Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Kemarahan dari Balik Kafan
Rasa sakit itu begitu mencekam hingga pandangan Aris Mardian mulai kabur dan ia melihat sosok ibunya sedang berdiri tegak sambil membawa sebuah gunting besar. Tubuh kaku yang tadinya terbujur mati itu kini bergerak dengan sendi-sendi yang berderak keras layaknya kayu jati yang patah dipaksa. Kain kafan yang membungkusnya robek di bagian tangan, memperlihatkan jemari pucat yang menggenggam logam tajam berkarat tersebut dengan sangat erat.
"Mundur Aris, jangan biarkan ia memotong bayanganmu sendiri!" teriak Pak RT sambil melemparkan segenggam garam jantan ke arah mayat itu.
Aris mencoba menggerakkan kakinya yang terasa seperti tertanam di dalam lantai kayu yang mulai menghangat secara tidak wajar. Matanya terbelalak melihat gunting di tangan ibunya mulai membuka dan menutup sendiri tanpa ada tenaga manusia yang menggerakkannya secara masuk akal. Bau amis darah bercampur aroma bunga melati yang busuk memenuhi seluruh penjuru ruangan hingga membuat Aris terbatuk hebat.
"Apa yang terjadi dengan dia, kenapa dia bisa bangkit dengan cara yang sangat mengerikan seperti ini?" tanya Aris dengan suara yang gemetar.
Lelaki tua di sampingnya tidak menjawab dan justru sibuk mengikatkan benang merah pada setiap tiang kayu yang ada di ruangan tersebut. Keringat dingin mengucur deras dari dahi Pak RT, membasahi kerutan wajahnya yang tampak semakin dalam di bawah temaram lampu minyak.
"Dia bukan lagi ibumu, dia hanyalah wadah yang digerakkan oleh amarah jahitan yang belum tuntas!" balas Pak RT dengan napas yang mulai tersengal.
Aris melihat mayat ibunya mulai melangkah maju dengan gerakan yang kaku namun penuh dengan niat membunuh yang sangat terasa nyata. Setiap kali kaki mayat itu menyentuh lantai, muncul jejak hitam berair yang mengeluarkan asap tipis dan bau daging yang terbakar matahari. Gunting besar itu mulai diangkat tinggi, memantulkan kilatan cahaya merah yang entah dari mana asalnya di tengah kegelapan rumah tersebut.
"Pergilah lewat jendela dapur, aku akan mencoba menahan amarah ini dengan sisa tenaga yang kumiliki!" perintah Pak RT sambil mendorong bahu Aris.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian menghadapi makhluk ini, Pak!" seru Aris sambil mencari benda apa pun yang bisa dijadikan senjata.
Mata Aris tertuju pada sebuah penggaris besi miliknya yang tertinggal di atas meja, sisa dari peralatannya sebagai seorang arsitek bangunan tua. Ia menyambar benda itu tepat saat mayat ibunya mengayunkan gunting besar ke arah lehernya dengan kecepatan yang hampir tidak terkejar oleh mata manusia biasa. Suara dentingan logam yang beradu memenuhi ruangan, menciptakan percikan api yang membakar ujung kain kafan yang menjuntai di lantai kayu.
Aris merasakan tangannya mati rasa saat menahan kekuatan luar biasa dari raga yang seharusnya sudah tidak memiliki nyawa tersebut. Ia melihat wajah ibunya dari jarak yang sangat dekat, dengan jahitan benang hitam di bibir yang mulai merenggang hingga mengeluarkan cairan bening yang kental. Mata tanpa bola itu seolah menembus langsung ke dalam jantung Aris, membisikkan kegelapan yang membuat keberaniannya runtuh seketika dalam hitungan detik.
"Jangan menatap matanya atau jiwamu akan terjahit selamanya di dalam kegelapan desa ini!" jerit Pak RT sambil memukul punggung mayat itu dengan tongkat kayu.
Mayat itu mengeluarkan suara lengkingan yang memekakkan telinga, sebuah suara yang tidak mungkin keluar dari tenggorokan manusia yang masih bernapas normal. Aris terlempar ke arah lemari kayu tua, membuat tumpukan piring keramik pecah berkeping-keping dan melukai telapak tangannya sendiri hingga berdarah. Darah segar yang menetes ke lantai tampak langsung diserap oleh kayu bangunan seolah-olah rumah itu sendiri adalah makhluk hidup yang sedang kehausan.
"Rumah ini mulai membantu mayat itu, kamu harus keluar sekarang juga Aris!" teriak Pak RT dengan nada yang sudah hampir putus asa.
Aris berusaha bangkit meski kepalanya terasa berputar dan pandangannya mulai digelapi oleh bintik-bintik merah yang menari-nari liar. Ia melihat pintu dapur mulai tertutup oleh jalinan benang hitam yang tumbuh dari sela-sela dinding kayu layaknya sarang laba-laba yang sangat tebal. Putus asa, ia melemparkan penggaris besinya ke arah lampu minyak hingga jatuh dan membakar sebagian kain gorden yang sudah lapuk dimakan usia.
Api mulai merayap naik, menerangi sosok ibunya yang kini berdiri tepat di depan pintu dapur dengan gunting yang siap memotong apa pun. Aris melihat Pak RT sudah jatuh tidak berdaya dengan leher yang terlilit benang merah miliknya sendiri hingga wajahnya membiru gelap. Di tengah kepungan asap dan api, Aris merasakan ada sebuah tangan dingin yang membekap mulutnya dari arah belakang dengan sangat kuat dan erat.
Aris merasakan ada sebuah tangan dingin yang membekap mulutnya dari arah belakang dengan sangat kuat dan erat.