Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merajut
Selesai sarapan, Mistiza masih duduk lemas di kursinya ketika Richard menghampiri dengan langkah teratur. Pria itu membungkuk sedikit, menjaga jarak dengan sopan, lalu berkata dengan nada hormat namun tak memberikan ruang untuk penolakan, "Tuan Andreas menghendaki Anda untuk berjemur di taman belakang selepas makan. Udara pagi ini baik untuk kesehatan Anda."
Mistiza mengangguk lemah, tidak berani membantah. Ia berdiri perlahan, tubuhnya masih terasa berat, namun ia memaksakan diri untuk berjalan mengikuti Richard. Mereka melewati koridor panjang dengan jendela-jendela besar yang membiarkan cahaya matahari pagi menerobos masuk, menciptakan gurat-gurat cahaya di lantai marmer yang berkilauan.
Begitu tiba di taman belakang, pemandangan yang tersaji sungguh menenangkan. Taman itu luas, penuh dengan berbagai jenis bunga yang tertata rapi, air mancur kecil di tengahnya memancurkan air dengan suara gemericik lembut. Di sudut taman, beberapa pelayan wanita sibuk bekerja; ada yang menyapu jalan setapak dari batu alam, ada pula yang menyirami tanaman dengan hati-hati.
Richard menunjuk sebuah kursi panjang berukir indah yang terletak di bawah naungan pohon flamboyan besar. "Silakan duduk di sana, Nona. Nikmati sinar matahari pagi," ucapnya, kemudian membungkuk sebelum kembali ke tugasnya yang lain.
Mistiza melangkah perlahan menuju kursi itu. Ia duduk, membiarkan sinar matahari hangat menyentuh kulitnya yang pucat. Ia memejamkan mata sejenak, meresapi kehangatan yang perlahan mengusir kedinginan yang selama ini membungkus tubuh dan hatinya.
Meski suasana taman begitu damai, perasaan terkurung tetap menghantui pikirannya. Ia sadar betul bahwa kebebasan yang ia rasakan saat ini hanyalah semu. Di balik keramahan para pelayan dan keindahan taman, ada tembok-tembok tinggi dan pengawasan ketat yang tidak kasat mata.
Namun anehnya, para pelayan memperlakukannya dengan hormat, seolah-olah Mistiza adalah bagian penting dari rumah itu. Tidak ada satu pun yang berani berbicara kasar atau menunjukkan sikap merendahkan. Mereka menunduk sopan setiap kali melewatinya, dan bekerja dalam diam tanpa mengganggu ketenangannya.
Mistiza membuka matanya perlahan, memandang seorang pelayan wanita muda yang tengah menyiram bunga di dekatnya. Perempuan itu sempat meliriknya dan tersenyum kecil sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. Ada ketulusan dalam senyuman itu, namun juga rasa takut yang samar.
Ia menarik napas panjang. Keberadaan Andreas Wilton di rumah ini sungguh luar biasa dominan. Satu sosok itu cukup untuk menciptakan suasana mencekam di seluruh penjuru mansion, cukup untuk membuat semua orang berhati-hati dalam setiap gerakan dan kata-kata mereka.
Sambil menikmati kehangatan sinar matahari yang menyapu lembut kulitnya, Mistiza membiarkan dirinya larut dalam ketenangan yang langka. Sesekali, aroma bunga mawar yang tertiup angin menguar, menambah damai suasana taman itu. Ia memejamkan mata, berusaha menghapus bayang-bayang peristiwa mencekam yang baru saja ia alami di ruang makan.
Namun tidak lama kemudian, gerakan samar di sudut matanya menarik perhatiannya. Mistiza membuka mata dan menoleh perlahan. Ia melihat seorang pelayan wanita duduk di atas rumput, tidak jauh dari tempatnya berada. Pelayan itu tampak tenggelam dalam kesibukan, jari-jemarinya lincah memainkan jarum dan benang berwarna biru tua.
Rasa penasaran perlahan mengalahkan rasa enggan dalam diri Mistiza. Ia berdiri dari kursi panjang, merapikan gaunnya, lalu melangkah pelan mendekati pelayan tersebut. Rumput yang masih basah oleh embun pagi terasa dingin di bawah telapak kakinya, namun ia tidak memedulikannya.
Ketika jaraknya sudah cukup dekat, Mistiza berhenti dan berbicara dengan suara pelan, menjaga agar tidak mengagetkan si pelayan, "Maaf, bolehkah aku tahu apa yang sedang kau lakukan?"
Pelayan itu, seorang wanita muda dengan rambut kecokelatan yang dikuncir rapi, segera meletakkan pekerjaannya di pangkuan dan bangkit berdiri sambil membungkuk hormat.
"Mohon maaf, Nona," katanya sopan, suaranya lembut. "Saya sedang merajut syal untuk persiapan musim dingin nanti. Ini memang kebiasaan yang saya lakukan sejak dulu."
Mistiza mengangguk perlahan, rasa ingin tahunya semakin bertambah. Ia memperhatikan hasil rajutan yang masih setengah jadi itu; polanya rapi dan warnanya indah. Benang biru tua yang digunakan tampak lembut dan hangat.
"Kau yang membuatnya sendiri?" tanya Mistiza lagi, matanya berbinar kecil.
"Iya, Nona," jawab pelayan itu sambil tersenyum ramah. "Saya sudah belajar merajut sejak remaja. Ibu saya yang mengajarkannya. Kegiatan ini membantu saya menenangkan pikiran dan mengisi waktu luang."
Mendengar itu, Mistiza diam sejenak. Ada rasa iri kecil yang tumbuh dalam hatinya—betapa beruntungnya wanita ini, bisa menemukan ketenangan dalam kegiatan sederhana seperti itu.
Setelah ragu sesaat, Mistiza akhirnya berkata, "Bolehkah aku belajar? Aku... aku memiliki banyak waktu luang sekarang, dan mungkin, merajut bisa membantuku juga."
Pelayan itu tampak sedikit terkejut, namun segera wajahnya berseri. Ia membungkuk lagi, kali ini lebih dalam, menunjukkan rasa hormatnya.
"Tentu saja, Nona. Akan menjadi kehormatan bagi saya untuk mengajari anda," jawabnya dengan sungguh-sungguh.
Pelayan itu mengambil sedikit tempat di atas rumput, menepuk tanah di sebelahnya, mengisyaratkan agar Mistiza duduk. Mistiza mengikuti tanpa banyak pikir, melipat gaunnya agar tidak terlalu kotor oleh tanah dan duduk bersila.
Dengan telaten, pelayan itu menunjukkan alat-alat dasar yang dibawanya: sepasang jarum rajut dari kayu halus dan gulungan benang tebal yang tampak sangat nyaman disentuh. Ia menjelaskan dasar-dasar merajut, mulai dari bagaimana memegang jarum dengan benar, cara membuat simpul pertama, hingga bagaimana membentuk pola rajutan sederhana.
Mistiza memperhatikan dengan seksama. Ia menerima sepasang jarum cadangan dan seutas benang, lalu meniru gerakan tangan pelayan itu dengan hati-hati. Awalnya, jemarinya kaku dan gerakannya canggung. Jarum sering kali meleset, benang tersangkut, dan simpul-simpulnya tidak serapi milik pelayan itu.
Pelayan itu tersenyum sabar setiap kali Mistiza melakukan kesalahan. Ia membimbing tangan Mistiza dengan lembut, memperbaiki posisi jarum, dan menunjukkan teknik yang lebih mudah dipahami.
"Jangan terburu-buru, Nona," katanya lembut. "Merajut membutuhkan kesabaran. Semakin anda menikmati prosesnya, semakin indah hasilnya."
Perlahan-lahan, Mistiza mulai menemukan ritmenya. Tangannya masih gemetar sesekali, namun simpul-simpul kecil mulai terbentuk, menciptakan jalinan benang yang sederhana namun utuh.
Sinar matahari pagi terus menghangatkan punggung mereka. Di kejauhan, burung-burung kecil berkicau di antara pepohonan, menambah damai suasana taman itu. Di tengah gemuruh ketakutan yang membayangi kehidupannya, Mistiza menemukan setitik ketenangan dalam belajar merajut.
Mereka berbincang sedikit di sela-sela belajar. Pelayan itu memperkenalkan dirinya sebagai Clara, seorang pelayan yang telah bekerja di kediaman Andreas Wilton selama hampir lima tahun. Clara bercerita bahwa meskipun Andreas tampak dingin dan menakutkan, ia adalah majikan yang adil selama peraturan rumah dipatuhi.
Mistiza mendengarkan dengan penuh perhatian, menyimpan setiap informasi dalam hatinya.
Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Hasil rajutan Mistiza memang belum seberapa, namun Clara memberinya pujian tulus.
"Untuk pemula, hasil anda sudah sangat bagus, Nona," kata Clara sambil tersenyum.
Mistiza tersenyum tipis, hatinya sedikit hangat oleh kata-kata itu. Sudah lama sekali sejak ada yang memujinya dengan ketulusan seperti itu.
Tepat saat Mistiza hendak mencoba membuat barisan baru dalam rajutannya, suara langkah kaki mendekat di jalan setapak berbatu. Richard datang, berhenti beberapa langkah dari tempat mereka duduk.
Dengan membungkuk hormat, ia berkata, "Maaf telah menganggu waktu anda, tetapi anda harus masuk kembali ke dalam kamar, waktu anda sudah diluar”
Seketika tatapan Mistiza berubah sendu, baru saja dia menikmati kegiatannya bersama pelayan, waktunya untuk beraktivitas diluar kamar telah usai, dan dia harus kembali ke ruangan yang mengurungnya seharian.
Melihat ekspresi Mistiza yang lesu membuat Clara ikut sedih, dia paham apa betul yang dirasakan wanita di sampingnya ini.
“Kalau anda mau, anda boleh mengambil alat rajut itu Nona”
Mistiza langsung menoleh ke arah sang pelayan, matanya berbinar ketika mendengar perkataan tersebut.
“Yang benar? Kau tidak masalah jika aku membawanya ke kamar?” Dan dianggukkan oleh Clara.
“Tentu, Nona”
“Terimakasih, Clara! Aku akan menyelesaikan syal rajut mu”
“Anda boleh mengambil syal nya untuk anda” namun Mistiza langsung menggeleng.
“Jangan, ini punyamu. Aku hanya ingin merajut supaya tidak bosan, nanti setelah selesai aku akan mengembalikannya padamu”
“Baiklah kalau Nona ingin seperti itu” ucap sang pelayan pasrah.
Akhirnya Mistiza kembali ke kamar membawa mainan yang bisa membuat kejenuhannya sedikit berkurang.
come cari tau masa sekelas anda yg power full ga bisa kan ga lucu