NovelToon NovelToon
Warm Life

Warm Life

Status: sedang berlangsung
Genre:Tamat / Wanita Karir
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ariadna Vespera

Farah adalah seorang psikolog muda yang energik dan penuh dedikasi. Setiap pagi dimulai dengan keceriaan, berinteraksi dengan penjaga gedung sebelum menuju tempat kerjanya di lantai enam. Sebagai seorang psikolog yang sudah berpraktik selama empat tahun, Farah menemukan kebahagiaan dalam mendengarkan dan berbagi tawa bersama pasien-pasiennya.

Pada suatu hari, saat makan siang, Farah mendengar kabar bahwa ada seorang psikiater baru yang bergabung di rumah sakit tempatnya bekerja. Jantungnya berdebar-debar, berharap bahwa psikiater baru tersebut adalah kakaknya yang telah lama tak ia temui. Di tengah-tengah rasa penasaran dan kekecewaannya karena belum mendapat kepastian, Farah bertemu dengan seorang pria misterius di kantin. Pria itu, seorang dokter psikiater dengan penampilan rapi dan ramah, membuat Farah penasaran setelah pertemuan singkat mereka.

Apakah pria itu akan berperan penting dalam kehidupannya? Dan apakah akhirnya Farah akan menemukan kakaknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ariadna Vespera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 2

Jalan di pinggir bukit itu terasa sangat sepi, seakan menjadi tempat yang terlalu sunyi untuk sebuah jalan besar. Hujan yang turun perlahan-lahan membuat udara semakin dingin, dan tangan Farah mulai gemetar karena kedinginan.

Pria yang duduk di samping Farah segera menyadari keadaan tersebut. Dengan lembut, dia meraih tangan Farah yang berada di sisi lain dan mulai menggosok tangan mereka secara bersamaan, berusaha untuk menghangatkannya.

“Apakah itu membaik?” tanya pria itu, suaranya penuh perhatian.

Farah merasakan kehangatan dari tangan pria itu dan mengangguk perlahan. “Ya, terima kasih,” jawabnya dengan nada lembut, merasa lebih nyaman dan hangat.

Mereka tetap duduk di sana dalam keheningan, berbagi kehangatan di tengah dinginnya malam. Suasana yang tadinya tampak menakutkan kini terasa lebih damai, berkat perhatian dan kebaikan pria itu. Farah merasakan rasa syukur dan kedekatan yang mendalam, menjadikan momen ini sebagai pengalaman yang menghangatkan hati.

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Farah dan pria itu melihat sebuah tempat pengisian minyak. Dengan semangat, mereka bergegas ke sana. Pria itu bertanya kepada penjaga tempat tersebut apakah dia bisa meminjam pengisi daya ponsel, dan penjaga itu dengan ramah mengizinkannya, sambil menyarankan agar mereka membersihkan diri dan beristirahat sejenak.

Setelah mendapatkan izin, Farah dan pria itu membersihkan tubuh mereka dari lumpur dan kotoran yang menempel. Mereka merasa lebih nyaman setelah membersihkan diri dan beristirahat sebentar.

Farah akhirnya memutuskan untuk menanyakan sesuatu yang penting. "Nama Anda siapa?" tanyanya dengan nada penasaran saat mereka sedang bersiap untuk melanjutkan perjalanan atau sekadar bersantai sejenak.

“Tidak perlu terlalu formal, namaku Ruel,” jawab pria itu dengan santai. Setelah memperkenalkan diri, Ruel pergi untuk meminjam selimut dari penjaga tempat pengisian minyak.

Sementara itu, ponsel Farah berbunyi. Ternyata, itu adalah panggilan dari ibunya. Farah melirik layar ponselnya dan memutuskan untuk tidak menjawabnya saat ini.

Ruel kembali dan melihat Farah sedang menatap ponselnya. "Kenapa tidak diangkat?" tanyanya dengan nada penasaran.

Farah hanya tersenyum, tidak memberikan jawaban langsung. Ruel merasakan ada sesuatu yang tidak diungkapkan, namun dia memilih untuk tidak memaksakan diri.

“Aku akan pergi sekarang. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi,” kata Ruel dengan nada lembut. “Terima kasih untuk hari ini,” tambahnya sebelum dia mulai berjalan pergi.

Farah merasa sedikit sedih karena perpisahan ini, namun dia menghargai momen yang telah mereka habiskan bersama. Dia mengangguk, memberi salam perpisahan, dan melihat Ruel menjauh sambil merasakan rasa syukur dan kehangatan dari pertemuan singkat mereka.

Ruel kembali dengan selimut yang berhasil dipinjamnya dari penjaga. Dia membungkus diri dengan selimut itu dan mulai berjalan kaki meninggalkan tempat pengisian minyak. Langkah demi langkah, Ruel semakin menjauh, dan Farah hanya bisa berdiri di tempat, menatap kepergiannya hingga bayangannya menghilang dari pandangan.

Setelah beberapa saat, Farah akhirnya mengangkat telepon dari ibunya. “Bunda, tolong jemput aku di tempat pengisian minyak di jalan besar pinggir bukit,” ucap Farah dengan nada yang penuh harapan.

Saat telepon ditutup, Farah memikirkan pertemuan yang baru saja terjadi. Ini adalah awal dari sebuah kisah yang tak terduga, dan Farah merasa momen tersebut akan selalu dikenang sebagai pengalaman yang spesial.

Kembali ke masa kini, Farah dan Iplan berhenti di depan sebuah tempat makan sederhana. Iplan segera turun dari mobil dan mengajak Farah masuk ke dalam restoran kecil itu.

“Aku paling suka ash reshtehnya di sini,” ucap Iplan dengan antusias, sambil memandu Farah ke meja mereka.

Mereka memesan ash reshteh, sup khas Iran yang terkenal, bersama dengan air mineral sebagai minumannya. Farah menikmati makanannya dengan lahap, merasa kagum dengan rasa yang baru dan menyegarkan itu.

Iplan, yang juga tampak menikmati makanannya, bertanya, “Bagaimana, enakkan?” Farah menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar, dan mengakui bahwa rasanya memang sangat lezat.

Setelah selesai makan, Iplan membayar tagihan dan segera beranjak pergi tanpa berpamitan lebih dulu. Farah merasa bingung dan sedikit terabaikan, terutama setelah Iplan menghilang dari pandangannya tanpa memberi penjelasan. Dia menunggu lebih dari setengah jam, memeriksa jam tangannya dan mengamati sekeliling, berharap Iplan akan kembali. Namun, kehadirannya tidak juga tampak.

Farah merasa bingung dan sedikit marah, berpikir bahwa dia mungkin baru saja ditipu oleh pria yang baru saja dia temui. Dengan perasaan campur aduk, dia berdiri dan menuju kasir untuk membayar makanan mereka, berharap bisa memperbaiki situasi.

Namun, saat dia sampai di kasir, dia mendapati bahwa Iplan sudah membayar semua tagihan mereka. Melihat itu, rasa marah dan kecurigaannya mulai mereda. Farah merasa sedikit malu karena sebelumnya telah berpikir negatif tentang Iplan.

“Maaf, aku sudah berpikir yang tidak baik tentangmu, Iplan,” gumam Farah, sambil tersenyum kepada kasir dan keluar dari restoran dengan perasaan yang campur aduk.

Dia merasa lega mengetahui bahwa Iplan masih memiliki niat baik, dan pengalaman tersebut menjadi pelajaran tentang pentingnya memberi kesempatan pada orang lain dan tidak cepat menilai seseorang hanya berdasarkan kesan pertama.

Setelah pulang dari restoran, Farah masuk ke mobilnya dan kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, dia mengetuk pintu dengan lembut.

Begitu pintu terbuka, ibunya muncul dengan ekspresi khawatir dan sedikit marah. "Dari mana saja kamu?" tanyanya, meskipun dia sudah tahu siapa yang datang.

Farah tersenyum dan menjawab, "Masih ingat punya rumah yah! Bunda kira udah lupa."

"Ini masih jam sembilan," sahut Farah, mencoba menjelaskan sambil merasa sedikit geli dengan reaksi ibunya.

Ibunya memandang Farah dengan campuran rasa khawatir dan relief, akhirnya mendukung Farah masuk ke rumah sambil membahas apa yang terjadi hari itu.

“Apakah kau bertemu orang aneh lagi? Kalau saja kau mau berusaha lebih keras untuk masuk kedokteran, kau tak akan bertemu orang aneh,” ucap ibunya dengan nada yang campur aduk, mencerminkan kekhawatiran dan kekecewaan.

Farah hanya tersenyum lelah dan melanjutkan langkahnya tanpa menanggapi, menuju kamarnya. Setelah tiba di kamar, dia segera membersihkan tubuhnya dari kotoran dan kelelahan hari itu.

Kemudian, Farah duduk di meja kerjanya, membuka laptop, dan mulai mempersiapkan pekerjaan untuk besok. Meskipun lelah, dia tetap fokus dan berusaha mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, membiarkan pikiran tentang hari itu mengalir perlahan sambil menyelesaikan tugasnya.

Malam semakin larut, dan saat Farah melihat jam dinding, dia menyadari bahwa sudah pukul 11:00 malam. Dengan sedikit rasa lelah, dia mengucapkan terima kasih kepada dirinya sendiri atas kerja keras hari itu, sambil mendekap tubuhnya dalam keheningan malam.

Keesokan paginya, saat matahari mulai muncul, Farah yang sudah rapi bersiap untuk pergi bekerja. Dia menuju ruang makan dan melihat ibunya sedang sibuk di dapur.

“Ayah, tidak pulang ke rumah lagi?” tanya Farah, penasaran tentang keberadaan ayahnya.

Ibunya mengalihkan perhatian dari pekerjaannya dan menjawab, “Belum, Ayah masih ada urusan di luar kota. Dia akan kembali dalam beberapa hari.”

Farah mengangguk, memahami situasi, dan melanjutkan persiapannya untuk memulai hari yang baru.

“Eh, kenapa aku menanyakan hal yang sudah aku ketahui jawabannya,” keluh Farah kepada dirinya sendiri.

Bibi penjaga rumah yang sedang berada di dapur bertanya, “Neng, mau makan apa?”

“Aku akan makan buah saja dengan minum susu hangat. Bunda sudah pergi?” tanya Farah, sambil mengambil tempat di meja makan.

“Iya, Neng. Nyonya sudah pergi sebelum fajar,” jawab Bibi.

Farah mengangguk dan mulai menikmati buah yang ada di hadapannya, sambil merenung. “Lagi-lagi aku menanyakan pertanyaan yang sudah bisa aku jawab sendiri,” gumamnya dalam hati, merasa sedikit geli dengan kebiasaannya yang seperti itu.

Dia melanjutkan sarapannya dengan tenang, berusaha memulai hari dengan pikiran yang lebih fokus dan segar.

Dididik untuk selalu. menjadi yang nomor satu oleh orang tuanya, hidup dalam

tuntutan membuat Farah

tidak bisa menerima kegagalan. Meski pada saat itu

orang tuanya tidak marah. namun, itu tidak mengubah apapun untuk diri.Farah memandang Iplan dengan senyuman penuh arti, merasa sedikit gelisah dan bingung. Dalam hati, dia bergumam, “Kau memang bencana,” merujuk pada kebingungannya dengan situasi ini.

“Hari ini aku ingin nonton di bioskop, sudah lama aku tidak kesana,” ucap Iplan dengan antusias, sambil menarik tangan Farah ke dalam lift.

Farah merasa terkejut dan bingung dengan tingkah laku Iplan. Mereka turun hingga ke lantai dasar, tetapi hanya Iplan yang keluar dari lift. Farah, merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut, menarik paksa genggaman tangan Iplan dari tangannya.

“Kenapa kamu bertindak seperti ini?” Farah bertanya dengan nada heran, sementara dia berdiri di dalam lift, menunggu penjelasan dari Iplan.

Sudah sebulan sejak pertemuan tak terduga antara Farah dan Ruel. “Apakah memang tidak ada kemungkinan aku akan bertemu dengan Ruel lagi?” gumam Farah, meresapi kerinduan dan rasa kecewa yang mengendap di dalam hatinya.

Farah merasa putus asa setelah gagal lolos seleksi jurusan kedokteran dua kali berturut-turut. Seleksi pertama diumumkan sebelum pertemuan dengan Ruel, dan kegagalan itu telah membuatnya sangat stres. Kini, kegagalan kedua hanya menambah beban emosional yang sudah dia rasakan.

Dengan perasaan campur aduk, Farah merenung di kamarnya, mempertanyakan masa depannya dan berharap agar dia dapat menemukan jalan menuju impiannya sambil berharap bahwa nasib baik akan membawanya bertemu dengan Ruel lagi.

Farah dididik untuk selalu menjadi yang nomor satu oleh orang tuanya. Tuntutan yang tinggi dalam hidupnya membuatnya sangat sulit menerima kegagalan. Meskipun orang tuanya tidak marah saat dia gagal, tekanan internal dan ekspektasi yang dia rasakan tidak berubah. Kegagalan dalam seleksi jurusan kedokteran bukan hanya sebuah kemunduran bagi Farah, tetapi juga cerminan dari beban emosional yang dia tanggung akibat tuntutan tinggi yang diterimanya sepanjang hidup.

Ini menciptakan sebuah perjuangan internal yang mendalam, di mana Farah merasa tertekan untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan, dan setiap kegagalan terasa seperti cerminan dari ketidakmampuannya untuk memenuhi ekspektasi tersebut.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!