NovelToon NovelToon
Nyonya Muda Danurengga

Nyonya Muda Danurengga

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Nikahmuda / Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:382
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.

Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.

Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan tak di sengaja

Langit Bandung sore itu mulai meredup. Mentari baru saja menyelesaikan salah satu tugas kuliahnya di perpustakaan kampus—proyek desain mini yang cukup menguras tenaga. Ia membereskan laptop dan buku sketsanya, lalu berjalan santai menuju parkiran sambil mendengarkan musik melalui earphone.

“Huhhh… akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil merentangkan tangan. “Besok tinggal revisi, terus bisa tenang sebentar.”

Ia melangkah sambil memandangi layar ponselnya, mengecek pesan grup kelas. Langkahnya ringan, agak terburu, karena perutnya sudah berteriak minta diisi. Ia berencana mampir sebentar ke café dekat kampus sebelum pulang.

Namun, takdir seakan punya rencana lain.

Di tikungan jalan menuju café, tiba-tiba tubuhnya membentur seseorang. Begitu keras hingga buku sketsanya terjatuh ke lantai, halaman-halamannya berhamburan terkena hembusan angin sore.

“Aduh! Mas, lihat-lihat dong jalannya!” seru Mentari spontan, memegangi bahunya.

Pria yang ditabraknya berdiri tegak. Jas abu-abu elegan membungkus tubuhnya dengan sempurna, kemeja putihnya tanpa cela, dan arlojinya berkilau samar di bawah cahaya sore. Wajahnya tenang, rahangnya tegas, tatapannya dalam. Ia tidak tampak terganggu sedikit pun.

“Seharusnya kamu juga lebih hati-hati, Nona,” jawabnya tenang. Suaranya rendah, penuh wibawa, namun tidak meninggi.

Mentari mendengus, membungkuk cepat untuk memunguti kertas-kertasnya yang beterbangan. “Ya iya, tapi Mas juga kan jalan sambil main HP. Sama aja nggak fokusnya.”

Pria itu menatapnya sebentar, lalu ikut berjongkok, meraih salah satu lembar sketsa yang hampir tersapu angin. Ia menepuknya perlahan sebelum menyerahkan kembali kepada Mentari.

“Desain?” tanyanya singkat.

Mentari berhenti sejenak, terkejut. Biasanya orang hanya melihatnya sebagai coretan asal. Tapi pria ini langsung tahu itu gambar desain. Ia mengangguk. “Iya. Tugas kuliah. Eh, makasih ya, Mas.”

Pria itu mengangguk tipis, berdiri lebih dulu. “Hati-hati lain kali.”

Tanpa menunggu balasan, ia melangkah masuk ke café di dekat situ. Gaya jalannya tegap, penuh percaya diri, seakan dunia bergerak mengikuti ritmenya.

Mentari memandangi punggung pria itu beberapa detik. Ada sesuatu yang berbeda—auranya dingin, tapi memikat. Ia menggeleng cepat, mencoba mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba muncul.

“Duh, siapa sih dia? Kok kayak… tokoh drama Korea versi lokal,” gumamnya sambil merapikan kertas-kertas ke dalam map.

.....

Café itu cukup ramai sore ini, dengan aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Musik akustik mengalun pelan dari speaker.

Mentari memesan cappuccino dan croissant, lalu mencari tempat duduk. Saat matanya menyapu ruangan, ia kembali menemukan sosok pria yang tadi ditabraknya. Duduk di pojok, ia tampak serius berbicara dengan dua pria lain, mungkin rekan bisnisnya. Laptop terbuka, beberapa berkas tertata rapi di meja.

Berbeda dengan ekspresi hangat para pebisnis lain, wajah pria itu tetap dingin, fokus, dan tenang. Sesekali ia mengangguk, sesekali menulis catatan. Aura wibawa itu membuatnya terlihat berjarak dari orang-orang biasa.

Mentari yang sedang menyeruput cappuccinonya, tanpa sadar terus mencuri pandang. Hingga akhirnya, tatapan mereka bertemu.

Mentari terperangah.

“Eh, dingin banget ekspresinya. Kalau aku sih udah senyum-senyum basa-basi gitu. Sombong amat,” bisiknya sendiri.

Namun anehnya, semakin ia mencoba menepis, semakin penasaran pula hatinya. Ada sesuatu pada pria itu—ketenangan yang kontras dengan sifatnya yang cerewet.

.....

Sekitar setengah jam lamanya, rapat kecil itu selesai. Dewangga berdiri, merapikan jasnya, dan berjalan menuju kasir. Ia melewati meja Mentari. Tanpa sengaja, map sketsa Mentari yang diletakkan di sisi meja sedikit terbuka, memperlihatkan rancangan gaun bergaya modern dengan motif bunga khas Sunda.

Langkah Dewangga terhenti sejenak. Matanya menoleh, menatap desain itu, lalu beralih ke Mentari.

“Desain yang menarik,” ucapnya singkat.

Mentari terbelalak. “Eh? Mas lihat ya? Jangan-jangan Mas kepo, ya? Aku belum siap nunjukin itu ke orang lain, apalagi orang asing.”

Dewangga menaikkan alis. Nada suaranya tetap datar, tapi ada sedikit nada menggelitik. “Kalau begitu, lain kali jangan dibiarkan terbuka di meja umum.”

Mentari memutar bola matanya. “Ih, ketus banget. Kalau mau muji ya muji aja, nggak usah sok-sokan gitu.”

Dewangga hanya tersenyum samar, tipis sekali, nyaris tak terlihat. “Saya pergi dulu.”

Ia melangkah keluar café, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar. Mentari menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu menghela napas panjang.

“Hadeuh… baru juga ketemu, udah bikin kesel. Tapi kok… bikin penasaran juga, ya?”

Ia menggeleng kuat-kuat, lalu kembali menunduk pada cappuccinonya yang sudah dingin.

_____

Langit mulai berwarna jingga ketika Dewangga menjalankan mobilnya. Jalanan menuju Jakarta tampak padat, namun pikirannya jauh lebih riuh dari suara klakson kendaraan di sekitarnya.

Sebuah kertas tipis tergeletak di kursi penumpang. Sketsa itu ia temukan saat hendak beranjak dari meja café tadi—guratan halus seorang gadis yang sedang tersenyum samar. Dewangga tak tahu kenapa, tapi langkahnya sempat terhenti cukup lama hanya untuk menatapnya.

Ia bukan tipe pria yang mudah tertarik pada hal sepele. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

Bukan pada wajah gadis di sketsa itu, melainkan pada tangan yang melukiskannya.

“Mentari…” gumamnya pelan, menyebut nama yang sempat terucap di antara keributan kecil tadi. Gadis yang menabraknya dengan langkah terburu-buru, lalu sibuk meminta maaf sambil mengomel tanpa henti.

Senyum tipis terbit di wajahnya. “Cerewet, tapi matanya… tidak biasa.”

Mobil melaju menyusuri tol Cipularang. Angin sore menerpa kaca jendela, membawa aroma sisa hujan. Dewangga menatap keluar, pikirannya kembali pada urusan bisnis yang menunggu di Jakarta—namun kali ini ada satu ide baru yang menuntut perhatian.

Salah satu perusahaan di bawah grup Danurengga miliknya yang bergerak di bidang fashion dan modeling—D’Or Mode, anak usaha yang beberapa tahun terakhir berjalan datar tanpa terobosan baru. Selama ini ia tidak terlalu ikut campur, hanya menyerahkan pada tim kreatif. Tapi kini, setelah melihat coretan spontan Mentari tadi… ia berpikir ulang.

“Desain yang dibuat tanpa niat, tapi penuh karakter,” ujarnya sendiri.

Ia tak tahu apakah gadis itu sekadar hobi, atau benar-benar punya bakat. Namun insting bisnisnya sudah berbicara—bakat seperti itu tidak boleh dibiarkan lewat begitu saja.

Telepon di dashboard mobil bergetar. Nama asisten pribadinya muncul di layar.

Dewangga menekan tombol, suara lembut terdengar di telinganya.

“Tuan, jadwal meeting dengan tim fashion masih jadi besok pagi. Apakah tetap di kantor pusat atau di D’Or Mode?”

“Besok pagi di D’Or Mode,” jawabnya singkat. “Dan tolong cari tahu nama lengkap mahasiswi Universitas Pratama Nusantara, Fakultas Seni dan Desain, atas nama Mentari… apa tadi?”

Ia berpikir sejenak.

“Mentari Arata Wiradiredja.”

Terdengar keheningan di seberang. Asistennya jelas terkejut mendengar nama panjang itu.

“Baik, Tuan. Saya cari tahu datanya malam ini.”

“Jangan buat heboh. Lakukan dengan halus,” ujarnya dingin. “Saya hanya ingin tahu, apa dia memang punya bakat di bidang desain.”

“Baik, Tuan.”

Telepon terputus.

Dewangga menatap sekali lagi sketsa di tangannya—gadis dengan gaun sederhana, tersenyum seperti menyembunyikan sesuatu di balik matanya.

Mungkin hanya kebetulan.

Atau mungkin, semesta memang sengaja mempertemukan mereka di waktu yang tidak biasa.

Ia menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil.

“Mentari Arata Wiradiredja…”

Nada suaranya turun, lirih, seolah menguji bunyi nama itu di antara desau mesin dan bayangan senja.

“Nama yang terlalu indah untuk dilupakan.”

Mobilnya terus melaju menembus sore, membawa serta awal dari sesuatu yang bahkan Dewangga sendiri belum berani menyebutnya ketertarikan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!