Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 28
Lampu redup berpendar keemasan, memantulkan bayangan panjang di rak-rak penuh dokumen usang. Aroma kertas tua bercampur debu memenuhi ruangan sempit itu, memberi kesan seolah-olah waktu berhenti di dalamnya. Amina membalik halaman demi halaman dengan jari-jarinya yang cekatan, matanya menari di atas tulisan tangan yang hampir pudar.
Kemudian, dia menemukannya.
Nama itu.
Sebuah sensasi dingin menjalar di punggungnya. Bukan nama korban, bukan nama pelaku, tetapi seseorang yang selalu tampak di balik bayang-bayang Alexander. Seorang pria yang selama ini hanya dikenalnya sebagai penghubung biasa, namun ternyata memiliki keterkaitan dengan pembunuhan misterius bertahun-tahun lalu.
"Astaga..." gumam Amina pelan, hampir tak terdengar.
Di belakangnya, Theodore melirik jam tangannya dan berdeham pelan. "Amina, kita gak bisa lama-lama di sini. Aku tahu kamu lagi menemukan sesuatu, tapi kita harus keluar sebelum ada yang sadar."
Amina mengangguk. Dia meraih beberapa lembar dokumen yang paling penting dan menyelipkannya ke dalam jaketnya. Tidak banyak, hanya cukup untuk dijadikan bukti tanpa meninggalkan jejak mencolok. Tangannya sedikit gemetar saat menutup kembali berkas itu dan meletakkannya ke tempat semula.
"Udah beres?" Theodore mendekat, suaranya lebih rendah dari biasanya.
Amina menatapnya dan mengangguk. "Ya. Ayo keluar dari sini."
Mereka bergerak cepat namun hati-hati, menelusuri lorong-lorong yang sepi. Udara malam merayap masuk melalui ventilasi sempit, membawa serta kesan dingin yang tak hanya berasal dari suhu ruangan.
Langkah kaki terdengar menggema di kejauhan. Amina berhenti seketika. Begitu juga Theodore. Mereka saling bertukar pandang, tubuh otomatis menegang.
Suara itu semakin dekat.
Lalu dari balik tikungan, dua sosok muncul. Michael dan Lorenzo.
Amina menarik napas, mempersiapkan diri. Wajah Lorenzo, seperti biasa, penuh rasa ingin tahu. Sementara Michael, dengan tatapan tajamnya, hanya berdiri diam seperti sedang menilai setiap gerakan mereka.
"Keluyuran malam-malam?" suara Lorenzo terdengar santai, tapi ada nada curiga di baliknya.
Theodore tertawa ringan, memasukkan tangannya ke saku. "Kita cuma cari udara segar. Terlalu banyak orang di dalam."
Lorenzo menyipitkan matanya. "Oh ya? Di lorong yang kebetulan dekat dengan ruangan penyimpanan rahasia?"
Amina tersenyum kecil, meskipun dia bisa merasakan denyut nadinya berdegup lebih cepat. "Kami tersesat. Kamu tahu sendiri, tempat ini seperti labirin."
Lorenzo menyeringai, tapi matanya tetap tajam. "Tersesat, ya?"
Michael, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Kalian berdua kelihatan terlalu tegang untuk orang yang hanya tersesat."
Amina menelan ludah. Dia tahu dia harus bertindak cepat sebelum situasi semakin memburuk. Dia memutar bola matanya, lalu menatap Lorenzo dengan ekspresi kesal. "Kalian selalu curiga sama kami, ya? Aku cuma mau cari tempat tenang sebentar. Lagian, siapa juga yang mau nyuri sesuatu di tempat sekotor ini?"
Lorenzo menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mendengus. "Baiklah. Tapi kalau aku lihat kalian di sekitar sini lagi tanpa alasan yang jelas..." Dia menatap Amina lebih lama, seolah-olah mencoba menembus pikirannya. "Aku gak akan tinggal diam."
Michael menambahkan, suaranya lebih pelan, tapi lebih mengancam. "Jaga langkahmu."
Amina tersenyum tipis, meskipun dia bisa merasakan keringat dingin di tengkuknya. "Tentu."
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Lorenzo dan Michael akhirnya pergi.
Amina baru bisa bernapas lega.
"Nyaris," bisik Theodore sambil mengusap tengkuknya.
Amina menatapnya, matanya masih dipenuhi ketegangan. "Kita gak bisa santai dulu. Lorenzo jelas gak percaya. Kita harus keluar dari sini sekarang juga."
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.