Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 Ammar Kecelakaan
"Ck...kalau Mas menggombal terus, lantas kapan kita akan berangkat? Nanti keburu panas. Mending kalau engga puasa. Lah ini kan kita lagi puasa, Mas. Yuk berangkat sekarang aja!"
Ammar melihat jam dinding yang ada di dalam kamar, sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB. Ia lalu menggendong tas ranselnya.
"Oke kita berangkat sekarang ya! Sini Mas bawakan tasnya. Kamu engga usah bawa yang berat-berat," Ammar menyambar tas besar yang dibawa istrinya.
Naya tersenyum bangga melihat suaminya mengerti dengan kondisinya saat ini. Apalagi saat suaminya menautkan jemari tangannya, dia merasa sentuhan kasih sayang yang mendalam.
"Aku akan selalu menjagamu dan anak kita," kata Ammar sambil menatap Naya dengan mata yang penuh cinta.
Naya merasa hatinya terasa hangat dan aman, dia tahu bahwa suaminya akan selalu ada untuknya dan anak mereka. Dia membalas senyum suaminya dan menekan jemari tangannya lebih erat, merasakan kebersamaan dan kasih sayang yang tak terhingga.
Mereka pun berangkat ke terminal dengan menggunakan angkot. Senyum Ammar selalu tersungging di bibirnya.
Sesampainya di terminal, Naya hanya bergeming menatap bus warna ungu yang hampir penuh. Ia merasa tidak yakin untuk menaiki bus tersebut.
"Mas yakin akan naik bus ini? Sudah penuh lho Mas," Naya merasa ragu untuk naik bus tersebut.
Ammar tersenyum, "Mau gimana lagi, Sayang. Tidak ada bus lain selain ini. Akan ada lagi jam lima sore. Bisa-bisa kita kemalaman sampai sana. Kita harus cepat sebelum tempat duduk yang kosong itu diduduki orang lain!" Netranya masih melihat ke atas untuk memastikan jok yang kosong.
Ammar menarik tangan Naya dengan pelan, "Nah duduk sini ya! Biar Mas yang berdiri,"
Naya menggeserkan badannya memberikan ruang buat Ammar, "Sini Mas duduk, lumayan dikit juga. Yang penting nempel, jadi engga usah berdiri," ujar Naya berusaha berbagi tempat duduk.
"Ga usah Sayang. Biar Mas berdiri saja. Biar sambil jagain kamu," tolak Ammar sambil memegang tiang dalam bus.
"Tapi Mas. Akan sangat berbahaya kalau Mas tetap berdiri. Lagi pula jarak tujuan kita masih jauh," ujar Naya mengingatkan.
"Engga apa-apa Sayang. Nanti kan ada penumpang yang turun di Kalideres, jadi Mas bisa duduk dekat kamu juga," Ammar masih pada pendiriannya.
Naya mendengus kesal. Untuk kesekian kalinya Ammar tidak mengindahkan ucapannya.
Ammar dengan terpaksa naik bus tersebut karena memang tidak ada lagi bus yang menuju tempat kelahirannya.
Bus berjalan lambat. Walau penumpang sudah penuh, kernet bus tersebut masih menarik penumpang lain agar bisa naik.
Kernet terlihat turun, masih menawarkan mobilnya pada penumpang yang benar-benar sangat ingin secepatnya sampai ke kampung halaman.
Kernet kembali naik setelah memasukkan beberapa penumpang. Pintu bagian depan sudah ditutup, karena sudah melebihi kapasitas. Sementara pintu belakang masih terbuka,
"Pir...mau taro di mana penumpangnya? Ini sudah penuh lho!" protes salah satu penumpang yang ikut berdesakan di dalam bus tersebut.
"Ampun deh, memangnya kita ikan teri apa, dioven begini?" protes penumpang lainnya sambil mengipas badannya yang mulai kegerahan.
"Eh Net, kamu bisa lihat tidak? Di dalam sudah sesak. Masa mau nambah penumpang lagi, dasar engga punya hati!"
"Protes sama sopirnya bu, jangan ke saya. Saya cuma jalanin tugas," kilah kernet beralasan.
"Kamu dong yang kasih tahu ke sopirnya, jangan diem aja kayak kebo!" titah penumpang lain sewot.
Kernet hanya tertawa. Ia masih saja mengangkut penumpang yang akan turun di Kalideres. Memang hanya bus tersebut yang terkenal sangat terjangkau ongkosnya.
Makin lama bus yang mereka tumpangi semakin penuh. Sehingga bus terasa sesak dan sumpek.
Bagai ikan teri yang dioven, para penumpang yang duduk saling berdesakan, bahkan ada yang berdiri di lorong bus. Ammar yang berdiri di dekat pintu belakang, merasa tidak nyaman dengan keadaan bus yang seperti ini. Dia khawatir bus akan kehilangan kendali dan menyebabkan kecelakaan.
Ammar mencoba untuk berpindah ke tempat yang lebih aman sambil mencarikan tempat duduk lainnya buat Naya, tapi tidak ada tempat yang tersedia. Dia hanya bisa berdoa agar bus dapat sampai tujuan dengan selamat.
"Net ayo cepat berangkat, bilangin tuh sopirnya! Jangan narik penumpang terus. Ini udah kayak dioven tahu!" protes Ammar datar.
Kernet itu hanya tertawa. Mereka sama sekali tidak terlihat khawatir atas kondisi bus tersebut.
Kernet menutup pintu bus setelah melihat kapasitas mobil sudah terpenuhi sesuai keinginan mereka. Mobil melaju pelan saat akan melintasi pintu tol, dan kernet mulai menghitung uang tiket dari penumpang.
Sopir bus juga mulai merasa lebih santai, karena mobil sudah penuh dan mereka bisa mulai mengantarkan penumpang ke tujuan. Sopir memasang handsetnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah melewati pintu tol, sopir membawa mobil dengan kecepatan sedang, namun tidak berlangsung lama. Pada akhirnya bus tersebut melaju dengan kecepatan tinggi. Mereka dibuat terombang-ambing di bawah kendali seorang sopir yang mengendarai bus dengan arogan. Hal ini membuat para penumpang teriak histeris. Mereka merasa khawatir terjadi kecelakaan.
"Hey Pir, pelan-pelan napa bawa mobilnya! Kalau mau mati jangan ngajak-ngajak kita!" salah satu penumpang mulai protes.
"Pir...aku ga mau mati sekarang. Aku belum kawin woy!" gertak pemuda yang memakai kaos abu-abu.
"Net, kasih tahu itu sopirnya. Jangan diam aja! Dari tadi cuma ketawa ga jelas! Kamu engga khawatir apa, dengan keselamatan para penumpang! Jiwa kami terancam gegara tuh sopir!" gertak seorang ibu-ibu yang tidak kedengaran oleh si kernet, apa lagi sama sopir. Ibu-ibu tersebut duduk dekat dengan Naya.
"Jangan-jangan sopirnya lagi mabok!" ujar yang lain.
"Dasar sopir edun. Nyupir kok seenaknya sendiri,"
Kernet dan sopir sama saja tidak mengindahkan ucapan penumpang. Mereka terus melakukan tindakan yang membahayakan keselamatan penumpang, seperti mengemudi dengan kecepatan tinggi dan tidak memperhatikan kondisi jalan. Kernet dan sopir lebih memprioritaskan keuntungan dan waktu tempuh yang cepat, daripada keselamatan penumpang. Hal ini membuat penumpang merasa tidak nyaman dan khawatir tentang keselamatan mereka.
Hampir semua penumpang berkomentar di dalam bus. Membuat Ammar jengah. Tiba-tiba kepala Ammar terasa berat, tubuhnya lemas. Ia merasakan sakit yang pernah ia rasakan sebelumnya. Dadanya sesak, keringat dingin mengucur di punggung dan keningnya. Ammar menekan kepalanya, menyandar di bahu jok yang Naya duduki.
"Mas mau ke mana?" tanya Naya yang melihat Ammar beranjak dari tempat berdirinya menuju kernet.
"Mau ngasih tau kernet biar bisa memberi peringatan sama sopir!" ujarnya sambil menekan kepalanya yang terasa berat.
Tiba-tiba, bus melakukan pengereman mendadak, membuat penumpang terjatuh ke depan.
Lalu melaju kembali dengan sangat kencang, sehingga....