Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 Terpaksa Naik Bus
Ammar sangat terkejut dengan tawaran Rudi. Ia tidak menyangka, Rudi akan menawarkan sesuatu di luar dugaannya. Padahal pengakuannya sebagai suami hanya untuk melindungi Naya dari jeratan Sang preman. Mengapa jadi dianggap serius?
"Pak maaf, saya... saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Ini terlalu cepat." Ammar menjawab dengan terbata-bata.
Ammar merasa tawaran Ayah Naya terlalu mendadak dan tidak terduga. Dia tidak bisa memutuskan hal yang sangat penting bagi hidupnya itu sendirian. Ia harus membicarakan hal tersebut dengan kedua orang tuanya.
Naya pun ikut terkejut dengan tawaran Ayahnya. Kalau tawaran Ayahnya diterima, bagaimana dengan kekasihnya yang jauh di sana? Yang tentunya masih berharap hubungannya akan baik-baik saja.
"Tapi Yah?" Naya mencoba untuk protes.
"Sudah jangan tentang Ayah. Kamu butuh perlindungan. Ayah tidak bisa berada di sampingmu setiap hari. Kalau kamu sudah menikah, ayah merasa tenang."
"Tapi Yah, bagaimana dengan Mas Reno?"
Ia hanya sekedar mengingatkan bahwa dirinya merasa masih ada hubungan dengan kekasihnya, walaupun sudah lama tidak ada beritanya.
"Dengar! Sampai saat ini tidak ada kabar dari Reno. Sudah hampir 2 tahun tidak ada berita. Kamu masih mau menunggunya? Jangan bodoh. Kamu harus menikah dengan Ammar yang sudah menolongmu, yang sudah melindungimu."
"Tapi Naya belum kenal Ammar Yah,"
"Dengan seiring berjalannya waktu, kalian pasti akan saling mengenal dan saling mencintai. Ayah melihat ada kebaikan di hati Nak Ammar," ujar Ayahnya begitu mantap dengan pilihannya.
"Nak Ammar, kamu sekarang tinggal di mana?"
"Saya ngontrak di dekat SMP Negeri di kota ini."
"Kamu ngajar di sana?"
"Iya Pak, saya baru saja diangkat P3K di sana."
"Nah kalau begitu tidak ada alasan lagi. Pekerjaanmu sudah cukup untuk mengarungi rumah tangga bersama putri saya. Tidak ada penolakan lagi. Silakan bawa kedua orang tuamu untuk melamar anakku!" titah Rudi.
Tiba-tiba...lamunan itu terhenti manakala terdengar suara gedoran pintu dari luar. Naya terhenyak suara itu terdengar keras sekali.
Tok
Tok
Tok
"Ammar...Ammar...buka pintunya!"
Suara itu terdengar memekakkan telinga. Naya membukanya dengan perlahan. Terlihat seorang wanita paruh baya sedang berkacak pinggang.
"Aku tidak peduli suamimu seorang guru! Aku hanya mau, tunggakan kontrakan yang belum dibayar harus lunas hari ini!"
"Maaf Bu. Nunggu Mas Ammar pulang ya!"
"Tidak bisa! Enak saja, bisa-bisa aku dibohongi lagi gegara kalian mudik duluan. Sebelum mudik bayar dulu kontrakannya. Aku engga mau kejadian tahun lalu terulang lagi, paham!" ujarnya dengan sorot mata yang tajam.
"Bu maaf. Walaupun kami telat bayar tapi pada akhirnya lunas, bukan?"
"Itu dulu. Sekarang tidak bisa begitu. Ingat bayar dulu baru mudik!" hardiknya.
"Iya...iya, aku bayar sekarang!" ujar Naya pada akhirnya mengalah juga.
Naya beranjak menuju kamarnya. Dia mengambil uang yang seharusnya ia gunakan untuk menyewa mobil, untuk bisa mudik tahun ini. Tapi harus kandas. Ia harus rela berdesakan dengan penumpang lain di dalam bus.
"Ini ya bu. Jadi lunas tidak ada tunggakan lagi," Naya menyerahkan uang 1 juta untuk melunasi kontrakannya.
Sekarang Naya sudah mengarungi rumah tangga bersama Ammar hampir dua tahun. Dan kini Naya sedang hamil besar.
Sejak menikah, penampilan Naya berubah. Dia berpakaian lebih sopan, memakai gamis hampir setiap hari. Dia tidak lagi bekerja. Dia menjadi ibu rumah tangga yang patuh pada suaminya, karena Ammar selalu menunjukkan cinta kasihnya yang membuatnya merasa ada di atas awan.
"Mas tadi yang punya kontrakan nangih. Dia tidak sabar ingin segera dilunasi. Jadi terpaksa deh uang buat nyewa mobil dipake bayar kontrakan." kata Naya begitu Ammar pulang dari sekolah.
Mereka rencananya sepulang sekolah mau berangkat mudik.
"Ya sudah tidak apa-apa. Maaf ya tahun ini kita mudiknya naik bus. Semoga si utun baik-baik saja," Ammar mengusap perut Naya yang semakin membesar.
Naya tidak bisa berbuat apa-apa. Ia menerima keputusan Ammar karena keadaan.
Mereka pun berangkat ke terminal dengan menggunakan angkot. Senyum Ammar selalu tersungging di bibirnya.
Sesampainya di terminal, Naya hanya bergeming menatap bus warna ungu yang hampir penuh. Ia merasa tidak yakin untuk menaiki bus tersebut.
"Mas yakin akan naik bus ini? Sudah penuh lho Mas," Naya merasa ragu untuk naik bus tersebut.
Ammar tersenyum, "Mau gimana lagi, Sayang. Tidak ada bus lain selain ini. Akan ada lagi jam lima sore. Bisa-bisa kita kemalaman sampai sana. Kita harus cepat sebelum tempat duduk yang kosong itu diduduki orang lain!" Netranya masih melihat ke atas untuk memastikan jok yang kosong.
Ammar menarik tangan Naya dengan pelan, "Nah duduk sini ya! Biar Mas yang berdiri,"
Naya menggeserkan badannya memberikan ruang buat Ammar, "Sini Mas duduk, lumayan dikit juga. Yang penting nempel, jadi engga usah berdiri," ujar Naya berusaha berbagi tempat duduk.
"Ga usah Sayang. Biar Mas berdiri saja. Biar sambil jagain kamu," tolak Ammar sambil memegang tiang dalam bus.
"Tapi Mas. Akan sangat berbahaya kalau Mas tetap berdiri. Lagi pula jarak tujuan kita masih jauh," ujar Naya mengingatkan.
"Engga apa-apa Sayang. Nanti kan ada penumpang yang turun di Kalideres, jadi Mas bisa duduk dekat kamu juga," Ammar masih pada pendiriannya.
Naya mendengus kesal. Untuk kesekian kalinya Ammar tidak mengindahkan ucapannya.
Ammar dengan terpaksa naik bus tersebut karena memang tidak ada lagi bus yang menuju tempat kelahirannya.
Bus berjalan lambat. Walau penumpang sudah penuh, kernet bus tersebut masih menarik penumpang lain.
Kernet terlihat turun, masih menawarkan mobilnya pada penumpang yang benar-benar sangat ingin secepatnya sampai ke kampung halaman.
Kernet kembali naik setelah memasukkan beberapa penumpang. Pintu bagian depan sudah ditutup, karena sudah melebihi kapasitas. Sementara pintu belakang masih terbuka,
"Pir...mau taro di mana penumpangnya? Ini sudah penuh lho!" protes salah satu penumpang yang ikut berdesakan di dalam bus tersebut.
"Ampun deh, memangnya kita ikan teri apa, dioven begini?" protes penumpang lainnya sambil mengipas badannya yang mulai kegerahan.
"Eh Net, kamu bisa lihat tidak? Di dalam sudah sesak. Masa mau nambah penumpang lagi, dasar engga punya hati!"
"Protes sama sopirnya bu, jangan ke saya. Saya cuma jalanin tugas," kilah kernet beralasan.
"Kamu dong yang kasih tahu ke sopirnya, jangan diem aja kayak kebo!" titah penumpang lain sewot.
Kernet hanya tertawa. Ia masih saja mengangkut penumpang yang akan turun di Kalideres. Memang hanya bus tersebut yang terkenal sangat terjangkau ongkosnya.
Makin lama bus yang mereka tumpangi semakin penuh. Sehingga bus terasa sesak dan sumpek.
Bagai ikan teri yang dioven, para penumpang yang duduk saling berdesakan, bahkan ada yang berdiri di lorong bus. Ammar yang berdiri di dekat pintu belakang, merasa tidak nyaman dengan keadaan bus yang seperti ini. Dia khawatir bus akan kehilangan kendali dan menyebabkan kecelakaan.