NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:112
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3: PROYEK TAKDIR

Meeting berlangsung selama dua jam penuh. Laura mempresentasikan konsep Green Valley Residence dengan sempurna—seperti biasa. Setiap slide, setiap angka, setiap detail teknis dia sampaikan dengan jelas dan percaya diri.

Tapi di dalam dadanya, jantungnya berteriak.

Setiap kali Julian bertanya, Laura harus menatap matanya. Setiap kali Julian berbicara, suaranya yang dalam itu menggema di telinga Laura seperti lagu yang sudah lama dia rindukan. Dan setiap kali Julian menggerakkan tangannya untuk menunjuk dokumen, Laura harus memaksa dirinya untuk fokus pada dokumen itu, bukan pada jari-jari panjangnya yang menekan stylus dengan presisi.

"Sistem keamanan berlapis tiga," jelas Laura, menunjuk pada diagram di layar proyektor. "Perimeter pertama adalah pagar elektrik dengan sensor gerak. Kedua, CCTV dengan teknologi pengenalan wajah di setiap sudut kompleks. Ketiga, pos keamanan di setiap cluster dengan personel terlatih dua puluh empat jam."

Julian mengangguk perlahan, matanya menyipit sedikit—tanda dia sedang berpikir keras. "Berapa jumlah unit rumah?"

"Seratus lima puluh unit. Terbagi dalam lima cluster."

"Akses masuk?"

"Satu pintu utama, satu pintu samping untuk servis dan emergency."

Julian bertukar pandang dengan pria berkacamata di sampingnya—Adrian, Kepala Operasional Sentinel. Mereka berbisik sebentar.

Laura memanfaatkan jeda itu untuk menarik napas. Tangannya yang memegang laser pointer sedikit berkeringat. Dia letakkan di meja, berharap tidak ada yang menyadari tangannya gemetar.

"Kami tertarik," ujar Julian akhirnya, kembali menatap Laura. "Tapi kami perlu survei lokasi terlebih dahulu. Mengecek medan, titik rawan, jalur evakuasi. Standard procedure kami."

Pak Widodo tersenyum lebar. "Tentu, tentu! Laura bisa mengatur jadwal survei. Kapan Anda bisa, Pak Julian?"

Julian membuka tablet-nya, mengecek jadwal. "Besok sore. Jam tiga."

"Besok?" Laura tidak sengaja bersuara, terlalu cepat.

Semua mata menatapnya. Laura menegang.

"Ada masalah, Miss Laura?" Julian menaikkan alis, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca.

"Tidak... tidak ada." Laura memaksa senyum. "Besok sore tidak masalah. Saya akan mengatur semuanya."

Bohong. Besok sore Laura ada presentasi dengan investor lain. Tapi dia tidak akan mengatakan itu. Tidak di depan Pak Widodo yang sudah menatapnya dengan mata berbinar—tanda bahwa proyek ini sangat penting.

"Bagus." Julian menutup tablet-nya. "Kami akan kirim tim teknis juga. Tolong siapkan blueprint lengkap dan data geologi area tersebut."

"Siap." Laura mencatat dengan cepat di laptopnya, meski otaknya sedang kalut menghitung bagaimana dia bisa mengatur ulang seluruh jadwal besok.

Meeting berakhir dengan jabat tangan formal. Saat tangan Julian menyentuh tangannya lagi—singkat, profesional—Laura merasa seluruh kulitnya terbakar. Dia harus menggunakan seluruh kontrol dirinya untuk tidak bereaksi.

"Sampai besok, Miss Laura," ujar Julian dengan nada datar sebelum berbalik pergi bersama timnya.

Laura berdiri di sana, menatap pintu yang baru saja tertutup.

"Luar biasa, Laura!" Pak Widodo menepuk bahunya dengan antusias. "Sentinel Security Services itu perusahaan papan atas! Kalau kita bisa kerja sama dengan mereka, kredibilitas Green Valley akan naik drastis. Investor pasti berbondong-bondong!"

"Terima kasih, Pak," jawab Laura otomatis, masih setengah sadar.

"Kamu tidak apa-apa?" Pak Widodo menatapnya dengan sedikit khawatir. "Kelihatannya pucat."

"Saya baik-baik saja, Pak. Hanya... belum sarapan tadi pagi."

"Kalau begitu makan dulu sana! Jangan sampai sakit. Besok kamu yang harus handle mereka."

Laura mengangguk dan bergegas keluar dari ruang meeting. Begitu dia sampai di koridor yang sepi, dia bersandar di dinding dan memejamkan mata.

Besok. Dia harus bertemu Julian lagi besok.

Dan bukan hanya bertemu singkat di meeting room. Tapi survei lokasi. Berjam-jam di lokasi proyek. Berdua—atau setidaknya dalam tim kecil.

Bagaimana dia bisa bertahan?

"Mbak Laura?"

Laura membuka mata. Dina, resepsionis tadi, berjalan mendekat dengan amplop cokelat besar.

"Ini dari Sentinel Security Services. Baru diantar kurir mereka. Katanya dokumen kontrak kerja sama dan NDA yang harus Mbak tanda tangani sebelum survei besok."

Laura menerima amplop itu dengan tangan yang masih sedikit gemetar. "Terima kasih, Dina."

Kembali ke kantornya, Laura menutup pintu dan langsung ambruk di kursinya. Dia membuka amplop tersebut. Di dalamnya ada kontrak kerja sama standar, Non-Disclosure Agreement, dan sebuah kartu nama.

Kartu nama Julian Mahardika.

Laura menatap kartu itu. Huruf-huruf emboss emas di atas kertas tebal berwarna hitam. Nama Julian tercetak jelas. Nomor telepon kantornya. Email korporat.

Jari Laura menyentuh kartu itu perlahan, menelusuri nama Julian seolah itu adalah sesuatu yang berharga. Pathetis, dia tahu. Tapi dia tidak bisa menghentikan dirinya.

Ponselnya berdering. Nia.

Laura mengangkat. "Halo?"

"Lau, kamu tidak apa-apa? Suaramu aneh."

Tentu saja Nia bisa mendengarnya. Sahabat sepuluh tahun tidak pernah bisa dibohongi.

"Nia..." Laura menarik napas panjang. "Aku... aku baru saja meeting dengan Julian."

Hening di seberang.

Lalu, "WHAT?!"

Laura menjauhkan ponsel dari telinga, mengernyit saat teriakan Nia nyaris memekakkan telinganya.

"Bagaimana bisa?! Maksudku—kenapa?! Di mana?! Laura Christina, jelaskan sekarang juga!"

Dan Laura menceritakan semuanya. Pertemuan di lift. Meeting tadi. Proyek Green Valley. Survei besok.

Saat dia selesai, Nia terdiam cukup lama.

"Kamu tahu apa artinya ini, kan?" ujar Nia pelan. "Ini bukan kebetulan, Lau. Ini... ini seperti takdir memaksamu untuk menghadapi perasaanmu."

"Atau takdir menyiksaku," jawab Laura pahit.

"Dengar," suara Nia menjadi serius. "Aku tahu ini berat. Tapi ini juga kesempatan. Kesempatan untuk akhirnya... bergerak. Entah maju atau mundur. Kamu tidak bisa selamanya terjebak di tengah seperti ini."

Laura tahu Nia benar. Tapi mengetahui sesuatu itu benar dan benar-benar melakukannya adalah dua hal yang sangat berbeda.

"Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukan ini, Ni," bisik Laura.

"Kamu bisa. Kamu Laura Christina yang aku kenal. Kamu kuat. Kamu sudah bertahan sepuluh tahun. Kamu pasti bisa bertahan lebih lama lagi."

Tapi apa Laura mau bertahan lebih lama lagi? Apa dia mau menghabiskan sepuluh tahun lagi mencintai dalam diam?

Setelah menutup telepon, Laura duduk terdiam di kantornya yang sunyi. Sore mulai menjelang. Cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela besar, membentuk pola-pola emas di lantai kayu.

Dia menatap kartu nama Julian yang masih tergeletak di meja.

Mungkin Nia benar. Mungkin ini adalah takdir. Mungkin setelah sepuluh tahun menghindar, alam semesta memutuskan sudah waktunya Laura menghadapi perasaannya.

Tapi pertanyaannya: apakah Laura siap?

Dia tidak tahu jawabannya.

Yang dia tahu hanya satu hal: besok sore, dia akan bertemu Julian lagi. Dan entah dia siap atau tidak, dia harus menghadapinya.

Laura mengambil ponselnya dan membuka kalender. Dengan jari yang lebih stabil sekarang, dia mulai mengatur ulang semua jadwalnya untuk besok. Presentasi dengan investor dimajukan ke pagi hari. Meeting tim internal dijadwalkan ulang. Segala sesuatu disusun agar dia bisa pergi survei dengan Julian tanpa terlihat terburu-buru atau tidak profesional.

Karena bagaimanapun sakitnya perasaan Laura, dia tidak akan membiarkan itu merusak profesionalismenya. Dia tidak akan membiarkan Julian—atau siapapun—melihat kelemahannya.

Saat matahari terbenam dan kantor mulai sepi, Laura masih duduk di mejanya. Menatap kartu nama Julian.

Besok, bisiknya pada dirinya sendiri. Besok adalah hari yang baru. Besok aku akan lebih kuat.

Tapi di sudut hatinya yang paling dalam, Laura tahu: tidak peduli seberapa kuat dia berpura-pura, melihat Julian akan selalu menyakitkan.

Karena bagaimana kamu bisa tidak terluka saat orang yang kamu cintai tidak tahu kamu ada?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!