Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.
Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.
Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua
Kirana tidak tahu berapa lama ia menangis hingga kepalanya terasa berat dan matanya bengkak. Yang ia tahu, dadanya masih terasa sesak dan setiap sudut kamarnya mengingatkan pada sesuatu yang tak ingin ia ingat.
Gaun pernikahan. Kotak cincin. Buket bunga. Semua masih ada tersusun di kamarnya.
Segala persiapan yang ia susun dengan hati-hati semua terasa mengolok-oloknya sekarang. Merasa semua sedang menertawai dirinya.
Kirana berdiri, mengambil jaket tipis, dan menyambar ponsel tanpa benar-benar tahu mau ke mana. Yang penting keluar dari rumah. Dari udara yang rasanya menekan dadanya.
Ia membuka pintu pelan, memastikan orang tuanya tak melihat, lalu berjalan cepat menuruni tangga. Rumah itu hening, hanya terdengar suara detik jam dinding.
Kirana membuka pintu depan. Angin malam menerpa wajahnya. Dingin, tapi entah mengapa terasa lebih bisa ia hirup dibanding udara di dalam.
Ia melangkah keluar. Tanpa tujuan. Rumah yang dia tempati saat ini baginya bukanlah rumah yang dalam arti sesungguhnya. Rumah itu bagai neraka.
Malam ini kota terasa sepi, hanya suara motor yang sesekali melintas. Kirana berjalan menyusuri trotoar, menatap kosong. Lampu jalan memantulkan bayangan panjang tubuhnya, seakan ikut berjalan bersamanya.
Pikirannya kacau. 'Irfan mencintai Tissa.Dari awal.' Kata-kata itu menari di dalam pikirannya. Rasanya tak percaya dengan semua ini. Tak pernah dia lihat kekasihnya itu jalan dengan adik tirinya. Entah dia yang terlalu bodoh, atau mereka yang terlalu pintar menipunya.
Ia menghentikan langkah. Dadanya kembali perih.
“Bodoh,” gumam Kirana pada dirinya sendiri. “Aku bodoh banget.”
Tepat saat ia hendak menyeberang jalan, ponselnya berdering. Nama Mama muncul di layar, tapi Kirana menolak panggilan itu. Ia tidak sanggup mendengar kalimat “Kamu harus kuat, Nak." Kata-kata penghibur yang entah dari hati wanita itu ucapkan, atau semua itu kata-kata yang hanya untuk menekankan pada dirinya agar tak mengganggu adiknya lagi.
Ia menghela napas dan mulai menyeberang.
BRUMMM! Sebuah motor ngebut dari tikungan. Kirana terkejut. Pengendara itu juga terkejut.
Dan yang terjadi berikutnya berlangsung sangat cepat.
BRAKK!
Tubuh Kirana terdorong keras ke samping. Ia jatuh berguling ke aspal. Suara metalik motor bergesekan dengan jalanan terdengar kasar.
“ASTAGA!” suara pemuda itu panik. “Mbak! Mbak!”
Kirana meringis menahan sakit. Tangannya tergores, lututnya lebam, tapi ia masih sadar. Pemuda itu, usia sekitar 20-an awal, berjaket hitam, rambut agak panjang acak-acakan, melepas helmnya dan berlutut panik.
“Mbak nggak apa-apa?! Aduh … aduh … ini salah saya banget!”
Kirana menghela napas panjang, menatapnya dingin. “Kamu tau nggak kalau kamu hampir bikin aku mati?”
Pemuda itu menunduk lagi, tegang. “Saya … saya nggak sengaja. Sumpah. Saya buru-buru.”
“Mana SIM kamu?” Kirana meminta cepat, tanpa basa-basi.
Pemuda itu terdiam dua detik. Lalu wajahnya terlihat pucat.
“S … SIM?” Dia menelan ludah sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya. “Ngg … nggak punya, Mbak.”
Kirana memejamkan mata, berusaha menahan emosi yang sudah campur aduk sejak tadi. “Bagus. Nggak punya SIM. Ngebut. Hampir bunuh orang.”
“Jangan lapor polisi, Mbak,” pintanya buru-buru. “Tolong. Sungguh. Apa pun yang Mbak mau, saya lakuin. Tapi jangan lapor polisi malam ini.”
Kirana mengangkat alis. “Kenapa?”
“Saya … harus ikut balapan.” Ia menggaruk tengkuknya. “Itu… balapan final. Kalau saya nggak datang, saya habis.”
“Balapan liar?”
Pemuda itu mengangguk lemah. “Iya. Tolong jangan lapor. Saya takut motor saya disita.”
Kirana terdiam lama, menatap pemuda itu. Lalu tiba-tiba sebuah ide gila muncul. Malam ini Kirana tidak punya apa pun untuk ditakutkan hilang.
Tidak cinta. Tidak mimpi pernikahan. Tidak harga diri yang sudah remuk.
“Baik,” katanya akhirnya. “Aku nggak akan laporin kamu.”
Wajah pemuda itu langsung lega.
“Tapi ada syaratnya.”
Pemuda itu menegang lagi. “Syarat?”
Kirana menatapnya lurus, tajam, tanpa ragu.
“Mulai malam ini, kamu harus mau jadi pengantin penggantinya Irfan, calon suami saya.”
Pemuda itu mengerutkan kening. “Pengantin pengganti ... maksudnya?”
“Kamu harus bersedia menikah denganku sebagai pengantin pengganti.”
Kirana melipat tangan. “Nikah kontrak enam bulan. Setelah itu bebas cerai. Nggak ada kontak fisik. Kamu cuma perlu datang di hari pernikahan yang sudah aku siapkan.”
Pemuda itu membuka mulut, kemudian menutup, lalu membuka lagi. “Mbak … mbak serius?”
“Serius.”
“Kenapa saya? Apa karena saya ganteng sehingga Mbak kebelet kawin?"
“Jangan asal bicara! Kalau saja calon suamiku tak selingkuh dan membatalkan pernikahan kami, aku tak akan mau sama kamu. Aku memintamu, hanya cuma kamu yang aku temuin sambil ngebut nggak pakai SIM.”
Pemuda itu terdiam, lalu memijat pelipisnya. “Nama saya Samudera, Mbak. Kalau saya tiba-tiba nikah, apa kata teman-teman saya."
Kirana menatapnya. “Kalau kamu nolak, aku lapor polisi sekarang.”
Samudera langsung menggeleng keras. “Jangan! Oke! Oke! Saya setuju! Asal jangan polisi!”
“Bagus.”
Kirana berdiri pelan, menahan nyeri.
“Kita tanda tangan surat perjanjian sekarang.”
“Sekarang?!” Samudera tercengang.
“Sekarang. Sebelum kamu kabur.”
“Aku nggak kabur .…” Samudera menggerutu.
“Tapi bisa saja,” jawab Kirana tenang.
Dengan sangat terpaksa, Samudera akhirnya mengikuti Kirana ke sebuah warung kopi 24 jam di dekat situ. Kirana meminjam kertas, menulis perjanjian, lengkap dengan poin:
Nikah kontrak 6 bulan. Tak ada kontak fisik. Samudera cuma jadi pengganti. Setelah 6 bulan bebas cerai tanpa tuntutan apa pun
Samudera membaca surat itu berkali-kali sambil memegangi kepala. “Saya gila banget mau tanda tangan beginian .…”
“Kamu yang tabrak aku.”
“Ya tapi ....”
“Tanda tangan atau polisi?”
Samudera menutup mata. “Astaga .…”
Ia mengambil pulpen, lalu menandatangani. Kirana tersenyum tipis.
Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa menang atas sesuatu, meski ia tahu kemenangan ini aneh, konyol, bahkan mungkin salah.
“Mulai malam ini kamu calon suamiku,” ucap Kirana ringan.
Samudera memandangnya tak percaya. “Mbak … saya cuma mau balapan. Gimana ceritanya jadi calon suami orang…”
“Itu takdir,” jawab Kirana datar.
Samudera menghela napas panjang sekali. “Nama panjang saya Samudera Genta. Dipanggil Sam. Umur dua puluh satu tahun. Hobi balapan. Dan saya baru saja tanda tangan kontrak buat nikah sama orang asing .…”
Kirana menyeringai kecil. “Aku Kirana. Dan mulai sekarang, kamu ikut rencana aku.”
“Rencana apa?” tanya Samudera dengan pasrah.
“Kita menikah seminggu lagi. Semua rencana akan aku percepat dan majukan. Aku yang urus semua. Kamu tinggal mengikuti apa yang aku katakan!"
Samudera menatap perempuan di depannya, dengan mata bengkak, wajah pucat, tapi tatapan sekuat baja.
"Sini ponselmu, simpan nomorku. Dan mana KTP mu, biar aku simpan sebagai jaminan!"
Samudera yang tak mau lebih lama lagi berada di sana, mengikuti semua apa yang Kirana katakan. Dia memberikan KTP. Lalu nomor ponselnya. Setelah itu berdiri.
"Aku mau balapan, kamu atur saja semuanya!" ucap Samudera.
"Aku ikut ...."
Samudera tampak terkejut dengan ucapan Kirana. Tak percaya jika gadis itu akan mempersulitnya begini.
"Apa ...?" tanya Samudera dengan suara yang penuh penekanan.
jatuh cinta .wa ea aa