Leo XII, Raja Kejahatan Dunia, adalah sosok yang ditakuti oleh banyak orang, seorang penguasa yang mengukir kekuasaan dengan darah dan teror. Namun, ironisnya, kematiannya sama sekali tidak sesuai dengan keagungan namanya. Baginya, itu adalah akhir yang memalukan.
Mati karena murka para dewa? Sungguh lelucon tragis, namun itulah yang terjadi. Dalam detik-detik terakhirnya, dengan sisa kekuatannya, Leo XII berusaha melawan takdir. Usahanya memang berhasil—ia selamat dari kematian absolut. Tapi harga yang harus dibayarnya mahal: Leo XII tetap mati, dalam arti tertentu.
Kini ia terlahir kembali sebagai Leon Dominique, dengan tubuh baru dan kehidupan baru. Tapi apakah jiwa sang Raja Kejahatan akan berubah? Akankah Leon Dominique menjadi sosok yang lebih baik, atau malah menjelma menjadi ancaman yang lebih mengerikan?
Satu hal yang pasti, kisahnya baru saja dimulai kembali!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan
Di tengah hutan yang masih perawan, suara aliran sungai mengalun lembut, menciptakan harmoni yang menenangkan. Pepohonan menjulang tinggi, melindungi tanah dengan kanopi dedaunan hijau yang berbisik pelan, seolah menjaga rahasia alam yang belum tersentuh oleh tangan manusia. Burung-burung berkicau di kejauhan, melengkapi melodi liar yang indah.
Di bawah salah satu pohon tua dengan akar yang mencuat dari tanah, seorang pria muda bersandar tenang. Matanya tertutup, wajahnya memancarkan ketenangan sempurna, seperti jiwa yang telah berdamai dengan dunia. Namun, keheningan itu tidak bertahan lama.
Mata pria itu tiba-tiba terbuka, tatapannya penuh keterkejutan. Napasnya tertahan sejenak saat dia memindai sekeliling, matanya mengamati setiap detail dengan tajam, seperti seorang prajurit yang terbangun di medan perang yang asing.
"Apakah aku berhasil?" gumamnya pelan, menatap kedua tangannya dengan intensitas yang sulit dijelaskan.
Setelah beberapa saat, sebuah senyuman merekah di wajahnya—senyuman lebar penuh kemenangan dan kepuasan yang mendalam. "Split Soul… taruhan gilaku akhirnya membuahkan hasil," desisnya.
Dia bangkit perlahan, tubuhnya bergerak dengan ringan dan penuh percaya diri. Langkah kakinya membawa dia menuju tepi sungai yang berkilauan di bawah sinar matahari yang menyelinap di antara dedaunan. Dia menunduk, memandang refleksi wajahnya di permukaan air yang jernih.
"Wajah ini..." dia bergumam, jarinya menyentuh dagunya melalui pantulan. "Masih setampan seperti sebelumnya. Syukurlah," lanjutnya, tawa kecil keluar dari bibirnya, penuh dengan rasa puas yang hampir narsistik.
Dia memiringkan kepala, matanya menyipit tajam menatap refleksinya, mencoba memahami situasinya. "Apakah ini reinkarnasi? Tidak… aku tidak memulai dari bayi. Tubuh ini jelas tubuh muda. Transmigrasi, mungkin?"
Dengan rasa penasaran, dia mulai memeriksa tubuh barunya, memperhatikan setiap detail. Tidak ada luka atau bekas yang mencurigakan, tubuh itu sempurna. Namun, di dadanya, sebuah nama tercetak di kain bajunya: Leon Dominique.
"Leon Dominique," ulangnya pelan, nadanya datar, namun penuh pemikiran. "Jadi, ini nama tubuh ini?"
Dia menyeringai, ekspresinya berubah licik. Pikirannya berputar liar, seperti roda gigi yang kembali bergerak setelah sekian lama. "Dahulu aku adalah Leo XII, sang Raja Kejahatan Dunia. Namun sekarang, aku adalah Leon Dominique." Dia terdiam sesaat, senyuman di wajahnya kian lebar. "Dunia baru, tubuh baru... mungkin ini kesempatan untuk memulai segalanya dari awal. Atau, barangkali… untuk merusaknya lagi."
Tanpa ragu, dia mulai berjalan mengikuti aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Langkah-langkahnya tidak tergesa, namun ada kekuatan yang tersirat dalam setiap pijakannya, seolah dunia ini miliknya untuk dijelajahi.
"Jika alam semesta memberiku kesempatan kedua, maka aku akan menggunakannya dengan cara yang hanya aku tahu," katanya, suaranya penuh tekad, meski diselingi sedikit ironi. Dengan pandangan tajam ke depan, Leon Dominique—atau mungkin Leo XII yang terlahir kembali—menghilang di antara pepohonan, meninggalkan hutan dengan suara aliran sungai yang terus bernyanyi seperti menyimpan rahasia keabadian.
.
.
.
Leon melangkah perlahan, mengikuti jalan setapak yang ia temukan di tepi sungai. Jalan itu ramai oleh lalu lalang kereta kuda, suara roda yang berderak dan derap kaki kuda bergema di udara. Namun, tidak seorang pun memperhatikan dirinya, seolah ia hanyalah bayangan di tengah keramaian.
Tanpa tujuan jelas, Leo membiarkan langkah kakinya dituntun oleh jalan yang terus memanjang di depannya. Setelah beberapa waktu, jalan itu membawanya ke padang rumput yang luas. Angin berembus lembut, membawa aroma rumput segar. Namun pemandangan damai itu segera terganggu oleh keributan di kejauhan.
Leon menghentikan langkahnya, matanya menyipit ketika melihat sekelompok bandit tengah mencegat sebuah kereta kuda. Kereta itu telah berubah menjadi rongsokan, pecah dan berserakan di tanah. Kudanya lenyap entah ke mana. Sekelompok bandit yang berjumlah dua puluh orang mengepung tiga sosok di tengah: seorang wanita cantik dengan gaun indah dan dua pria bersenjata lengkap mengenakan zirah besi.
Bandit-bandit itu tertawa menjijikkan, menjilat bibir mereka seperti serigala lapar.
"Hei, lihat wanita ini! Malam ini akan menjadi malam yang menyenangkan!" seru salah satu dari mereka, matanya memindai tubuh wanita itu dengan rakus.
"Siapa cepat, dia dapat!" sahut yang lain sambil mengacungkan pedangnya.
Leo berdiri di kejauhan, menyandarkan tubuhnya pada pohon. Matanya tajam, penuh rasa ingin tahu. Dia memutuskan untuk mengamati tanpa campur tangan, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis.
Dua pria bersenjata itu berdiri di depan wanita tersebut, mencoba melindunginya dari serangan bandit.
"Jangan khawatir, Nyonya," ucap salah satu dari mereka. "Kami akan melindungi Anda!"
Wanita itu mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih... Aku serahkan segalanya pada kalian."
Namun, keberanian mereka hanya bertahan sekejap. Dalam waktu kurang dari satu menit, kedua kesatria itu jatuh tersungkur, darah mengalir di tanah. Bandit-bandit itu bersorak, dengan cepat mengalihkan perhatian mereka ke wanita yang kini berdiri tanpa perlindungan.
"Hahaha! Akulah yang pertama!" seru salah satu bandit, melangkah mendekati wanita itu. Tangannya terulur, siap menangkap mangsanya.
Wanita itu menjerit pelan, melindungi tubuhnya dengan kedua tangan. "Tidak... Jangan!"
Namun, ketika tangan bandit itu hampir menyentuhnya, sesuatu yang mengerikan terjadi. Seketika, tangan yang terulur itu terpotong bersih, terbang di udara sebelum jatuh ke tanah. Dalam sekejap, tubuh bandit tersebut meledak menjadi kabut darah, meninggalkan tanah yang berlumuran merah.
Kerumunan bandit terdiam. Mereka mundur beberapa langkah, saling berpandangan dengan wajah penuh ketakutan.
"Apa yang terjadi?!" teriak salah satu dari mereka.
Wanita itu mengangkat wajahnya perlahan. Ekspresinya berubah total—tidak ada lagi ketakutan. Hanya ada senyuman dingin yang menghiasi bibirnya, sementara matanya menatap mereka dengan pandangan penuh jijik. Dia menguraikan rambut panjangnya dengan gerakan angkuh.
"Makhluk rendahan," katanya, suaranya tenang namun menggema seperti petir. "Kepala kalian terlalu tinggi. Berlututlah."
Seolah dikendalikan oleh kekuatan yang tidak terlihat, tubuh para bandit itu merosot ke tanah. Mereka berlutut dalam ketakutan, wajah mereka berubah pucat seperti mayat.
"Maafkan kami!" salah satu dari mereka memohon.
"Kami salah! Tolong ampuni kami!" yang lain ikut meratap.
Wanita itu mendengus, ekspresinya tetap dingin. "Lucu sekali. Di mana keberanian rendahan kalian yang tadi?"
Dia melangkah perlahan di antara mereka, seolah berjalan di atas tubuh-tubuh yang tak bernyawa. "Tapi aku tidak punya waktu untuk main-main dengan kalian," lanjutnya, mengibaskan tangan. "Enyahlah. Kalian tak berharga di mataku."
Tanpa pikir panjang, para bandit itu bangkit dan melarikan diri. Namun, mereka hanya sempat berlari beberapa langkah sebelum tubuh mereka meledak satu per satu, meninggalkan kabut darah yang menyelimuti padang rumput.
Leon yang mengamati dari kejauhan tersenyum tipis.