Rinjani hanya ingin hidup tenang.
Tapi semua hancur saat ia terbangun di kamar hotel bersama pria asing. Dan beberapa jam kemudian mendapati kedua orang tuanya meninggal mendadak.
Dipaksa menikah demi melunasi utang, ia pingsan di hari pernikahan dan dinyatakan hamil. Suaminya murka, tantenya berkhianat, dan satu-satunya yang diam-diam terhubung dengannya ... adalah pria dari malam kelam itu.
Langit, pria yang tidak pernah bisa mengingat wajah perempuan di malam itu, justru makin terseret masuk ke dalam hidup Rinjani. Mereka bertemu lagi dalam keadaan tidak terduga, namun cinta perlahan tumbuh di antara luka dan rahasia.
Ketika kebenaran akhirnya terungkap, bahwa bayi dalam kandungan Rinjani adalah darah daging Langit, semuanya berubah. Tapi apakah cinta cukup untuk menyatukan dua hati yang telah hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Keke Utami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Yang tertinggal di balik malam
Langit masih berada di kamar hotel tempatnya menginap. Pria berusia 30 tahun itu menatap jalanan ibu kota yang berisik, sama seperti isi pikirannya sekarang, yang mencoba menyusun kepingan-kepingan ingatan semalam.
Kepalanya berat, bukan hanya karena sisa alkohol. Tapi karena pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban. Siapa perempuan itu?
“Permisi, Bos.”
Langit menoleh cepat, saat Taufan– Asistennya melangkah masuk.
“Gimana?” Langit langsung bertanya.
“CCTV rusak.”
Langit mengumpat kesal, “Hotel bintang 5, tapi keamanan nggak lebih dari indekos, lucu banget,” geramnya.
“Katanya sudah satu minggu rusak. Mereka baru tahu setelah saya meminta rekamannya,” imbuh Taufan.
Langit tak menjawab. Tatapannya tertuju pada ranjang yang kini berantakan. Ia memang tidak sepenuhnya mengingat apa yang terjadi. Tapi bekas darah yang ada di seprai semalam sudah memberi petunjuk, jika ia tidak sendirian.
“Anda ingin saya membawa seprai ini, Bos?” tanya Taufan. Pria itu mendekat ke arah ranjang setelah Langit mengiyakan.
Lalu Taufan membungkuk, tangannya meraih benda lain yang ia temukan di sisi ranjang, “Ada jepitan rambut,” tunjuk Taufan.
Langit meraihnya. Beberapa helai rambut terjebak di sela-sela gigi jepitan. Bukti yang terlalu kecil untuk diusut. Namun cukup memperkuat jika semalam bukan ilusi.
“Ini pasti rambut wanita semalam. Kamu simpan. Siapa tahu dibutuhkan nanti,” ujarnya.
Taufan segera menyimpan jepitan tersebut.
“Ada telepon?” tanya Langit, ia sedang memasang kembali Rolex miliknya.
“Pukul 7 pagi, telepon dari Ibu Olivia.”
Langit mengangguk datar, “Pasti nanyain kapan saya pulang,” gumamnya.
Taufan tidak menanggapi. Ia tahu benar ritme keluarga Alexander.
“Kita ke kantor. Saya ada meeting sama Darren siang ini.”
Taufan mengangguk dan segera berbalik.
Langit melirik sekali lagi ke arah ranjang, lalu keluar dari kamar itu. Peristiwa semalam tertinggal di sana, bersama misteri yang belum selesai.
**********
“Utang apa?” suara Rinjani terdengar ragu, tapi tegas.
Desi melempar map ke atas meja. Hingga isinya berhamburan, “Baca sendiri!”
Rinjani menyambar salah satu dokumen, matanya terbelalak saat membaca nama Darren Bumantara sebagai pemilik piutang.
“Nggak! Nggak mungkin!” bantah Rinjani.
“Aku tahu kalau aset dan harta papa masih banyak. Aku yakin bisa menutupi semua utang ini.”
Desi mencibir, “Aset yang mana?”
“Perusahaan papa, mobil mewah, perhiasan–”
“Mana? Tunjukkan!” tantang Desi.
Rinjani terdiam. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Dokumen aset itu ia tidak tahu disimpan di mana.
Desi menyandarkan tubuhnya, tersenyum puas, penuh kelicikan, “Orang tuamu hanya meninggalkan nama dan utang segunung. Dan satu-satunya cara keluar dari ini semua adalah nikah sama Tuan Darren.”
“Aku nggak mau!”
Rinjani menatap dua pria di depannya, ia tahu ia tidak punya pilihan. Tapi harga dirinya masih ada.
“Ayo bayar!” Desi mendesak dengan nada menekan.
Rinjani menelan salivanya dengan susah payah. Ia tidak memiliki uang, setelah lulus kuliah ia baru ingin mengabdi di perusahaan keluarganya.
“Aku akan kerja. Dan bayar semuanya. Aku cuma butuh waktu.”
“Kamu pikir mereka akan menunggu, hah?!” tanya Desi sinis.
Rinjani menggigit bibir,
“Pertemukan aku dengan atasan kalian, biar aku yang bicara padanya.”
Kedua pria itu diam, salah satunya menerima telepon saat ponselnya berbunyi.
“Nona Rinjani ingin bertemu Anda, Tuan.”
Beberapa saat hening, lalu pria itu mengangguk dan menutup telepon, “Tuan Darren bersedia bertemua Anda.”
“Ta-tapi–” Desi hendak protes.
“Tante, biar aku yang membereskan semua ini,” potong Rinjani dingin.
Desi mencibir, tapi memilih diam.
“Sore ini. Di hotel DB,” ucap salah satu pria itu.
“Hotel? Kenapa nggak di coffe shop?” tanya Rinjani ragu.
“Permintaan Tuan Darren. Hanya bertemu di tempat yang dia pilih,”
Senyum pria itu membuat Rinjani merinding, namun ia tetap mengangguk, “Ok, sore ini,”
******
Langit duduk di kursi ruangan VIP sebuah restoran, mengetukkan jarinya pelan ke meja, ia benci menunggu.
“Sorry Bro. Macet.” Suara bas itu terdengar saat pintu tiba-tiba terbuka.
Langit menatap pergelangan tangannya, “40 menit!” ujarnya sebal.
Darren terkekeh pelan, ia menarik satu kuris di seberang Langit, “Ya gimana, calon nyokap anak gue ngotot minta video call.”
Langit mendengus, “Nggak nyangka lo nikah duluan,”
“Gue juga nggak nyangka. Tapi ya, dunia emang penuh kejutan. Gue pikir hidup butuh sesuatu yang stabil. Lo ngerti ‘kan?”
Langit tak menanggapi, ia mengangsur map ke arah Darren.
“Kontrak yang lo minta. Udah lengkap. Lo bisa cek.”
Darren membuka map sekilas, lalu menutupnya lagi, “Oke. Gue tanda tangan nanti. Hari ini kepala gue penuh.”
Langit melipat tangan di dada, “Gue cuma penasaran, lo nikah beneran? Nggak sekedar mainan baru?”
Darren terkekeh pelan, “Beda, Lang. Ini bukan cewek party-an. Bukan yang biasa lo lihat nemenin gue di klub. Dia … polos.”
Langit menyipitkan mata. Sesuatu dalam nada bicara Darren terdengar aneh.
“Polos?”
“Iya. Beda. Gue bahkan belum nyentuh dia.”
Langit tidak bisa menahan tawa kecil, “Lo? Nggak nyentuh cewek yang lo bilang mau lo nikahin? Jangan bercanda, Ren.”
Darren menatapnya lurus, “Lo bakal ngerti sendiri nanti.”
Langit tidak membalas. Ia tahu siapa Darren. Ia tahu saat pria itu menyebut sesuatu yang ‘berbeda’ maka ada permainan yang lebih rumit di baliknya.
*****
Rinjani berdiri di depan elevator, mengeratkan lagi outer rajut yang ia pakai, mengatur napas yang mulai sesak. Hotel ini sangat mewah, sangat asing dan sangat dekat dengan luka yang baru saja ia dapatkan semalam.
Tangannya bergetar saat menyentuh tombol. Saat pintu terbuka, ia naik, lalu berjalan menyusuri koridor dengan langkah ragu. Salah satu pria sudah menunggunya di depan sebuah kamar.
“Nona Rinjani?”
“Iya.”
“Silakan masuk. Tuan Darren sudah menunggu.”
Saat ia melangkah masuk, pintu langsung tertutup dan terdengar bunyi kunci diputar dari luar.
Ruangan itu sunyi.
Seorang pria yang berdiri membelakanginya, memandang ke luar jendela, setelan jasnya rapi, aromanya mahal. Ia berbalik perlahan, menatap Rinjani dengan mata gelap yang mengintimidasi.
“Ingin bersenang-senang dulu, atau langsung ke inti pembicaraan kita?”