Jangan lupa like dan komennya setelah membaca. Terima kasih.
Menjadi tulang punggung keluarganya, tidak membuat Zayna merasa terbebani. Dia membantu sang Ayah bekerja untuk membiayai sekolah kedua adik tirinya hingga tamat kuliah.
Disaat dia akan menikah dengan sang kekasih, adiknya justru menggoda laki-laki itu dan membuat pernikahan Zayna berganti menjadi pernikahan Zanita.
Dihina dan digunjing sebagai gadis pembawa sial tidak menyurutkan langkahnya.
Akankah ada seseorang yang akan meminangnya atau dia akan hidup sendiri selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Belum merestui
Semua orang menatap Zayna menunggu gadis itu berbicara, hingga beberapa menit dia masih terdiam. Hal itu tentu saja membuat Ayman merasa khawatir, takut jika lamarannya ditolak. Pria itu berdoa dalam hati agar Tuhan melembutkan hati Zayna.
"Bismillah, saya menerima lamaran ini," jawab gadis itu dengan pelan.
"Alhamdulillah," sahut Ayman dan Doni bersamaan.
Rahmat menatap putrinya. Dia mengira Zayna akan menyerahkan jawaban itu padanya, seperti yang sudah gadis itu katakan sebelumnya. Sekarang putrinya seperti sangat yakin dengan jawaban yang dikatakannya.
"Tapi, saya juga memiliki syarat," sela Rahmat.
Kini semua beralih menatap Rahmat, berharap pria itu tidak memberi syarat yang sulit. Baru saja Ayman merasa lega karena lamarannya diterima, tetapi kini kembali khawatir dengan apa yang akan calon mertuanya katakan.
"Saya ingin kamu menikahi putri saya dua hari lagi dan itu harus sah secara agama dan negara," lanjut pria itu.
"Itu tidak mungkin, Pa. Untuk mengurus semua surat-surat juga diperlukan waktu beberapa hari," sela Savina.
"Siapa bilang? Saat Fahri menikah dengan Zanita, itu hanya butuh waktu satu jam saja."
Savina gelagapan, dia tidak tahu harus berkata apa. Seharusnya tadi diam saja, kalau seperti ini semua kebohongannya bisa terbongkar.
"Itu, kan, karena Fahri sudah mengeluarkan banyak uang makanya dipermudah," kilah Savina.
"Itu juga yang sedang ingin aku terapkan pada Ayman. Dua hari saya rasa cukup. Bagaimana, Tuan Doni, Ayman?"
Doni menatap keponakannya, antara yakin dan tidak. Di sini dia tidak memiliki kenalan, berbeda jika di tempat kelahirannya. Bagaimana mereka bisa mengurus semua dengan cepat? Namun, pria itu percaya pada Ayman.
"Akan saya usahakan, Pak Rahmat," jawab Ayman dengan yakin. "Saya hanya perlu berkas milik Zayna."
"Bagus, saya harap kamu tidak akan mengecewakan saya dan putri saya. Mengenai resepsi, terserah kalian mau seperti apa."
"Tidak perlu, Pa. Cukup Ijab Qabul saja," sela Zayna yang tidak ingin merepotkan calon suaminya. Meski sebenarnya pria itu tidak masalah jika Zayna meminta sesuatu.
Ayman mengangguk dan bertanya, "Kamu ingin mas kawin apa?"
"Terserah, Mas, saja. Saya akan menerima apa pun yang Mas berikan."
"Jangan terlalu pasrah, nanti menyesal karena tidak punya apa-apa," sela Savina.
"Insya Allah tidak, Ma."
Rahmat meminta Zayna mengambil berkas milik gadis itu. Sementara Savina masih memikirkan bagaimana cara pria itu agar pernikahan ini terlaksana. Mengingat pekerjaannya hanya tukang ojek, dari mana Ayman akan mendapat uang. Kemarin saat wanita itu mengganti nama pengantin wanita yang kurang empat hari saja, cukup menguras dompet, apalagi sekarang yang hanya dua hari.
Savina jadi tidak yakin jika pernikahan ini akan terlaksana. Apa dia harus membantu Ayman? Itu bukan pilihan yang tepat. Lebih baik uangnya buat belanja. Terserah mereka yang mau menikah.
Zayna datang dengan membawa berkas miliknya dan diberikan kepada Rahmat. Pria itu pun menyerahkannya pada pada calon menantunya.
"Periksalah, apa masih ada yang kurang?" ujar Rahmat.
"Hanya tinggal foto yang belum ada," sahut Ayman setelah memeriksa berkas yang ada di tangannya.
"Saya tidak punya foto. Yang foto rencana pernikahan kemarin, aku berikan ke Fahri semua," ujar Zayna.
"Aku bisa minta carikan suamiku mungkin masih ada," sahut Zanita.
"Tidak perlu, saya minta foto yang baru. Boleh saya memotretmu pakai ponsel?" tanya Ayman pada Zayna.
"Bo—boleh."
Zayna pun mengangkat wajahnya saat Ayman mengarahkan ponselnya ke arah gadis itu. Dia mencoba untuk tersenyum meski agak kaku.
"Sudah, terima kasih," ucap Ayman. "Oh, ya, Pak Rahmat. Kemungkinan orang tua saya tidak bisa datang jika pernikahannya dua hari lagi."
"Iya, kami mengerti biaya perjalanan dari kampung ke kota mahal jadi, kami juga tidak memaksa. Untuk biaya mengurus surat tidak meminta pada kami saja sudah untung," sahut Savina.
"Ma!" tegur Rahmat.
"Tidak apa-apa, Pak Rahmat. Orang tua Ayman memang berada di luar kota," sahut Doni.
Suasana tiba-tiba hening. Mereka tidak tahu harus berbicara apa lagi. Rahmat merasa tidak enak dengan apa yang dikatakan istrinya, begitu juga dengan Zayna. Berbeda dengan Ayman yang merasa biasa saja.
"Kami harus undur diri, Pak Rahmat. Saya masih harus menyiapkan berkas milik saya agar bisa di bawa ke kantor KUA besok," pamit Ayman.
"Oh, iya, silakan. Kabari jika semua sudah beres atau tidak di hari H. Jadi saya tidak perlu menunggu lagi."
"Tentu, Pak."
Ayman dan pamannya pergi meninggalkan rumah itu. Mereka akan mengurus semuanya besok. Pria itu berdoa agar semua berjalan lancar. Dia tidak sabar memperistri gadis pujaan hatinya. Tidak berapa lama, keduanya sampai juga di sebuah apartemen.
"Tuan, biar saya saja yang mengurus semua berkas pernikahan Anda," ucap Doni.
"Terima kasih, Paman." Ayman menyerahkan berkas Zayna pada Doni. "Paman bisa meminta berkas milikku pada Ilham."
"Baik, Tuan. Saya permisi."
Ayman berjalan ke arah balkon. Senyum tidak pernah luntur dari bibirnya sejak keluar dari rumah keluarga calon istrinya. Dia mengambil ponsel dalam sakunya dan membuka galeri, di mana tadi pria itu mengambil gambar Zayna. Sungguh Ayman tidak menyangka bisa memiliki gadis itu.
Pria itu mencari nomor ponsel mamanya. Dia berniat memberitahu kabar bahagia ini. Meskipun kedua orang tua itu belum sepenuhnya setuju dengan pilihan putranya, tetapi mereka tidak ingin gegabah. Keduanya ingin tahu, sebaik apa pilihan Ayman.
"Assalamualaikum, Ma."
"Waalaikumsalam, kamu ke mana saja? Kenapa tidak menghubungi kami? Kamu tidak merindukan orang tuamu ini?" Pertanyaan beruntun keluar dari bibir Aisyah—ibunya Ayman. Mereka sedang terhubung dengan sambungan telepon.
"Aku tidak ke mana-mana, hanya sedang sibuk saja, Ma. Aku ingin mengabarkan jika dua hari lagi aku akan menikah. Aku harap, Mama, memberi restu pada kami."
"Menikah? Kamu mau menikah dengan siapa? Kenapa mendadak sekali? Kamu tidak menghamili seorang gadis, kan?"
"Astagfirullah, Ma, tentu tidak! Aku akan menikah dengan Zayna. Syarat untuk menikahinya yaitu harus dua hari lagi."
"Bukannya kamu bilang dia sudah menikah?"
"Tidak, Ma. Pernikahan itu batal. Kapan-kapan saja aku ceritain."
Sejujurnya Aisyah kurang menyukai Zayna. Dia sudah memiliki calon istri untuk Ayman, tetapi putranya itu menolak dengan tegas. Bagi pria itu, hanya Zayna yang mampu menggetarkan hatinya sejak tiga tahun yang lalu. Bahkan hingga detik ini, jantungnya selalu tidak baik-baik saja saat berada di dekat gadis itu.
"Kamu tahu, kan, kalau mama dan papa tidak akan datang ke pernikahanmu jika pengantin wanitanya dia?"
"Iya, Ma. Akan aku buktikan jika pilihanku tidak salah."
"Mama harap seperti itu."
Meski tidak setuju dengan pernikahan ini, Aisyah tetap memberi wejangan pada putranya mengenai rumah tangganya kelak. Apa saja yang tanggung jawab seorang kepala rumah tangga. Ayman mendengarkan dengan saksama. Pria itu bersyukur mamanya masih begitu perhatian padanya.
.
.
.