Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Jeffrie Nova
Udara pecah sebelum mereka sempat menyentuh tanah tempat pria itu berdiri.
Ignisthal mengayunkan lidah api besar seperti cambuk neraka, membelah tanah dengan semburan yang melelehkan batu. Chronodein memutar waktu di sekelilingnya, membekukannya dalam kapsul kecepatan yang memutar balik reaksi. Sanguira meluncur seperti aliran darah liar, pisaunya diarahkan langsung ke jantung pria itu—tiga kekuatan, tiga arah, satu niat: membunuh.
Namun yang mereka hadapi bukan manusia biasa.
Pria itu hanya melangkah sekali. Langkah yang tampak lambat—seolah ia sedang berjalan di taman, bukan medan maut—tapi dalam langkah itu, ruang di sekitarnya mendesak mundur.
Ledakan api milik Ignisthal membentur dinding tak kasatmata dan meledak ke belakang, menyapu dirinya sendiri dalam kobaran liar. Tubuhnya terbakar, ia menjerit, tapi sebelum sempat melepaskan api berikutnya, sebuah pancaran putih menembus tubuhnya dari depan ke belakang. Bukan tombak. Bukan pedang. Tapi cahaya itu sendiri yang menusuk.
Satu jatuh.
Chronodein melihat kematian itu, dan waktu di sekelilingnya runtuh dalam kepanikan. Ia mengaktifkan Distorsi Lapisan Ganda, memecah ruang dalam pola yang membuatnya tak tersentuh dalam dua dimensi berbeda. Tapi pria itu mengangkat tangannya sedikit—sekilas seperti tak berarti—dan dunia membelah. Distorsi pecah, waktu mencicit seperti rantai tua yang dipaksa patah. Chronodein terpaku, dan hanya sempat melihat bayangan putih menyentuh dahinya sebelum semuanya hilang. Kepalanya retak dari dalam—senyap, sempurna, dan fatal.
Dua jatuh.
Sanguira tidak berhenti. Bahkan ketika tubuh rekannya hancur, ia menerobos ke depan, lebih cepat dari kilat, pisaunya menusuk dengan racun dari lima generasi pengorbanan. Ia berusaha menusuk leher pria itu—titik lemah siapa pun.
Tapi pisau itu berhenti satu jengkal di depan kulitnya.
Seolah ditahan oleh kehendak tak terlihat. Lalu perlahan, jari pria itu menyentuh pisau itu—hanya ujung jari.
Pisau itu membusuk. Tidak terbakar. Tidak hancur. Tapi membusuk seperti daging mati. Racun di dalamnya mendidih, dan tangan Sanguira ikut terurai dalam cairan hitam pekat. Ia mundur, menjerit, tapi cahaya dari mata pria itu menghentikannya di tengah langkah. Tubuhnya menggigil, dan tiba-tiba... membeku dalam posisi setengah jatuh.
Tiga jatuh.
Semua terjadi dalam hitungan detik.
Tidak ada teriakan kemenangan. Tidak ada sorak sorai. Hanya satu pria berdiri di tengah kehancuran, dikelilingi tubuh-tubuh mati yang sebelumnya tak terkalahkan.
Dan di ujung pandangnya, Maelon masih terduduk—tercengang, terdiam, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya... tidak sendirian.
Langkah pria itu menyentuh tanah dengan ritme yang konstan, setiap jejaknya bergema dalam kehampaan yang baru saja ditinggalkan oleh maut. Debu dan bau darah belum sempat reda, namun udara sudah berubah. Tidak lagi dipenuhi desakan kekuatan mematikan—melainkan sesuatu yang anehnya lebih berat: ketenangan setelah kehancuran.
Maelon masih terduduk. Nafasnya tersengal, luka-luka di tubuhnya terbuka seperti akar terbakar yang menolak mati. Darah mengalir dari sela bibirnya, dan tangannya gemetar, mencoba tetap menggenggam tombak yang hampir patah. Ia tak lagi memiliki kekuatan untuk berdiri.
Pria itu berhenti di hadapannya, lalu menunduk sedikit. Suaranya lembut, seperti angin malam yang menyusup dari celah tembok panti yang pernah mengurung Maelon di masa kecilnya.
“Kau terlihat sangat buruk,” ucapnya, dengan nada seolah sedang menyapa teman lama yang terjatuh di jalan. “Sebelumnya aku belum sempat memperkenalkan namaku.”
Ia merogoh dari balik jubahnya—tak tergesa, tak penuh gaya, hanya gerakan yang sederhana namun terkontrol. Dari dalam kain gelap yang seolah menyerap cahaya, ia mengeluarkan sebuah botol kecil berbentuk seperti kristal yang telah dilapisi lumut waktu. Cairan di dalamnya berkilau samar, bukan cahaya biasa, tapi seperti denyut pelan dari sesuatu yang pernah hidup.
“Namaku Jeffrie Nova,” katanya pelan. “Tapi kau bisa memanggilku... Jeff.”
Ia mengulurkan ramuan itu ke Maelon, menggenggamnya di depan tanpa memaksa. “Minum ini. Ramuan dari Herbal Heart—tumbuhan yang dulunya hanya menyembuhkan, tapi kini telah tercemar oleh kekuatan Doctrina. Tak semua racun mencemari, Maelon. Kadang... ia memperkuat.”
Maelon memandang botol itu, ragu. Namun rasa sakit di dadanya seperti mengerti lebih dulu. Ia mengambilnya dengan tangan gemetar, dan menenggak perlahan. Cairan itu terasa hangat, namun menusuk—seperti bara yang tak membakar, tapi membangkitkan. Dalam sekejap, nyeri yang membutakan di tulangnya mereda. Tidak hilang sepenuhnya, tapi cukup untuk membuatnya bisa bernapas tanpa merasa akan mati di tiap helaan.
Di sisi lain, ketiga korban yang sebelumnya hanya diam seperti patung penderitaan, akhirnya bergerak.
Mereka masih gemetar, tubuh mereka masih dirundung luka dan kurus seperti ranting mati. Tapi ketika Jeff menunduk dan membantu Maelon perlahan berdiri, satu di antara mereka—seorang wanita dengan bibir pecah dan mata cekung penuh luka masa lalu—merangkak pelan ke arah mereka.
Tubuhnya bergetar, tapi ia memaksa lututnya menempel tanah, lalu menunduk dalam. Bersujud. Seolah sesuatu dalam dirinya—yang lama terkubur oleh rasa tak berharga dan kehancuran—akhirnya berani menyebut satu kata yang tak pernah mereka izinkan untuk hidup: harapan.
"Terima kasih..." bisiknya, lebih mirip nafas daripada suara. Tapi cukup untuk mengguncang senyap yang menyelimuti reruntuhan.
Untuk pertama kalinya, penderitaan mereka didengar. Dan Maelon—meski tubuhnya penuh luka dan matanya masih samar menatap dunia—telah menjadi alasan mereka untuk tidak sepenuhnya hilang.
Jeffrie Nova memandangi mereka satu per satu. Wajah-wajah yang digurat penderitaan, kulit yang telah kehilangan warna sehatnya, mata yang hanya tahu cara melihat ke bawah—semuanya menatapnya dengan ragu, seperti hewan kecil yang telah terlalu sering disiksa dan kini tak tahu bagaimana caranya percaya. Angin malam yang lembab menyapu rambut dan jubah Jeffrie, tapi ia tetap berdiri tegak, dengan ketenangan yang tak dibuat-buat. Bibirnya melengkung kecil, bukan senyum penuh kemenangan, melainkan senyum hangat yang terlalu asing bagi orang-orang yang telah lama kehilangan tempat untuk pulang.
“Apakah kalian memiliki tempat tinggal?” tanyanya pelan.
Tiga kepala itu menggeleng perlahan, hampir bersamaan. Bukan karena mereka saling tahu jawaban masing-masing, tapi karena mereka semua tahu apa arti kehilangan. Rumah bukan lagi tempat—ia telah menjadi lubang yang tak bisa mereka kembali isi.
Jeffrie menanggapi dengan anggukan kecil, seolah memang telah menduga jawabannya. “Bagus,” ucapnya, nadanya tetap tenang namun membawa gema perubahan. “Ikutlah denganku.”
Ia lalu menoleh ke arah Maelon. Cahaya di mata pria itu tampak redup namun masih penuh arti. “Ayo, Maelon. Jaga mereka.”
Maelon, yang masih menahan nyeri di kakinya, berdiri perlahan. Tubuhnya belum pulih sepenuhnya, tapi ia tak berkata apa-apa. Hanya anggukan singkat dan langkah perlahan, menyusul Jeffrie yang sudah mulai berjalan menuju pintu besar pabrik terbengkalai itu. Ketiga orang yang nyaris menjadi tumbal itu saling memandang, lalu mengikuti, masih dengan langkah ragu, seperti mimpi yang terlalu nyata untuk dipercaya.
Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong karat yang berlumur jelaga dan darah. Bau logam dan debu masih menggantung, namun sesuatu dalam udara telah berubah. Tak ada lagi rasa dicekam. Hanya suara langkah-langkah pelan di atas lantai beton retak dan bayangan lampu malam yang menerobos dari sela dinding pecah. Pintu besar itu terbuka perlahan, dan dunia luar menyambut mereka bukan dengan teriakan atau tawa—melainkan dengan keheningan langit malam yang tenang.
Di luar, reruntuhan pabrik itu berdiri bagai tengkorak masa lalu yang sudah terlalu lama ditinggalkan, namun di balik puing dan sisa api yang tak lagi menyala... ada jalan. Jalan menuju sesuatu yang belum mereka pahami—belum mereka yakini—tapi cukup untuk mereka langkahi.
Bersama.