Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Ujian Budak/Bara
Lantai marmer di aula jamuan Solaria berkilau seperti cermin yang memantulkan kemewahan yang memuakkan. Di atas sana, di bawah gantung lampu kristal yang ditenagai oleh mana murni, Lyra Elviana berdiri dengan gaun sutra berwarna biru pucat yang senada dengan warna matanya. Namun, di balik riasan wajahnya yang sempurna, napasnya terasa pendek. Setiap kali ia melihat cairan merah tua di dalam gelas kristal para bangsawan, perutnya mual. Aroma anggur yang wangi itu mendadak berubah di penciumannya menjadi bau karat yang amis dan tajam.
"Kau terlihat pucat, Putriku. Apakah udara di ketinggian ini mulai terasa tipis bagimu?"
Suara itu berat dan penuh otoritas. Valerius Elviana, sang High Lord, berdiri di samping putrinya dengan tatapan yang sulit diartikan. Di tangan kanannya, sebuah tongkat komando perak berkilau, melambangkan kekuasaan yang tak tergoyahkan atas Benua Langit.
Lyra mencoba tersenyum, meski sudut bibirnya bergetar. "Aku hanya butuh sedikit udara segar, Ayah. Jamuan ini... terasa sedikit lebih menyesakkan dari biasanya."
"Itu karena kau terlalu banyak menghabiskan waktu memikirkan hal-hal yang sudah seharusnya kau lupakan," sela sebuah suara yang jauh lebih angkuh.
Pangeran Alaric melangkah maju. Zirah cahayanya yang tipis memancarkan pendaran putih yang menyilaukan, membuat beberapa pelayan Elf di sekitarnya harus menundukkan kepala. Ia mendekati Lyra, lalu tanpa izin, ia meraih tangan kiri Lyra dan mencium punggung tangannya. Sentuhan itu terasa seperti es yang membakar bagi Lyra.
"Pangeran Alaric," sapa Lyra dengan nada sedingin salju di puncak gunung. Ia menarik tangannya sehalus mungkin, namun Alaric sempat memberikan tekanan kecil yang membuat pergelangan tangannya memerah.
"Lyra, kehadiranku di sini bukan sekadar tamu," Alaric berkata dengan senyum yang tidak mencapai matanya. "Aku datang untuk mengonfirmasi bahwa persiapan penyatuan keluarga kita akan segera dimulai. High Council sudah memberikan restunya. Kau tidak ingin membuat mereka kecewa, bukan?"
Di saat yang sama, ribuan mil di bawah kaki mereka, di dalam kegelapan kamp penambangan Sektor 4, Kaelan sedang merangkak di dalam sebuah parit pembuangan air yang bau. Tubuhnya terasa seperti sedang terbakar dari dalam. Setiap kali ia bergerak, tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berderak yang hanya bisa didengar oleh telinganya sendiri. Evolusi Iron Bone yang ia jalani di tepi Celah Void menuntut harga yang mahal: cairan tubuhnya terserap habis untuk mengeraskan struktur kerangka barunya.
"Minum ini, Kaelan. Cepat sebelum penjaga kembali!" Bara berbisik panik. Ia menyodorkan sebuah cawan tua yang retak, berisi air keruh yang diambil dari kubangan rembesan pipa.
Kaelan meraih cawan itu dengan tangan yang gemetar. Kulit di sela-sela jarinya mulai pecah-pecah karena dehidrasi ekstrem. Saat air keruh yang berbau karat itu menyentuh lidahnya, ia merasa seolah sedang menelan cairan logam panas. Namun, ia tidak berhenti. Ia menenggak air itu hingga habis, membiarkan kotoran dan pasir menggores tenggorokannya.
"Lebih banyak... aku butuh lebih banyak air, Bara," bisik Kaelan. Suaranya terdengar seperti gesekan amplas pada kayu.
"Itu air limbah, Kaelan! Kau bisa mati keracunan!" Bara menatap sahabatnya dengan ngeri. "Lihat dirimu, kau bahkan hampir tidak bisa berdiri tegak. Kenapa kita tidak melawan saja? Kau punya kekuatan baru itu sekarang!"
Kaelan mencengkeram lengan Bara. Tenaganya luar biasa kuat meskipun tubuhnya terlihat kurus kering. "Belum saatnya. Jika aku menunjukkan kekuatanku sekarang, Alaric akan tahu bahwa aku masih hidup. Aku harus menjadi budak yang paling tidak berguna di tambang ini... sampai aku benar-benar siap."
Tiba-tiba, suara cambuk yang membelah udara terdengar memekakkan telinga.
CETAR!
"Heh, sampah Terra! Apa yang kalian lakukan di sudut gelap itu? Bermalas-malasan lagi?"
Seorang pengawas tambang bertubuh tambun dengan zirah kulit kasar melangkah mendekat. Di tangannya, sebuah cambuk yang ujungnya dilapisi duri besi berlumuran darah segar. Ia adalah anak buah Alaric yang ditugaskan untuk mengawasi distribusi energi dari daratan.
Kaelan segera menundukkan kepalanya, menyembunyikan kilatan abu-abu di matanya. Ia merosot ke tanah, berpura-pura lemas. "Maaf, Tuan... aku hanya butuh sedikit istirahat. Aku... aku haus."
"Haus? Budak tidak berhak merasa haus!" sang pengawas tertawa kasar. Ia mengangkat cambuknya lagi dan mengayunkannya tepat ke arah punggung Kaelan.
Di aula istana, Lyra mendadak tersentak. Gelas kristal di tangannya bergetar hebat. Rasa panas yang luar biasa menjalar di punggungnya, seolah-olah ada besi membara yang ditekankan ke kulitnya di balik gaun indahnya. Ia memejamkan mata rapat-rapat, giginya terkatup menahan jeritan yang hampir lolos.
"Lyra? Ada apa?" Valerius menatap putrinya dengan kening berkerut.
"Aku... aku hanya sedikit pusing," Lyaric menjawab dengan suara yang tercekik. Ia bisa merasakan setiap hantaman cambuk yang diterima Kaelan di bawah sana melalui resonansi batinnya. Setiap rasa sakit itu adalah pengingat bahwa Kaelan masih hidup, namun juga siksaan yang tak tertahankan bagi jiwanya.
"Pusing atau keberatan dengan lamaranku?" Alaric mendekat, aura Blaze miliknya sedikit meluap, menciptakan tekanan mana yang membuat para bangsawan di sekitar mereka merasa tidak nyaman. "Kau tahu, Lyra, seorang putri harus memiliki ketahanan mental yang kuat. Jika kau terus seperti ini, orang-orang akan menganggapmu tidak layak bersanding denganku."
Lyra membuka matanya. Kilatan ungu gelap dari Cursed Eye miliknya sempat muncul sesaat sebelum ia menekannya kembali. Ia menatap Alaric dengan martabat seorang putri Elf yang tidak akan pernah tunduk.
"Pangeran Alaric," suara Lyra kini terdengar stabil dan tajam. "Lamaran adalah tentang kehormatan, bukan paksaan. Jika kau mengukur kelayakanku hanya dari ketahanan mental dalam sebuah jamuan, mungkin kau sendirilah yang perlu mempertanyakan kelayakanmu sebagai calon suamiku."
Aula itu mendadak sunyi. Beberapa bangsawan Elf saling berbisik. Alaric terdiam, wajahnya yang tampan sedikit memerah karena amarah yang tertahan. Ia tidak menyangka Lyra akan membalasnya secara terang-terangan di depan ayahnya.
Di kamp penambangan, Kaelan menerima cambukan ketiga. Ujung duri besi itu merobek kulit punggungnya, namun hal aneh terjadi. Darah yang keluar hanya sedikit, dan luka itu menutup hampir seketika saat tulang-tulangnya yang padat menyerap rasa sakit tersebut sebagai stimulan energi. Kaelan menggigit bibirnya hingga berdarah, membiarkan dirinya jatuh tersungkur ke dalam lumpur.
"Lihat! Dasar manusia lemah!" sang pengawas meludah ke arah Kaelan. "Besok, pastikan kau menghasilkan dua kali lipat kuota kristal, atau aku akan menggantungmu di depan gerbang tambang!"
Setelah pengawas itu pergi, Bara segera memburu ke arah Kaelan. "Kaelan! Kau baik-baik saja? Punggungmu... lukanya... kenapa bisa begini?"
Kaelan perlahan bangkit dari lumpur. Ia menghapus darah dari sudut mulutnya dengan punggung tangan yang gemetar. Sapu tangan Azure yang ia lilitkan di balik pakaiannya terasa hangat di dadanya.
"Dia tidak tahu, Bara..." Kaelan berbisik, ada sedikit nada kemenangan di suaranya yang parau. "Setiap kali dia mencambukku, dia justru membantu energinya mengalir ke jalur sirkulasiku. Sumsum tulangku... baru saja memproses rasa sakit itu menjadi Spark."
Kaelan mengepalkan tangannya. Percikan energi transparan mulai muncul di sela-sela buku jarinya. Ini adalah Spark Tahap 1. Pencapaian pertama dalam jalur kultivasi Lentera Jiwa di tubuh barunya.
"Lyra juga merasakannya," gumam Kaelan sembari menatap ke arah langit yang tertutup kabut debu. "Dia bertahan di sana untukku. Maka aku tidak boleh kalah di sini."
Bara tertegun melihat perubahan pada diri Kaelan. Meskipun tubuhnya kotor oleh lumpur dan air limbah, aura yang terpancar dari mata abu-abu Kaelan tidak lagi mencerminkan seorang budak. Itu adalah mata seorang predator yang sedang menunggu waktu untuk menerkam.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Bara, suaranya kini penuh rasa hormat.
"Alaric ingin energi dari tambang ini dikirim ke kediamannya dalam dua hari," Kaelan menatap tumpukan kristal energi di sudut kamp. "Kita akan memastikan energi itu tidak pernah sampai kepadanya. Kita akan mencurinya, Bara. Dan kita akan menggunakannya untuk menghancurkan setiap rantai yang mengikat kita."
Malam di Sektor 4 tidak pernah benar-benar gelap. Cahaya pudar dari lampu-lampu mana milik para penjaga yang berpatroli menciptakan bayangan panjang dan distorsi di dinding-dinding batu tambang. Di dalam sebuah barak kayu yang bocor dan berbau apak, Kaelan duduk bersila di atas lantai tanah. Bara berjaga di dekat pintu yang hanya tertutup selembar kain goni, matanya waspada menatap setiap bayangan yang lewat.
"Kau yakin dengan rencana ini, Kaelan? Menjarah pasokan Alaric sama saja dengan menyerahkan leher ke algojo," bisik Bara tanpa menoleh.
"Algojo itu sudah mencoba mengambil leherku berkali-kali, Bara," jawab Kaelan. Ia membuka telapak tangannya. Sebuah getaran halus merambat di permukaan kulitnya, memicu percikan energi transparan yang kini lebih stabil. "Lihat ini. Spark tahap pertama ini membutuhkan asupan energi murni untuk mengeras menjadi struktur Ignition. Kristal di gudang itu bukan sekadar batu; itu adalah kunci untuk kita bisa berdiri tegak."
"Tapi pengawas itu memiliki anjing pelacak mana. Jika satu butir kristal saja berpindah tempat, mereka akan tahu," Bara mengingatkan, suaranya penuh kekhawatiran.
Kaelan menarik sapu tangan Azure dari balik dadanya. Kain itu kini terasa lebih kaku, seolah-olah serat-seratnya telah bermutasi mengikuti kepadatan tulangnya. "Anjing-anjing itu melacak energi mana yang bocor. Mereka tidak bisa melacak energi Void yang sudah diserap oleh sumsum tulangku. Aku akan menelan energi itu, bukan membawanya."
Sementara itu, di puncak Solaria, jamuan makan malam telah berakhir dengan ketegangan yang belum tuntas. Lyra telah mengunci diri di balkon kamarnya, menjauh dari tatapan penuh tuntutan ayahnya dan keangkuhan Alaric. Di tangannya, ia memegang sebuah gelas kecil berisi sisa anggur merah. Ia menatap ke arah kegelapan di bawah, ke arah daratan yang tertutup debu.
"Kau merasakannya juga, kan?" bisik Lyra pada angin malam.
Telapak tangannya yang baru saja ia sayat tadi pagi berdenyut kencang. Melalui resonansi, ia bisa merasakan rasa lapar yang mengerikan dari sisi Kaelan—bukan sekadar lapar akan makanan, tapi lapar akan kekuatan. Ia juga merasakan rasa dingin dari air limbah yang tadi diminum Kaelan, membuat lidahnya terasa pahit meskipun ia baru saja memakan hidangan termewah di Benua Langit.
"Putri Lyra, kau belum tidur?"
Suara Alaric muncul dari bayangan balkon sebelah. Pria itu berdiri di sana dengan pakaian santai, namun pedang cahayanya tetap tergantung di pinggangnya.
"Aku sedang menikmati kesunyian, Pangeran. Sesuatu yang sulit didapatkan saat kau berada di dekatku," sahut Lyra tanpa menoleh.
Alaric terkekeh, suara yang terdengar tajam seperti gesekan logam. "Kau tahu, penolakanmu di aula tadi hanya akan membuatku semakin bersemangat untuk memilikimu. Aku suka tantangan, dan kau adalah tantangan tercantik di Aethelgard."
"Aku bukan piala yang bisa kau menangkan dalam kompetisi, Alaric," Lyra berbalik, matanya berkilat ungu sesaat. "Jika kau berpikir pernikahan ini akan memberimu kendali atas keluarga Elviana, kau salah besar."
"Kita lihat saja nanti," Alaric tersenyum tipis. "Besok, aku akan mengirim utusan ke tambang Sektor 4 untuk mengambil pasokan kristal khusus. Kabarnya, ada beberapa budak baru yang sangat... menarik di sana. Aku akan memastikan mereka bekerja sampai hancur untuk pesta pernikahan kita."
Lyra mencengkeram pagar balkon hingga buku jarinya memutih. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu Alaric sedang memprovokasinya. Pengetahuan bahwa Alaric tahu posisi Kaelan adalah ancaman murni.
Kembali ke kamp penambangan, Kaelan mendadak berdiri. Rasa sesak yang dikirimkan Lyra melalui resonansi membuatnya tahu bahwa waktu mereka sangat terbatas.
"Bara, kita bergerak sekarang," perintah Kaelan tegas.
"Sekarang? Tapi penjaga sedang berganti shift!"
"Justru itu celahnya. Mereka terlalu sibuk menghitung jumlah budak, bukan memeriksa integritas gudang bawah tanah," Kaelan melangkah keluar barak dengan gerakan yang sangat senyap, nyaris seperti bayangan yang menyatu dengan kegelapan.
Mereka menyelinap di antara tumpukan alat tambang yang rusak. Kaelan menggunakan insting barunya untuk merasakan aliran energi mana di udara. Ia bisa melihat benang-benang tipis energi yang menghubungkan sensor-sensor keamanan di sekitar gudang. Bagi orang biasa, benang ini tak terlihat, namun bagi pemilik Iron Bone yang peka terhadap fluktuasi Void, benang itu tampak seperti jerat yang harus dihindari.
Di depan pintu gudang, seorang penjaga sedang terkantuk-kantuk menyandarkan punggungnya pada dinding batu. Kaelan mendekat tanpa suara. Dengan satu gerakan cepat, ia menekan titik syaraf di leher penjaga itu menggunakan dua jari yang diperkuat Spark. Tanpa suara, penjaga itu jatuh pingsan dalam pelukan Kaelan.
"Masuk," bisik Kaelan pada Bara.
Di dalam gudang, peti-peti kayu berisi kristal mana bertumpuk rapi. Cahaya biru dari kristal-kristal itu menerangi ruangan dengan pendaran yang mistis. Bara segera membuka salah satu peti, matanya terbelalak melihat kekayaan energi di depannya.
"Satu peti ini cukup untuk memberi makan satu desa di Terra selama setahun!" seru Bara pelan.
"Jangan ambil fisiknya. Kita tidak bisa membawanya keluar tanpa terdeteksi," Kaelan meletakkan tangannya di atas tumpukan kristal murni tersebut.
Ia memejamkan mata. Sumsum tulang di lengannya mulai bergetar hebat. Jalur sirkulasi Spark tahap pertama miliknya terbuka lebar, menciptakan daya hisap vakum yang hanya menyasar energi murni di dalam kristal. Perlahan, warna biru cerah pada kristal-kristal itu mulai memudar, berubah menjadi abu-abu kusam saat esensi energinya ditarik paksa masuk ke dalam tubuh Kaelan.
Di istana, Lyra mendadak terjatuh di balkon. Ia merasakan ledakan energi yang luar biasa panas mengalir masuk ke dalam jiwanya. Napasnya tersengal, dan kulitnya mulai memancarkan cahaya perak samar.
"Kaelan... apa yang kau lakukan?" rintih Lyra. Ia merasa seolah-olah tubuhnya sedang dipompa oleh kekuatan yang terlalu besar untuk ia tampung.
Di gudang tambang, Kaelan mengerang rendah. Otot-ototnya membesar, dan retakan di kulit punggungnya akibat cambukan tadi benar-benar lenyap, digantikan oleh permukaan kulit yang tampak sekeras baja namun tetap fleksibel. Kapak penambang tumpul yang ia bawa di pinggangnya mendadak bergetar hebat. Kaelan meraih kapak itu, dan secara tidak sadar, ia menyalurkan sisa energi yang meluap ke dalamnya.
Kapak yang tadinya berkarat itu kini memiliki garis perak yang tajam di ujungnya. Ini bukan lagi sekadar alat tambang; ini adalah senjata yang telah dibaptis oleh energi Spark.
"Sudah cukup. Kita harus pergi sebelum sensor utama menyadari penurunan kadar energi di ruangan ini," Kaelan menarik tangannya. Separuh dari isi peti itu kini telah menjadi batu tak berguna.
Mereka keluar dari gudang tepat saat sirene mana mulai berdengung di kejauhan. Kaelan menatap kapak di tangannya, lalu menatap ke arah Benua Langit yang tertutup awan.
"Ujian ini baru dimulai, Bara," Kaelan berkata dengan nada yang sangat tenang, namun penuh dengan ancaman yang mematikan. "Besok, saat Alaric menyadari kristalnya telah mati, dia akan tahu bahwa ada predator yang sedang mengintai di bawah kakinya."
Kaelan berjalan kembali ke barak, meninggalkan kekacauan yang akan meledak saat matahari terbit. Di tangannya, sapu tangan Azure milik Lyra kini benar-benar telah menyatu dengan energinya, menjadi bagian dari identitas barunya yang tidak akan pernah bisa dihancurkan lagi.