Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Ultimatum Sang Kakek
"Mana otak kamu?! Di dengkul?!"
Suara Kiana menggelegar, memantul di antara dinding-dinding seng gudang logistik yang panas. Karyawan yang dimarahinya, seorang mandor bertubuh tambun bernama Pak Ujang, hanya bisa menunduk dalam-dalam.
Keringat sebesar biji jagung mengalir deras di pelipisnya, bukan karena panasnya udara Jakarta siang itu, tapi karena tatapan Kiana yang lebih tajam dari silet.
"Sudah berapa kali saya bilang, Pak? Barang dengan kode merah itu pecah belah! Kenapa malah ditumpuk di bawah peti mesin jahit? Bapak mau bikin saya rugi ratusan juta hari ini juga?"
Kiana tidak sekadar berteriak. Dia menendang peti kayu di hadapannya dengan ujung stiletto hitamnya. Bunyi brakk yang nyaring membuat puluhan kuli angkut di gudang Elva Express itu menghentikan aktivitas mereka. Hening seketika. Tidak ada yang berani bernapas.
"Maaf, Bu Kiana... a-anu, tadi anak baru yang salah taruh. Saya nggak sempat cek lagi," Pak Ujang mencoba membela diri dengan suara gemetar.
"Nggak sempat cek?" Kiana tertawa sinis, suaranya dingin menusuk tulang. Dia melangkah maju, memangkas jarak hingga mandor itu mundur ketakutan. "Tugas Bapak di sini itu mengawasi! Kalau Bapak nggak sempat cek, lalu apa gunanya saya bayar gaji Bapak setiap bulan? Buat ongkang-ongkang kaki sambil ngopi di pos satpam?"
Kiana menyambar papan jalan yang dipegang Pak Ujang. Matanya memindai daftar inventaris dengan kecepatan kilat. "Minggir."
Tanpa menunggu jawaban, Kiana menggulung lengan kemeja sutra putihnya sampai siku. Dia tidak peduli kalau debu gudang akan mengotori pakaian mahalnya. Dengan cekatan, dia menunjuk tiga orang kuli di dekatnya.
"Kamu, kamu, dan kamu! Pindahkan tumpukan A-4 ke lorong sebelah. Sekarang! Dan hati-hati, kalau ada satu goresan saja di keramik impor itu, saya potong gaji kalian tiga bulan!"
"Siap, Bu!" seru mereka serempak, langsung berlari pontang-panting mengerjakan perintah.
Kiana menghela napas kasar, memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. Menjadi CEO wanita di industri logistik yang didominasi laki-laki itu tidak mudah. Dia harus dua kali lebih galak, tiga kali lebih teliti, dan sepuluh kali lebih gila kerja daripada orang lain. Jika dia lengah sedikit saja, bisnis yang dibangun dengan darah dan air mata ini akan dianggap remeh.
Ponsel di saku celana bahannya bergetar panjang. Kiana melirik layar. Nama 'Dokter Gunawan' tertera di sana. Jantung Kiana mencelos.
Dia segera menggeser tombol hijau, mengabaikan Pak Ujang yang masih berdiri mematung seperti orang bodoh.
"Halo, Dok? Kenapa? Kakek kenapa lagi? Jangan bilang dia pura-pura sakit jantung lagi cuma karena mau minta durian?" cecar Kiana langsung tanpa basa-basi.
Suara di seberang sana terdengar panik dan berat. "Bu Kiana, ini bukan main-main. Pak Adijaya kolaps lima belas menit yang lalu. Kami sedang membawanya ke ICU RS Medika Sentra. Detak jantungnya tidak stabil."
Dunia di sekitar Kiana seolah berhenti berputar. Suara bising forklift dan teriakan para kuli mendadak menjadi dengungan jauh. Wajah Kiana yang tadi merah karena marah, kini pucat pasi.
"Saya ke sana. Sekarang," desis Kiana. Dia mematikan sambungan telepon dan langsung berbalik.
"Pak Ujang!" teriaknya sambil berlari kecil menuju pintu keluar. "Bereskan kekacauan ini atau Bapak jangan harap bisa masuk kerja besok! Saya mau laporan beres di email saya jam lima sore!"
Tanpa menunggu jawaban, Kiana menyambar kunci mobilnya dari atas meja admin. Dia memacu langkahnya keluar dari gudang yang pengap, masuk ke dalam SUV putihnya yang terparkir miring, dan menginjak gas dalam-dalam. Ban mobil berdecit nyaring saat Kiana membelah jalanan pelabuhan yang berdebu.
Pikirannya kalut. Adijaya adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki. Orang tua Kiana sudah meninggal sejak dia kecil, dan Kakek Adijaya-lah yang membesarkannya dengan tangan besi. Meski tua bangka itu sering membuatnya kesal dengan aturan-aturan kuno, Kiana tidak siap kehilangan dia. Belum sekarang.
Lampu indikator ICU menyala merah menyilaukan. Bau obat-obatan yang tajam langsung menusuk hidung begitu Kiana menerobos masuk ke area tunggu VIP. Dia melihat Dokter Gunawan baru saja keluar dari ruang rawat, melepas maskernya dengan wajah lelah.
"Dok!" Kiana setengah berlari, napasnya memburu. "Gimana Kakek? Dia baik-baik saja, kan? Dia cuma butuh istirahat, kan?"
Dokter Gunawan menatap Kiana dengan pandangan iba yang membuat perut Kiana mulas. "Kondisinya sudah stabil untuk saat ini, Bu Kiana. Tapi jantungnya... yah, Bapak sudah tua. Stres sedikit saja bisa fatal. Bapak sudah sadar dan memaksa ingin bicara dengan Ibu. Cuma Ibu."
Kiana mengangguk cepat. Dia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, menarik napas panjang untuk menenangkan diri, lalu mendorong pintu ruang rawat inap VVIP itu.
Di atas ranjang pasien yang dikelilingi berbagai monitor berbunyi bip-bip ritmis, Pak Adijaya terbaring lemah. Selang oksigen menempel di hidungnya. Wajah keriput yang biasanya garang itu kini terlihat abu-abu dan rapuh. Hati Kiana sakit melihatnya.
"Kek..." panggil Kiana pelan, mendekat ke sisi ranjang. Dia menggenggam tangan tua yang penuh bercak penuaan itu. "Kiana di sini. Jangan bikin kaget orang kenapa sih, Kek?"
Mata Pak Adijaya terbuka perlahan. Meski tubuhnya lemah, sorot matanya masih tajam, menyala dengan sisa-sisa otoritas yang biasa dia gunakan untuk memimpin Adijaya Group.
"Kamu... lama sekali..." suara Kakek parau, terdengar seperti gesekan kertas pasir.
"Macet, Kek. Jakarta kan isinya mobil semua," jawab Kiana, berusaha tersenyum meski matanya terasa panas. "Kakek istirahat ya. Jangan mikirin kantor dulu. Ada Kiana."
Pak Adijaya menggeleng lemah. Cengkeramannya di tangan Kiana tiba-tiba menguat, mengejutkan wanita itu. "Waktuku nggak banyak, Kiana. Jangan potong omongan Kakek."
Kiana terdiam, menelan ludah. "Oke. Kakek mau ngomong apa?"
"Saham Adijaya Group..." Kakek terbatuk pelan, membuat monitor di sebelahnya berbunyi lebih cepat. Kiana hendak memanggil dokter, tapi Kakek menahannya. "Dengar dulu! Rapat pemegang saham umum akan diadakan bulan depan. Kalau sampai saat itu kondisi Kakek begini terus, dewan direksi bakal mendesak penggantian kepemimpinan."
"Ya sudah, kan ada Kiana," potong Kiana cepat. "Kiana cucu Kakek. Kiana yang selama ini urus operasional di balik layar."
"Mereka nggak akan terima pemimpin perempuan yang lajang, Kiana!" bentak Kakek, suaranya naik satu oktaf sebelum terbatuk lagi. Napasnya tersengal. "Apalagi... apalagi status jandamu itu masih jadi bahan gosip."
Kiana melepaskan tangan Kakek, mundur selangkah. Kata 'janda' itu selalu berhasil menyulut sumbu amarah di dadanya. "Zaman apa ini, Kek? Kiana sudah buktikan Kiana mampu! Elva Express untung besar tahun ini!"
"Itu perusahaan mainanmu, bukan Adijaya Group!" Kakek menatapnya tajam. "Kalau kamu tidak bisa mengamankan posisi, mereka akan menunjuk Rio."
"Rio?" Kiana tertawa tidak percaya. "Sepupu gila judi itu? Yang bulan lalu baru saja menghabiskan dua miliar buat kalah di kasino Singapura? Kalau perusahaan jatuh ke tangan Rio, Adijaya Group bakal bangkrut dalam seminggu, Kek! Kakek sadar nggak sih?"
"Kakek tahu!" sergah Pak Adijaya. "Justru karena Kakek tahu, Kakek nggak mau itu terjadi. Tapi Rio punya dukungan pamanmu. Dan dia laki-laki. Di mata pemegang saham tua bangka itu, dia lebih stabil daripada kamu."
Kiana mengepal tangannya erat-erat hingga kukunya memutih. Ketidakadilan ini membuatnya muak. "Terus Kakek mau Kiana ngapain? Suap mereka?"
Pak Adijaya menatap langit-langit kamar, lalu kembali menatap Kiana dengan serius. "Menikah."
Satu kata itu jatuh seperti bom di ruangan yang sunyi.
"Apa?" Kiana melongo.
"Menikah, Kiana. Dalam tiga puluh hari ini. Sebelum Rapat Umum Pemegang Saham," ulang Kakek tegas, seolah sedang memesan nasi goreng. "Cari suami yang bonafid. Yang punya nama baik. Yang bisa bikin posisi kamu terlihat stabil dan kuat. Kalau kamu punya suami, Kakek bisa alihkan seluruh hak suara Kakek ke kamu tanpa ada yang protes."
"Kakek gila," desis Kiana, menggelengkan kepala. "Kakek lupa apa yang terjadi tiga tahun lalu? Kakek lupa bajingan bernama Radit itu hampir bikin Kiana masuk penjara gara-gara dia memalsukan tanda tangan Kiana buat utang?"
Bayangan masa lalu itu berputar cepat di kepala Kiana. Radit, mantan suaminya yang berwajah malaikat tapi berhati iblis. Pria yang dia cintai setengah mati, yang ternyata hanya mencintai uangnya.
Pernikahan mereka hancur berantakan ketika Kiana memergoki Radit menilap dana perusahaan untuk membiayai selingkuhannya.
Trauma dikhianati, dimanfaatkan, dan dipermalukan di pengadilan masih membekas seperti luka bakar di batin Kiana.
"Nggak semua laki-laki seperti Radit," kata Kakek, nadanya melunak sedikit tapi tetap menuntut.
"Semua sama saja, Kek! Mereka cuma mau uang! Kiana nggak butuh laki-laki buat memimpin perusahaan. Kiana bisa sendiri!" teriak Kiana frustasi. Air mata kemarahan sudah menggenang di pelupuk matanya.
"Ini bukan soal butuh atau tidak, ini soal politik bisnis!" Kakek kembali keras. Dia menunjuk Kiana dengan jari telunjuk yang gemetar. "Pilihannya cuma dua. Kamu menikah dalam 30 hari dan selamatkan warisan orang tuamu, atau biarkan Rio dan pamanmu menjual perusahaan ini potong demi potong untuk bayar utang judi!"
"Kakek tega maksa Kiana?"
"Kakek lakukan ini demi kamu! Supaya kamu punya pelindung!"
"Pelindung?" Kiana tertawa getir. "Pelindung terbaik buat wanita itu rekening bank yang tebal dan aset atas nama sendiri, Kek. Bukan suami!"
"Cukup!" bentak Kakek. Monitor jantungnya berbunyi nyaring, bip-bip-bip-bip. Wajahnya memerah padam. "Keputusan Kakek mutlak. Kalau bulan depan kamu datang ke rapat sendirian, Kakek sendiri yang akan tanda tangan penyerahan kuasa ke Rio. Biar hancur sekalian!"
Kiana ternganga. Dia tidak percaya kakeknya sendiri mengancam akan menghancurkan jerih payah seumur hidupnya hanya karena ego patriarki sialan ini.
Dada Kiana naik turun menahan emosi. Dia ingin berteriak, ingin membanting vas bunga di meja, tapi melihat kondisi Kakek yang terengah-engah, dia menelannya kembali.
Rasa sayang dan rasa benci bercampur aduk menjadi gumpalan pahit di tenggorokannya.
"Terserah Kakek," ucap Kiana dingin. Dia berbalik badan. "Istirahatlah. Kiana mau cari udara segar. Di sini pengap."
Tanpa menoleh lagi, Kiana menyambar tasnya dan melangkah cepat keluar ruangan. Dia membanting pintu kamar rawat inap itu cukup keras hingga suster yang berjaga di meja depan terlonjak kaget.
Kiana berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit yang panjang dan dingin. Sepatu hak tingginya beradu keras dengan lantai marmer, menciptakan gema yang seirama dengan detak jantungnya yang kacau.
Menikah dalam 30 hari? Lelucon macam apa itu? Siapa yang mau menikahi wanita gila kerja sepertinya dalam waktu sesingkat itu tanpa motif harta? Mencari pacar saja Kiana tidak sempat, apalagi suami!
"Sialan... sialan..." umpat Kiana pelan sambil merogoh tasnya, mencari ponsel untuk menelepon asistennya. Dia butuh kopi. Dia butuh strategi. Dia butuh...
BRUK!
Karena terlalu sibuk mengaduk tas, Kiana tidak melihat orang yang berjalan dari arah berlawanan di tikungan koridor. Dia menabrak dada bidang seseorang dengan keras hingga ponselnya terlempar ke lantai.
"Aduh! Kalau jalan pakai mata dong!" sembur Kiana reflek, langsung berjongkok memungut ponselnya. Untung tidak retak.
"Masih galak seperti biasa, ya? Padahal aku kangen suara lembutmu waktu kita bulan madu dulu."
Gerakan tangan Kiana terhenti di udara. Tubuhnya membeku.
Suara itu.
Suara bariton yang halus, sedikit serak, dan penuh kepalsuan yang sangat dia kenal. Bau parfum musk mahal yang dulu pernah dia belikan sebagai hadiah ulang tahun kini menusuk indra penciumannya, membangkitkan memori paling kelam dalam hidupnya.
Perlahan, Kiana mendongak. Dia berdiri tegak, matanya menyipit tajam menatap sosok pria di hadapannya.
Radit berdiri di sana, bersandar santai di dinding koridor rumah sakit dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana bahan yang licin. Dia mengenakan setelan jas biru tua yang pas badan, rambutnya ditata rapi dengan pomade. Senyum miring yang dulu membuat Kiana jatuh cinta, kini terlihat seperti seringai ular berbisa.
"Ngapain kamu di sini?" desis Kiana, suaranya rendah dan berbahaya. "Uang pesangon cerai yang aku kasih kurang? Atau kamu mau jual ginjal buat bayar utang judimu?"
Radit terkekeh pelan. Dia melangkah maju satu langkah, mengikis jarak di antara mereka.
Kiana tidak mundur. Dia bukan lagi istri penurut yang dulu. Dia menatap Radit dengan nyalang.
"Jangan kasar begitu, Sayang. Aku ke sini jenguk Kakek. Bagaimanapun juga, dia pernah jadi kakek mertuaku," kata Radit santai. Matanya menelusuri wajah Kiana dengan tatapan yang membuat Kiana ingin mandi kembang tujuh rupa. "Dan kebetulan... aku dengar sedikit pembicaraan seru dari celah pintu tadi. Telingaku kan tajam."
Wajah Kiana menegang. "Kamu menguping?"
"Nggak sengaja," elak Radit sambil mengangkat bahu. "Tapi intinya menarik. Kakekmu butuh cucu mantu, dan kamu butuh suami boneka untuk mengamankan saham."
Radit mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke telinga Kiana. Kiana bisa merasakan hembusan napas hangat pria itu yang menjijikkan.
"Kudengar kau butuh suami? Aku siap rujuk demi saham itu, Kiana," bisik Radit dengan nada menggoda yang beracun. "Kita tim yang hebat dulu, kan? Aku tahu rahasiamu, kamu tahu... kemampuanku. Kita bagi hasil saja. Lima puluh lima puluh. Gimana?"
Kiana mengepalkan tangannya begitu kuat hingga kukunya menancap ke telapak tangan, siap mendaratkan tamparan ke wajah sok ganteng itu.
vote untuk mu