NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1

Suasana kelas tidak menggugah semangat belajarnya setelah kedua tangan Gita membuka kedua pintu yang menutup.

"Kita bertemu lagi, bau menyedihkan," Gita melihat datar pada bangku-bangku meja berkayu.

Salma bergiliran datang menuju barusan bangku depan. Diikuti Gita di belakangnya, mereka berdua mendapatkan kursi di dekat jendela.

Setidaknya anak itu dapat merasakan semilir angin menyegarkan selama pelajaran membosankan berlangsung.

Tidak ada hal yang bagus selama Gita dan Salma berdua dalam suasana kelas penuh dengan anak-anak sebaya. Ocehan, larian dan larian, serta tawa keras oleh mereka membuat Gita harus selalu menutup kepalanya.

"Berisiknya mereka," Salma melirik sinis ke arah samping.

Gita tidak mendengarkan ulasan temannya, justru memalingkan pandangan menghadap tembok.

"Git, Git," Salma menggoyang pundaknya.

Gita tetap menghiraukan.

"Selalu saja begitu. Guru-guru juga sudah memperingatkan kamu, lho. Jangan sering-sering tidur." Salma menggeleng heran tingkah siswi yang selalu meletakkan kepalanya di atas meja.

Tidak peduli seberapa berisiknya anak lain, tetap saja tidur adalah prioritas utama dalam kehidupan Gita. Sekolah maupun rumah.

Mereka berhenti mengobrol. Ini membuat Salma hanya membaca buku pelajaran sebelum bel sekolah berdering.

Anak sekolah menengah pertama memang tidak diperbolehkan membawa handphone. Sekolah yang memberi peraturan.

Setiap pagi adalah pagi membosankan, terlebih Salma melihat gerakan satu murid datang kepada mereka berdua. "Heh, uang kas," suruh Wulan sebagai bendahara kelas.

Sang bendahara membuka satu buku batik, menunjuk deretan nama sesuai apa yang dilihat sekarang.

Salma meneguk air liur, menahan rasa takut ketika bendahara mencari tau kekurangan dirinya tentang pembayaran kelas.

"Salma... Kamu kurang sepuluh ribu," Wulan mengangkat kepala, menatap wajah satu murid di hadapan.

Salma yang takut melihat wajah seram bendahara kelas, menggerakkan mata ke bawah, mencoba mencari uang yang disebutkan.

"Ini," Salma menyerahkan selembar uang berwarna ungu.

Wulan menarik pemberian. "Nah, begitu dong, tepat waktu." Meletakkan ke sebuah dompet bertulis "subsidi kelas" dan meletakkan pada atas buku berbatik.

Beralih pandangan ke satu anak di samping Salma, Wulan melipat kening. "Bangunin si Gita. Pagi-pagi kok malah tidur. Bilangin suruh bayar kas," suruh Wulan kembali.

Salma yang mengerti, bergeser badan menepuk pundaknya. "Git, bangun Git."

Gita menyingkir tangan yang menyentuh dirinya. "Jangan ganggu," ucapnya selagi melampirkan ke arah lain.

"Bangun, Git. Wulan ada disini."

Gita menahan emosi atas gangguan waktu tidurnya dengan membuka buku tadi, menggerakkan kepala ke atas lagi. "Ada apa sih? Ganggu orang tidur." Sepasang mata berat berusaha ditahan.

"Pagi-pagi masih tidur." Wulan memperhatikan wajah temannya dengan mata yang digaruk. "Uang lima ribu." Dengan nada dipaksakan, Wulan memaksa murid itu untuk segera membayar.

"Astaga, hanya lima ribu saja sampai segitunya," Gita merogoh kantong, mencari barang.

"Uang lima ribu juga berguna," Wulan memberi jawaban.

Gita menyalurkan uang kepada Salma, lalu diserahkan menuju Wulan.

Setelahnya, Wulan memasukkan pada dompet tadi, mencatat perkembangan uang yang selama ini Gita berikan kepada bendahara.

"Untuk apa kamu selalu menagih uang ke semua anak? Di kelas ini juga tidak ada kemajuan. Paling juga digunakan untuk membeli peralatan alat tulis."

Wulan diam sementara untuk mencatat sesuatu, setelah itu melihat satu murid yang terlihat menyinyir keadaan kelas.

"Git," Salma menarik lengan seragam milik Gita.

"Apa?" Gita melirik Salma. "Itu benar, kan?"

"Begitu maumu?" Wulan menghentikan menulis, mendongak melihat perempuan yang jauh dari tempat ia berdiri. "Kalau kalian tidak mau pendingin ruangan, ya itu terserah kalian saja." Akhirnya menaikkan kedua bahu, pertanda tidak peduli.

"Ac, maksudmu?" Gita membangunkan tubuhnya hingga dapat berdiri tegak.

"Ya. Kalau tidak, ya pakai kipas saja. Hemat, kan? Jadi uang kas tidak berkurang, deh."

"Hei, aku hanya bercanda saja, Wul. Kamu tidak bilang sejak awal, sih."

Wulan menatap datar.

"Kapan mau beli?" Kali ini Gita menatap fokus, tidak jadi kembali tidur seperti tadi.

"Secepatnya, kalau kelas ini bisa segera lunas." Wulan meninggalkan kedua temannya, setelah selesai menagih uang tadi.

"Paling juga bohong," Gita kembali menjatuhkan diri. Meletakkan kepala di atas lengan yang dilipatkan di mejanya. Memejam mata.

"Hei, kok malah tidur lagi, sih?" Salma memandang temannya ke aktifitas semula. "Bangun, Git." Salma menggoyangkan tubuh teman di samping bangkunya.

Siswi berseragam putih dengan rok biru, tidak bisa melakukan apa-apa lagi selama anak berkucir rambut bergerak menutup mata.

Jika sudah seperti itu, sulit untuk membangunkan.

Meskipun murid-murid di dalam aktif bersuara lancang dan mengeluarkan suara gaduh, anak perempuan yang tertidur di kelas tidak akan terganggu dengan suara-suara berisik.

Hingga suara bel berbunyi keras, tampaknya tidak ada perubahan yang terjadi.

Dua puluh lima anak dikumpulkan di dalam satu ruangan. Berlari menuju bangku-bangku kursi yang telah lama dipersiapkan. Satu per satu anak bergegas mempersiapkan buku pelajaran yang akan digunakan pada jam pertama hingga terakhir.

Salma melakukan hal yang sama.

Suara langkah sepatu hak tinggi yang ditekan sedikit, menyertai masuk kedalam ruangan kelas.

Semua anak melirik gerakan dari sang guru yang bertugas. Membawa tas kecil, beberapa buku yang tidak muat diletakkan di dalam tas harus ditenteng. Menarik kursi cepat, meletakkan tubuhnya disana.

Salma meneguk air liur dikarenakan rasa cemas, dan takut. Dia mengalihkan pandangan ke temannya yang tidak mau bangun mengikuti pembelajaran di pagi hari.

"Git... Gita. Bangun, Git. Guru Bahasa Inggris sudah datang." Salma berbisik menepuk cepat, selama guru pertama di kelas ini datang melihat anak muridnya.

Karena itulah, kelas yang awalnya ceria, menjadi diam, tegang, dan membisu.

"Pagi, Anak-anak," Bu Indah mengucapkan kalimat pertama kali.

"Pagi, Bu," lirih, dua puluh lima murid menjawab.

"Pagi-pagi kok lemas." Guru pertama diawali dengan mengomentari ucapan anak didiknya. "Baiklah, kita teruskan materi saja." Membuka lembaran buku.

Salma menghela lega, sementara.

"Silahkan untuk menyerahkan buku latihan kemarin. Ibu sudah memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah. Kumpulkan bagi yang merasa sudah selesai."

Anak-anak yang mendengar, bergerak berdiri menuju meja depan. Membawa buku, menumpuk sampai tinggi.

"Git! Bangun, Git," desak Salma menekan suara. "Bu Indah menyuruh kita mengumpulkan tugas." Salma sekali lagi mendesak temannya agar segera bangun.

Seiring waktu berputar, sedikit anak berdiri mengumpulkan, seperti Salma yang berjuang sendiri menuju meja guru.

Bu Indah memulai menghitung jumlah buku yang berhasil diterima.

Anak-anak didik, tidak berbicara lagi. Diam menunduk, setengah lagi menonton gerakan guru mereka selagi sibuk mencatat siapa saja yang sudah mengumpulkan.

"Oke, ibu sudah mencatat siapa saja yang masuk ke dalam buku nilai ibu. Cuma, masih ada satu anak yang belum ada."

Salma menggerakkan kaki-kaki dengan cepat. Mengetahui temannya tidur pada bagian belakang, sekali lagi Salma menepuk keras punggungnya.

"Atas nama..." Bu Indah menunjuk daftar anak-anak di bukunya. "Atas nama Gita Nur Alesha."

Guru Inggris mendongak mengamati di matanya. "Ayo, mana anak yang bernama Gita Nur Alesha."

Salma bergerak panik ketika nama temannya akhirnya dipanggil terakhir.

"Cepat, mana anak itu." Guru mereka semakin menunggu tak sabaran. Melipat tangan, menyender punggung ke bagian sandaran kayu kursi.

Tetapi, guru kami mengalihkan pandangan dengan cepat, karena perhatiannya teralihkan oleh satu murid perempuan yang terlihat menempelkan wajah di atas meja kayu.

Bu Indah membangunkan diri dari sandaran tadi. "Itu, yang lagi tidur disana. Tolong dibangunkan." Jari telunjuk mengarah ke deretan ketiga di dekat tembok.

Salma menengok temannya.

"Ada apa sih, Sal?" Gita bersuara, namun sepasang matanya masih menutup rapat.

Karena tidak ada pergerakan yang muncul, guru kami menekan spidol kearah meja.

Keras suaranya, dan menggelegar.

Gita tersentak bangun. Kaget mendengar suara mengejutkan, seperti bunyi ledakan pada salah satu berita yang pernah ditayangkan di televisi.

"Bangun!" Perempuan berseragam cokelat muda membuka suara tegas. "Bukannya belajar, malah tidur."

"Ma-maaf, Bu." Gita berdiri, menundukkan kepala beberapa kali sebagai rasa permintaan maaf.

"Mana buku tulismu? Ibu mau cek pekerjaan rumah." Bu Indah memberitahu. "Sini. Kumpulan." Telapak tangan yang dibuka-tutup, menandakan bahwa guru itu menunggu hasil pekerjaan muridnya.

"Buku PR, rumah?" Gita menoleh kepada Salma.

"Buku, Git. Buku tulis-mu." Salma berbisik sembari melotot. "Buku Bahasa Inggris."

Gita mencoba mengumpulkan energi, karena tatapan matanya sempat mengalami linglung, membingungkan.

Segera, anak berkucir kuda membalikkan badan, membuka penutup tas, merogoh benda yang sangat dicari sekarang.

Semua orang menunggu gerakan dari salah satu murid bernama Gita, sejak tadi.

Tetapi, semakin dalam Gita mencari benda yang dibutuhkan sekarang, jantungnya berdebar lebih kencang.

"Ayolah, buku. Kamu ada dimana, sih?"

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!