NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:761
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 02 Part 1

Bunga duduk dengan kaku. Setiap otot di tubuhnya terasa ditarik kencang, seolah-olah ia adalah boneka kayu yang dipaksa tegak. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, membiarkan rambutnya yang disanggul rapi—hasil karya Ibunya pagi tadi—menjadi perisai. Fokusnya tertuju pada pola batik parang di rok jariknya. Ia menghitung jumlah lekukan di satu baris, lalu mengulangnya lagi, dan lagi. Apa saja, asal tidak perlu mengangkat kepala. Apa saja, asal tidak perlu melihat siapa pun, terutama Arga.

Di sekelilingnya, udara terasa pekat dengan aroma campuran melati dari dekorasi meja, wangi kue-kue basah yang disajikan Ibunya, dan parfum Tante Ratih yang lembut namun menusuk. Ruang tamu itu, yang biasanya terasa lapang dan nyaman, kini terasa menyusut, dindingnya seakan merapat untuk mengimpitnya.

Acara pembukaan basa-basi dimulai. Ayah Bunga, Pak Budi, berdeham dan memulai dengan tawa renyah yang dibuat-buat.

"Jalan-jalan ke Malioboro, pulangnya mampir ke Tugu," Ayah Bunga bersuara, nadanya ceria. "Senang sekali hati saya, menyambut sahabat lama yang ditunggu-tunggu!"

Om Pradipta, Ayah Arga, tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya yang berat memenuhi ruangan. "Bukan lautan hanya kolam susu, Pak Budi," balasnya, tak mau kalah. "Bukan basa-basi kami datang bertamu, tapi ada niat serius di dalam kalbu!"

Tawa riuh rendah kembali terdengar dari para tamu lain—kakak ipar Ayah Bunga, dan paman Arga. Mereka semua tertawa. Mereka semua menikmati lelucon yang terasa seperti lelucon di tiang gantungan bagi Bunga.

Bunga tidak mendengar satu kata pun dengan jelas. Telinganya berdengung, seperti ada ribuan lebah terperangkap di kepalanya. Yang ia tahu hanyalah, dunianya baru saja runtuh berkeping-keping. Dan orang yang membantunya membangun dunianya selama ini, laki-laki yang ia anggap sebagai kakaknya, mentornya, pelindungnya—Arga—kini adalah orang yang sama yang memegang palu penghancurnya.

Ia bisa merasakan kebaya itu gatal di tengkuknya. Bahan brokat berwarna dusty pink itu terasa seperti jaring ikan yang kasar, menjerat kulitnya. Riasan di wajahnya terasa tebal dan kaku, seperti topeng porselen yang dingin. Ia bisa merasakan lapisan foundation dan bedak tabur yang menutupi pori-porinya, membuatnya sulit bernapas. Setiap tawa di ruang tamu itu terdengar seperti ejekan, setiap senyuman yang diarahkan padanya terasa seperti seringai penuh konspirasi.

"Baik, baik," suara Om Pradipta terdengar lagi. Tawa renyahnya mereda, berganti dengan nada yang lebih dalam dan serius. Ia mengambil alih suasana. "Terima kasih atas sambutan hangatnya, Pak Budi, Bu Budi. Seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya lewat telepon, maksud kedatangan kami sekeluarga hari ini adalah untuk menyambung tali silaturahmi yang sudah terjalin puluhan tahun..."

Om Pradipta berhenti sejenak, tatapannya menyapu ruangan dan berhenti pada Arga, lalu beralih ke Bunga.

"...sekaligus," lanjutnya, "menyampaikan niat baik putra kami, Arga Pradipta, untuk meminang putri Bapak, Melati Bunga Yasmin."

Hening.

Jantung Bunga serasa berhenti berdetak. Satu detik, dua detik. Lalu berdebam keras sekali, menyakitkan tulang rusuknya.

Meminang.

Kata itu terdengar begitu formal, begitu kuno, begitu... final. Itu bukan kata yang seharusnya ada di dunianya. Dunianya adalah tentang blueprint, tentang rendering 3D, tentang ujian masuk universitas, tentang masa depan cerah di kota lain. Bukan tentang 'meminang'.

Ayah Bunga berdeham. Bunga bisa merasakan getaran suara berat Ayahnya dari sofa tempat mereka duduk bersebelahan. "Kami sekeluarga," Ayah Bunga memulai, suaranya terdengar mantap, "tentu saja menerima niat baik ini dengan tangan terbuka. Pradipta, Ratih... kalian ini sudah seperti saudara bagi kami."

Ayahnya menepuk pelan punggung tangan Om Pradipta. "Dan Arga," lanjut Ayahnya, menoleh pada laki-laki muda yang duduk di seberang ruangan itu, "sejak dulu, dia sudah kami anggap seperti putra kami sendiri. Dia tumbuh besar bersama Bunga. Tidak ada yang lebih membahagiakan kami selain menyerahkan Bunga pada laki-laki yang kami tahu persis bibit, bebet, dan bobotnya."

Menyerahkan.

Bunga merasa seperti barang. Sebuah piala. Sebuah aset. Benda yang bisa dipindahtangankan kepemilikannya dari satu laki-laki (Ayahnya) ke laki-laki lain (Arga). Konsep 'bibit, bebet, bobot' yang selalu ia dengar dalam sinetron-sinetron yang ditonton Ibunya, kini diterapkan padanya, seolah dia adalah seekor sapi perah yang sedang ditaksir harganya.

"Untuk itu," Tante Ratih kini mengambil alih. Suaranya lembut, seperti biasanya. Ia kini mengambil sebuah kotak beludru kecil berwarna merah marun dari tas tangannya yang diletakkan di pangkuan. Ia tersenyum ke arah Bunga.

Itu adalah senyum yang ribuan kali Bunga lihat. Senyum yang selalu ia terima setiap kali ia berkunjung ke rumah Arga. Senyum yang memberinya kue jahe hangat. Senyum yang menanyakan kabarnya di sekolah. Namun hari ini, senyum itu terasa membekukan. Senyum itu tidak mencapai matanya. Itu adalah senyum seorang sekutu yang baru saja menunjukkan warna aslinya.

"Sebagai tanda ikatan," kata Tante Ratih, membuka kotak itu. "Izinkan saya menyematkan cincin ini di jari Nduk Bunga."

Ini dia. Momen eksekusinya. Palu hakim telah diketuk.

Ibu Bunga, yang duduk di sisi lain Bunga, menyenggol pelan lengan putrinya. Senggolan itu terasa keras dan tajam. Sebuah perintah tanpa suara. "Bunga, ulurkan tanganmu, Nduk."

Dengan gerakan yang terasa lambat, seperti dalam adegan film yang diperlambat, Bunga mengangkat kepalanya. Matanya kosong. Ia melihat wajah-wajah yang tersenyum padanya. Ayahnya yang tersenyum bangga. Ibunya yang tersenyum lega. Om Pradipta dan Tante Ratih yang tersenyum penuh kasih sayang.

Dan di seberang sana, Arga. Dia tidak tersenyum. Dia hanya... melihat.

Bunga melihat Tante Ratih bergeser di sofanya, mendekatinya. Dengan tangan gemetar yang tidak bisa ia kendalikan, Bunga mengangkat tangan kirinya. Ia bahkan tidak tahu tangan mana yang seharusnya. Kiri? Kanan? Apa bedanya? Rasanya ia ingin menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung.

Tangan Tante Ratih yang hangat dan lembut menyentuh jemarinya. Kontras itu begitu mengejutkan. Tangan Tante Ratih hangat oleh kehidupan dan kebahagiaan, sementara jemari Bunga terasa dingin seperti es, mati rasa.

Sebuah cincin emas putih dengan berlian kecil sederhana namun berkilau diselipkan ke jari manisnya.

Pas.

Seakan sudah diukur.

Tentu saja sudah diukur, pikir Bunga getir. Ibunya. Ibunya pasti yang memberikan ukuran cincin lamanya diam-diam. Ibunya, sekutunya yang paling ia percaya, adalah bagian dari konspirasi ini sejak awal.

"Alhamdulillah..."

Suara itu terdengar serempak dari semua orang dewasa di ruangan itu. Sebuah paduan suara yang menyegel nasibnya.

Bunga menatap cincin itu. Benda asing yang berkilau di jarinya. Benda itu terasa berat. Sangat berat. Jauh lebih berat dari wujudnya yang mungil. Ia terasa seperti jangkar yang baru saja dijatuhkan dari kapal besar, siap menenggelamkannya ke dasar lautan terdalam, menenggelamkan semua mimpinya. Mimpinya tentang studio arsitektur, tentang gedung-gedung tinggi yang ia rancang, tentang kebebasan di kota besar. Tenggelam.

Setelah itu, seolah ada yang memutar tombol, acara berlanjut dengan ramah tamah. Ketegangan formalitas mencair, berganti tawa yang lebih lepas.

Ibu Bunga dan Tante Ratih langsung sibuk membicarakan detail. Bunga mendengar samar-samar, potongan-potongan percakapan mereka melayang di atas kepalanya seperti asap.

"Lebih cepat lebih baik, Jeng," suara Ibunya.

"Dua minggu lagi bagaimana? Keburu Arga harus kembali ke kota," balas Tante Ratih.

"Akad saja dulu, yang penting sah. Sederhana di rumah."

"Betul. Resepsinya nanti gampang, bisa diatur setelah Bunga libur semester pertama kuliahnya..."

Bunga ingin muntah. Jadi mereka bahkan sudah merencanakan ini? Kuliahnya hanya menjadi catatan kaki dalam rencana besar pernikahan ini. Libur semester. Seolah ia akan baik-baik saja menjalani semester pertamanya sebagai seorang... istri.

"Ayo, Nduk, silakan dicicipi kuenya. Nak Arga juga, ayo," suara Ibu Bunga memecah lamunannya.

Semua orang mulai mengambil piring-piring kecil berisi kue lapis, risoles mayones, dan lemper ayam. Suasana semakin mencair. Om Pradipta dan Ayah Bunga tertawa-tawa, bernostalgia masa muda mereka saat masih sama-sama merintis usaha. Tante Ratih dan Ibunya mulai beralih topik, menggosipkan tetangga yang baru saja membeli mobil baru.

Semua orang terlihat normal. Semua orang bahagia. Semua orang bersemangat.

Kecuali dirinya.

Dan dia.

Bunga memberanikan diri. Pelan-pelan, sangat pelan, ia mengangkat pandangannya dari cincin di jarinya dan melirik ke seberang ruangan.

Arga sedang duduk di kursinya, sedikit membungkuk ke depan. Di tangannya ada piring berisi sepotong risoles, tapi piring itu hanya diam di pangkuannya. Risoles itu tidak dimakannya. Ia sedang mendengarkan Ayahnya bicara, mengangguk sesekali. Wajahnya tenang.

Terlalu tenang.

Itu yang paling menyakitkan. Ketenangannya.

Bagaimana bisa dia setenang itu? Bagaimana bisa dia duduk di sana, mengangguk pada lelucon Ayahnya, seakan ini adalah acara arisan keluarga biasa? Seakan ini bukan hari di mana dia baru saja bersekongkol untuk menghancurkan masa depan perempuan yang memanggilnya 'Mas' sejak bisa bicara? Perempuan yang ia bantu kerjakan PR matematikanya. Perempuan yang ia ajari cara membuat denah rumah sederhana. 'Adiknya' sendiri.

Rasa mual yang tadi tertahan kini naik lagi ke tenggorokannya, panas dan asam. Bunga butuh udara. Ia butuh keluar dari ruangan penuh tawa palsu dan rencana-rencana busuk ini.

"Buk," bisik Bunga pada Ibunya, menyela obrolan Ibunya tentang harga cabai.

Ibunya menoleh, senyumnya sedikit memudar melihat ekspresi Bunga. "Kenapa, Nduk?"

"Bunga ke belakang sebentar. Mau... mau ambil minum."

"Lho, ini kan ada minum, Nduk," kata Ibunya, menunjuk gelas-gelas es teh manis yang berembun di meja.

"Bunga mau air putih hangat," elaknya cepat. Alasan paling konyol yang bisa ia pikirkan, tapi ia tidak peduli.

Tanpa menunggu jawaban Ibunya, Bunga bangkit berdiri. Lututnya masih sedikit gemetar, tapi ia memaksanya untuk kokoh. Ia berjalan cepat, setengah berlari, melewati ruang makan, lalu dapur, mengabaikan Bi Asih yang sedang mencuci piring, dan langsung mendorong pintu menuju teras belakang rumah.

Udara sore yang sejuk dan sedikit lembap langsung menerpa wajahnya. Sebuah kelegaan instan. Ia bersandar di pilar kayu teras, memejamkan mata, dan mencoba bernapas. Satu tarikan napas dalam. Dua. Tiga. Ia mencengkeram pagar teras yang dicat putih itu kuat-kuat, buku-buku jarinya memutih. Berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

Percuma.

Satu air mata jatuh, membasahi riasan tebal di pipinya. Lalu satu lagi.

"Bunga."

Suara itu. Suara dalam dan tenang yang baru beberapa menit lalu mengucap "cantik sekali" padanya saat ia pertama kali keluar kamar. Suara yang selalu ia cari saat ia butuh nasihat. Suara yang kini paling ia benci.

Bunga tidak berbalik. Ia menghapus air matanya kasar dengan punggung tangannya, merusak riasan yang sudah tidak ia pedulikan lagi. "Ngapain Mas ke sini?" tanyanya ketus.

Terdengar langkah kaki pelan di lantai teras di belakangnya. Arga berhenti beberapa langkah di belakangnya, tidak terlalu dekat, seakan memberi ruang. "Mas perlu bicara."

"Bicara apa lagi?" Bunga akhirnya berbalik. Matanya merah dan bengkak, menatap Arga dengan pandangan yang campur aduk. Ada rasa marah di sana, tapi yang lebih dominan adalah luka dan kebingungan yang mendalam. "Semuanya sudah jelas, kan? Selamat, Mas. Rencananya berhasil."

Arga menatapnya. Wajahnya tidak lagi setenang di ruang tamu. Kini, di bawah cahaya lampu teras yang temaram, Bunga bisa melihat sorot... lelah? Atau rasa bersalah? Bunga tidak tahu, dan ia tidak yakin ia peduli.

"Mas tahu kamu kaget," ucap Arga pelan.

Bunga tertawa kecil, tawa yang getir dan sumbang, lebih mirip isakan tertahan. "Kaget? Mas, ini bukan kaget. Ini... ini Bunga nggak ngerti."

Suaranya mulai bergetar. Ini adalah nada yang Arga kenali. Nada ketika Bunga kecil kehilangan kucing kesayangannya. Nada putus asa.

"Kenapa... kenapa Mas Arga?" tanya Bunga lirih. Nadanya bukan menuduh. Itu adalah pertanyaan tulus yang patah hati. "Dari semua orang di dunia... kenapa harus Mas Arga?"

"Mas Arga kan tahu," lanjutnya, air matanya kembali mengalir deras, kini ia tak berusaha menghapusnya lagi. "Mas Arga tahu Bunga ingin kuliah. Mas Arga yang bantu Bunga memilih jurusan itu. Mas Arga yang begadang bantu Bunga belajar buat ujian masuk. Mas Arga yang bilang Bunga pasti bisa jadi arsitek hebat. Mas Arga yang paling Bunga percaya... setelah Ayah dan Ibu."

Ia menelan ludah, tenggorokannya tercekat oleh emosi. "Terus... ini apa?"

Ia mengangkat tangan kirinya, menunjuk cincin di jarinya. "Mas Arga... ikut serta dalam rencana ini? Dari awal? Mas Arga tahu Ayah sama Ibu akan maksa Bunga? Dan Mas Arga... setuju?"

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!