menatap, semakin nyata wajah itu. Sorot matanya, lengkung senyumnya, bahkan cara berjalan gadis itu—semuanya persis seperti dulu.
Gadis itu kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa, tapi trauma Calvin terlalu dalam untuk bisa memandangnya sebagai orang lain. Semua kilas balik masa lalu tiba-tiba menyerbu pikirannya, menghantam keras tanpa ampun.
"Tidak... jangan muncul lagi..."
Tangannya gemetar menggenggam kemudi. Peluh dingin mengalir di pelipis. Napasnya mulai tidak beraturan. Ia seperti kembali ke lorong sempit masa kecilnya—duduk ketakutan, menyaksikan Ronald memaksa, melecehkan, memukul, memaki, lalu menyeret gadis kecil itu ke dalam gelap yang mengerikan.
Dan setelah itu…
Ia yang dipaksa melakukan itu… ia yang dipaksa menyentuh luka orang lain… hanya karena untuk kesenangan kakaknya.
“Brengsek…” Calvin memukul setir mobilnya keras. “Sial!”
Mata Calvin mulai memanas. Ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Tidak, ini bukan hanya rasa bersalah. Ini luka yang belum pernah ia sembuhkan, luka yang selalu ia coba kubur, tapi kini menganga lagi… mengucurkan darah lebih deras dari sebelumnya.
Gadis itu menoleh sebentar ke arah mobilnya. Mungkin hanya sekilas. Tapi sorot matanya membuat Calvin merasa seperti ditelanjangi. Seperti semua dosa masa lalu terpantul di matanya.
Calvin buru-buru menunduk, menghindari kontak mata. Ia tidak bisa membayangkan jika gadis itu benar-benar mengenalinya. Apalagi jika gadis itu tahu… bahwa ia bagian dari luka hidupnya.
“Aku bukan pelakunya… aku tidak pernah menginginkannya…” pikirnya putus asa. Tapi siapa yang akan peduli pada kalimat pembelaan itu? Siapa yang akan mengerti bahwa ia pun korban dari kekejaman kakaknya?
Tangannya mengepal. Napasnya mulai memburu. Ia tidak bisa lagi duduk diam.
Dengan gemetar, Calvin menyalakan mesin mobil. Ia tidak tahu harus pergi ke mana—tapi satu hal yang pasti, ia harus menjauh dari tempat itu. Jauh dari tatapan gadis itu. Jauh dari semua rasa bersalah yang tiba-tiba mencengkram jantungnya begitu keras.
Mobil melaju cepat meninggalkan kampus. Tapi luka itu… tetap tinggal bersamanya.
Di dalam mobil, Calvin tak berhenti gemetar. Air matanya jatuh diam-diam, tanpa suara. Ia bahkan tidak sadar. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia menangis. Bukan karena lemah, tapi karena luka yang begitu dalam akhirnya menemukan jalan untuk meledak.
"Kenapa kamu muncul sekarang..." bisiknya lirih.
"Apa kamu ingat aku? Apa kamu masih ingat semua yang terjadi?"
Pertanyaan itu menggantung di benaknya, mencabik pelan-pelan.
Calvin memarkir mobil di pinggir jalan, keluar dan duduk di trotoar dengan kepala tertunduk. Ia memeluk dirinya sendiri. Semua topeng yang selama ini ia pakai, seolah runtuh satu per satu.
Dan entah bagaimana, satu wajah muncul dalam pikirannya—Alya.
Gadis yang terus berusaha masuk ke dalam dinding dingin yang ia bangun. Gadis yang tak tahu sedikit pun tentang masa lalunya. Gadis yang mungkin akan menjauhinya juga jika tahu semua kebenaran.
"Apa aku pantas dicintai oleh siapa pun setelah ini?"
Pertanyaan itu menghantam dirinya seperti badai. Ia merasa hina. Kotor. Penuh luka. Dan kini, luka itu kembali bernanah, siap menghancurkan sisa-sisa dirinya yang masih bertahan.
Tapi satu hal yang Calvin tidak tahu… pertemuannya dengan gadis itu hari ini bukanlah akhir dari trauma masa lalu.
Melainkan awal dari pertemuan yang tak terhindarkan…
Gadis itu akan masuk dalam hidup mereka. Dan membawa cerita yang lebih gelap dari yang pernah Calvin bayangkan.