“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 28
Suara langkah kaki segera terdengar. Beberapa siswa muncul dari ujung lorong, wajah mereka berubah pucat ketika melihat kondisi Nurma. Dua guru ikut datang tak lama kemudian.
“Bawa ke UKS sekarang,” perintah Mahira, nadanya terburu-buru meski tubuhnya masih lemas.
Dua siswa laki-laki mengangkat Nurma dengan hati-hati. Ketika melewati Mahira, gadis itu membuka mata sedikit, menatap Mahira dengan pandangan sayu.
“Terima kasih… Bu…” suaranya hampir hilang sebelum matanya kembali terpejam.
Mahira merasakan tusukan rasa pedih di dadanya.
Di UKS, suasana berubah kacau. Perawat sekolah tampak panik saat melihat memar yang memenuhi wajah Nurma. Napas Nurma terengah, tubuhnya menggigil. Mahira mondar-mandir, nyaris tidak bisa diam.
“Kami tidak bisa menangani ini. Harus ke rumah sakit,” kata petugas UKS dengan suara tegang.
Mahira langsung mengangguk. “Ayo. Jangan buang waktu.”
Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti perjalanan terpanjang dalam hidup Mahira. Setiap detik ia terus memandangi Nurma yang terbaring di tandu ambulans, wajahnya pucat, nafasnya tersengal seakan setiap helaan bisa menjadi yang terakhir.
Begitu tiba di rumah sakit, dokter dan perawat langsung membawa Nurma ke IGD. Pintu ruang tindakan tertutup dan Mahira hanya bisa berdiri di lorong, memeluk kedua tangannya sendiri, mencoba menahan gemetar yang tak kunjung pergi.
Setelah beberapa tindakan dilakukan, lampu indikator padam. Perawat keluar dan memberi kabar bahwa Nurma sudah sadar.
Mahira menghela napas panjang, hampir runtuh karena lega.
Ia mendekati sisi ranjang, menatap wajah Nurma yang kini terbaring lemah dengan infus di tangan. Mata Nurma terbuka sedikit ketika mendengar langkah Mahira.
“Bu…” panggilnya lirih.
Mahira mengusap punggung tangannya pelan. “Kamu sudah aman. Istirahat dulu.”
Setelah memastikan kondisi Nurma stabil, Mahira menghadap bagian administrasi. Suaranya tegas ketika berbicara.
“Saya minta visum lengkap. Semua memar, luka, dan tanda kekerasan harus dicatat.”
Petugas menatapnya heran, tetapi mengangguk.
Mahira menatap kaca ruang IGD, wajahnya dipantulkan samar. Matanya tajam, penuh kemarahan yang ia tahan sekuat tenaga.
“Leo…” bisiknya dengan rahang mengeras. “Kamu pikir semua orang takut padamu. Mungkin mereka takut. Tapi aku tidak.”
Ia mengepalkan tangan.
“Yang kamu lakukan ke Nurma… tidak akan kubiarkan begitu saja.”
Mahira duduk di sisi ranjang. Aroma antiseptik memenuhi ruangan, lampu redup menyorot wajah pucat Nurma. Jarum infus menancap di pergelangan tangan gadis itu, membuatnya tampak lebih rapuh. Mahira meraih tangan itu, mengusapnya perlahan, seolah takut gerakan terlalu keras bisa membuatnya pecah.
“Nurma…” bisiknya.
Kelopak mata Nurma bergerak pelan sebelum terbuka. “Ya, Bu…” suaranya seperti hela napas yang hampir hilang.
“Aku telepon orang tua kamu, ya. Mereka pasti khawatir.”
Nurma menggeleng. Sangat pelan. Hampir tidak terlihat. “Aku… tidak punya orang tua.”
Mahira membeku. Sesuatu di dadanya retak. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Bukan karena iba semata. Ada kemarahan yang merambat naik dari dasar perut. Dunia macam apa yang membiarkan anak ini bertarung sendirian?
Ia menatap wajah Nurma lama-lama. Siswa yang tak pernah absen. Duduk paling depan. Tidak pernah mengeluh, tidak pernah bikin masalah. Semua itu kini terasa seperti tanda-tanda diam yang selama ini tak dibacanya.
“Nurma…” suara Mahira pecah. “Kamu bisa cerita? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Nurma menarik napas kecil. Ketakutannya tampak di setiap gerakan bahu yang bergetar halus. Matanya menatap langit-langit, seperti mencari keberanian di antara bayangan yang masih menempel.
“Aku selalu datang pagi, Bu…” ucapnya. “Aku tidak suka keramaian.”
Mahira mengangguk pelan. Ia membiarkan gadis itu mengatur ritme ceritanya sendiri.
“Tadi pagi… aku masuk kelas. Ada kertas di mejaku.” Suaranya mengecil. “Isinya… kalau aku dekat dengan Doni, nyawa aku bisa hilang.”
Mahira mengepalkan tangan. Buku-buku jarinya memutih.
“Waktu aku baca itu… tangan aku gemetar. Tapi aku tidak bicara ke siapa pun. Aku cuma duduk sampai bel masuk.”
Nurma terdiam sejenak sebelum melanjutkan.
“Doni datang. Dia nyapa aku… bilang aku cantik.” Senyum tipis muncul, tapi mati sebelum sempat tumbuh. “Dia lihat aku aneh. Aku bilang… jangan dekat-dekat. Aku takut.”
Ada sesuatu yang menegang di perut Mahira. Nama Doni kini terdengar seperti pisau tumpul yang menggores dinding hatinya.
“Dan… Saras lihat?” tanya Mahira perlahan.
Nurma mengangguk kecil. “Jam istirahat. Saras datang ke aku. Dia bilang… ‘kalau lu mau selamat, ikut gue.’”
Mahira menahan napas.
“Dia bawa aku ke arah gudang. Lalu dia berhenti di depan lorong itu dan bilang… ‘jalan terus, jangan menoleh ke belakang.’” Nurma mulai terisak. “Aku baru jalan beberapa langkah… langsung ada yang nyeret aku.”
Bahunya bergetar. Suaranya pecah.
“Aku ditampar… dipukul kayak binatang…”
Mahira menelan ludah, tubuhnya ikut menegang.
“Mereka siram aku… aku yakin itu air kencing.”
Mahira memejamkan mata, perutnya berputar.
“Beberapa kali mereka paksa aku makan tikus…” suara Nurma hampir hilang. “Aku muntah, tapi mereka paksa lagi.”
Mahira menutup mulutnya, rasa mual menyeruak sampai ke tenggorokan.
“Kalau Ibu tidak datang…” Nurma menatap langit-langit kosong. “Mungkin aku… udah nggak ada.”
Kali ini bukan Nurma yang menangis.
Mahira menunduk, menutup wajah dengan kedua tangannya, air mata jatuh tanpa bisa dihentikan. Ia menangis untuk rasa sakit Nurma… untuk ketakutannya sendiri… dan untuk kemarahan yang kini membara tanpa tempat kembali.
Ponsel Mahira bergetar di pangkuannya. Ia mengusap air mata di pipi, lalu menatap layar.
Dari: Anggi
“Mahira… jangan lanjutkan kasus ini.”
Mahira terpaku beberapa detik. Lalu rahangnya mengeras. Ia mengepalkan ponsel itu sampai jemarinya memutih. Ada panas yang menjalar dari dada ke tenggorokan—campuran marah dan kecewa yang sulit dibedakan.
Ia tahu Anggi bukan penakut. Tapi kenyataan bahwa bahkan Anggi memilih mundur… itu menyakitkan.
Belum sempat napasnya teratur, notifikasi lain muncul.
Bu Nurhasnah:
“Mahira, Ibu sudah beri uang untuk Nurma. Tolong bilang ke dia… damai saja, ya.”
Mahira menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan suara yang ingin meledak. Matanya memerah lagi, bukan karena menangis—tapi karena sesuatu di dalam dirinya patah.
Ia memandangi layar ponsel yang masih menyala.
Tawaran damai. Uang tutup mulut. Ketakutan.
Semua itu terasa seperti tembok tinggi yang siap mendorongnya kembali ke diam.
Mahira memalingkan wajah, menatap Nurma yang terbaring lemah. Gadis itu bernafas pelan, tubuhnya masih bergetar sesekali dalam tidur. Luka memar di wajahnya tampak jelas meski lampu ruangan redup.
Mahira meremas ujung jaketnya.
Dunia macam apa yang mengajari anak baik untuk diam?
Dunia macam apa yang membuat orang miskin harus tunduk pada orang kaya?
Ia mengingat wajah Leo yang dingin.
Saras yang melengos seolah tidak menyakiti siapa pun.
Orang tua mereka yang selalu datang dengan ancaman terselubung dan uang tebal.
“Melalui sekolah… percuma,” gumamnya. Suaranya serak.
Guru-guru dengan gaji yang pas-pasan tak akan sanggup menantang keluarga berkekuatan uang. Bahkan kepala sekolah pun sering kali memilih aman.
Ada detik panjang saat Mahira hanya menatap lantai. Tubuhnya terasa dingin. Jari-jarinya gemetar.
Ia benar-benar bingung.
Terlalu banyak yang menyuruhnya mundur.
Terlalu banyak alasan untuk menyerah.
Tapi ketika ia kembali menatap Nurma, semua alasan itu runtuh.
“Tidak.” Suaranya keluar tiba-tiba, pecah dan penuh getaran.
Mahira berdiri. Punggungnya lurus, seperti seseorang yang akhirnya berhenti bersembunyi dari dirinya sendiri.
“Tidak,” ulangnya, lebih tegas. “Aku tidak akan diam.”
Ia menggenggam ponselnya, kali ini tidak dengan marah—tapi dengan tekad.
“Aku akan laporkan ini ke polisi. Apa pun risikonya.”
Di dadanya, ketakutan masih ada. Tapi tekadnya lebih besar.
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh