NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 19

Kunci dikembalikan ke ruang TU. Julian, Mahesa, Dirga, dan Nizan keluar terlebih dulu dari gerbang sekolah. Merasa misi mereka sudah selesai. Sementara Artha masih melingkarkan lengannya pada bahu Naira, mengajak gadis itu untuk segera keluar dari sana.

"Kalian ngelompat pagar?" Naira terkejut melihat keempat teman Artha keluar dari sekolahnya dengan melompati pagar. Padahal pagar di sekolahnya didesain menggunakan besi runcing pada bagian atasnya. Melihatnya saja Naira ngeri.

"Nggak ada cara lain buat masuk," kata Artha dengan membungkukkan tubuhnya di bawah pagar.

"Buruan naik!"

"A-apa?" Naira masih bingung dengan apa yang sedang Artha lakukan.

"Lo ngapain jongkok gitu?"

"Ngebantu Io keluar lah! Emangnya untuk apa lagi."

"Tapi...."

"Udah buruan. Lo pengen di sini terus?" kata Artha mulai tak sabar.

"Gue belum pernah manjat pagar sekolah. Gue takut!" Membayangkan bagian yang runcing mengenai dirinya sudah membuat Naira menggeleng ngeri.

"Nggak ada cara lain apa, Ta? Manggil penjaga sekolah, kek?"

Artha menegakkan tubuhnya, lalu dia menarik tangan Naira.

"Lihat itu!" Tangannya menunjuk bagian besi yang patah. Walaupun patah, tetap saja ngeri bagi Naira.

"Lo bisa lewat sana! Kalau saja sekolah ini ada security yang berjaga dua puluh empat jam, gue udah mintain tolong. Lo tahu sendiri penjaga sekolah sini nggak stay selamanya."

"Ehem." Naira mengangguk. Sekolah ini hanyalah sekolah negeri biasa. Bukan sekolah swasta yang memiliki fasilitas mewah. Jelas saja penjaga sekolah juga turut pulang setelah sekolah usai.

"Sudah, buruan. Naik ke punggung gue!"

Artha sudah bersiap dengan posisinya. Memaksa Naira naik seperti apa yang dirinya katakan. Sampai di luar pagar, Julian berteriak pada Naira.

"Nggak papa, Nai. Kalau jatuh, gue tangkep dari sini!"

Wajah Julian yang tadinya kesal mendadak cerah. Seperti sedang mendapatkan kesempatan, dia kesenangan mendengar Naira takut manjat pagar.

“Ish, kesempatan lo!" gumam Artha. Namun, apa boleh buat. Kalau nggak ada Julian yang membantu Naira turun, mungkin gadis itu akan selamanya berada di dalam sini.

"Ayo, buruan!"

Naira mengangguk ragu. Perlahan satu kakinya yang masih berbalut sepatu menaiki bahu Artha. Nyaris saja Artha menghadap ke atas, tetapi segera Naira melarangnya.

"Gue pake rok. Lo jangan lihat atas!" Wajah Naira memerah ketika mengatakannya. Bagaimanapun, baru kali ini dia berdiri di atas tubuh seorang pria.

"Awas lo ngintip!" imbuh Naira dengan penuh penekanan.

Artha tersenyum. Kalau dilihat dari hubungan mereka yang sudah sah menjadi suami istri, harusnya nggak masalah, kan? Tapi bukannya mereka menganggap pernikahan hanya sebuah status belaka?

Dengan sangat hati-hati, Naira memanjat pagar dengan dibantu Artha. Dan di sana sudah ada Julian yang bersiap di bawahnya. Dengan bekerja sama, Naira berhasil keluar dari pagar itu dan disusul Artha kemudian.

"Makasih," ucap Naira pada Julian. Dia beralih menatap ke teman-teman Artha yang lain, lantas mengangguk ramah.

"Kalian juga. Makasih sudah mau ngebantu Artha nyariin gue."

"Mereka nggak ngebantu apa-apa kok, Nai. Mereka cuma iseng aja ngikut. Yang sejak tadi dipersulit Artha itu gue." Julian berkata menyombongkan diri, mencari muka di depan Naira.

"Dipersulit Artha?"

Naira menatap Artha. Lelaki itu hanya menanggapi dengan kedikan bahu.

"Maaf udah nyusahin lo. Gue nggak nyangka bakal ngelibatin banyak orang. Sekali lagi gue minta maaf.”

"Eh, bukan gitu maksud gue, Nai." Julian menggerak-gerakkan kedua telapak tangannya ke kanan dan ke kiri di depan Naira. Malah terlihat Naira merasa bersalah karena perkataannya.

Namun, suara geberan knalpot Artha menghentikan perdebatan.

"Mau di sini terus?" Dari nada bicaranya, Artha tampak kesal.

Naira menggeleng. Dia berpamitan kepada keempat teman-teman Artha dengan menganggukkan kepala. Mendekati motor Artha, gadis itu segera naik ke sana, menopangkan kedua tangan di bahu Artha seperti biasanya. Bukan seperti Thalita yang langsung nemplok ke punggung Artha.

"Kalian nggak cabut?" tanya Artha setelah Naira naik ke atas boncengan.

"Cabut, dong! Lo mau ke mana?" Julian masih saja ingin mengikuti ke mana Artha pergi. Mendadak ingin menggantikan posisi Artha yang sedang membonceng Naira.

"Pulang lah! Emang lo nggak capek apa keluyuran sejak tadi?"

"Pulang ke mana?'Julian lagi-lagi memancing Artha dengan petanyaan demi pertanyaan. Dia masih penasaran hubungan Artha dan Naira sedekat apa. Melihat bagaimana bahagianya Naira saat ditemukan Artha, dan Artha sendiri terlihat begitu emosional saat mencari keberadaan Naira, lelaki itu menyadari ada hal spesial di antara mereka.

"Maksud lo?" Artha mulai tak senang. Dia bertanya dengan mata tajam mengarah pada Julian.

"Gue hanya ingin mastiin aja." Lagi, Artha menggeber knalpot motornya keras keras, lalu berkata,

"Bukan urusan lo!" Dia menoleh ke arah teman-temannya yang lain.

"Gue cabut dulu!"

Tanpa menunggu tanggapan teman-temanya, Artha langsung melajukan motornya dengan cepat. Naira yang tadinya menggunakan bahu Artha sebagai pegangan terpaksa harus memeluk lelaki itu. Artha melajukan motornya tak seperti biasa. Bahkan, Naira merasa kecepatannya seperti orang yang sedang balapan saja. Dia ingin protes, tetapi tubuhnya masih lemas. Belum makan sejak tadi siang, ditambah menangis dan kelelahan berteriak meminta tolong membuatnya tak sanggup melakukan apa-apa.

Tangannya mengerat memeluk perut Artha hanya sebagai pertahanan supaya tidak terjatuh. Dan kini, keduanya berada di atas motor dengan membelah keramaian kota.

Langit hitam pekat, tampakya hujan akan turun. Artha menepikan motornya sebentar di salah satu rumah makan. Mengingat Naira mengeluh kalau sedang lapar, membuatnya berinisiatif mengajak gadis itu makan sebelum melanjutkan perjalanan,

"Kok ke sini?" Naira turun dari motor, menatap

Artha yang sedang melepaskan helm.

"Katanya laper?"

"Heem, tapi nggak harus ke rumah makan sebesar ini. Duit gue nggak cukup."

Melihat bangunannya saja sudah membuat Naira horor. Apalagi membayangkan harganya. Bisa pingsan dia nanti.

Mengabaikan perkataan Naira, Artha malah menarik tangan gadis itu supaya mengikutinya.

"Nggak ada duit kan masih bisa cuci piring," kata Artha tanpa perasaan.

"Apa?" Naira berusaha menarik tangannya.

"Tega banget nyuruh gue nyuci piring! Gue ke warung soto pinggir jalan aja. Jangan ke sini, Ta!" Naira kekeh dengan pendiriannya. Dia sudah lelah. Artha malah nyari masalah.

"Udah lo tenang aja. Kalau nggak bisa bayar tar KTP lo buat jaminan."

Naira mengerucutkan bibir. Bener-bener suami nggak ada akhlak. Dia yang ngajak, tetapi Naira yang harus mempertanggung jawabkan.

Artha menghentikan langkah di antara kursi tamu. Lantas, dirinya menyuruh Naira duduk di sana. Pun dengan lelaki itu, duduk berhadapan di depan Naira. Saat ini, Naira cukup ketar-ketir ketika seorang waitress datang sembari

menyodorkan buku menu kepadanya.

Dia tersenyum sambil mengangguk saat menerima buku tersebut. Membuka pelan, mencari menu yang semurah mungkin. Jari telunjuknya bermain di sana, mengurut satu per satu menu yang ada dalam daftar, mengecek mana harga yang lebih manusiawi. Namun, gadis itu hanya bisa tersenyum kecut karena yang paling mampu dibelinya hanya nasi putih.

Dia melirik cemas ke arah Artha. Lelaki itu purapura tak melihat, malah asik bermain ponsel.

"Ta!" panggil Naira dengan suara yang pelan. Takut-takut jika kedengaran mbak waitress-nya. Kan malu.

Artha mengangkat sebelah alisnya, lalu mengedikkan dagu ke arah Naira.

“Lo udah pesen?"

Naira meringis sembari menggeleng.

"Gue bingung mau pesen apaan."

"Oh, gampang." Artha mengambil alih buku menu tersebut, lantas dengan penuh semangat menyebutkan banyak makanan.

"Lobster bakar barbeque porsi besar, dua porsi Olive Wagyu, seafood asam manis. Lalu minumnya ....."

Naira ternganga. Semua yang dipesan Artha adalah makanan-makanan super mewah. Mana ada dia duit untuk membayarnya. Andai dia mau mengganti dengan mencuci piring pun, biaya makan sebanyak itu tak akan bisa lunas di hari yang sama. Bener-bener cari mati.

Naira mencubit lengan Artha setelah sang waitress pamit undur diri.

"Lu gila, ya!" Naira langsung nyerocos.

"Gue nggak punya duit. Lo mau gue jual ginjal buat bayar semua ini."

“Ish!" Artha mengusap-usap tangannya bekas cubitan Naira. Gila! Sakit juga ternyata.

"Kan lo masih punya motor. Itu bisa buat jaminan." Jawaban Artha semakin membuat Naira kesal.

"Astaga, itu harta gue satu-satunya. Lo nyebelin banget, sih! Gue nggak mau tahu. Pokoknya nanti lo yang harus tanggung jawab. Bukan gue yang pesen juga!" Naira mendengkus. Artha bener-bener keterlaluan. Bisa-bisanya menyuruh Naira untuk menggadaikan motor kesayangannya.

"Ya... sama. Gue juga nggak bawa duit."

Naira semakin sesak napas. Tadi di sekolah sudah kelelahan, eh, sekarang ditambah pusing dengan kelakuan Artha. Dia memilih meletakkan kening pada tumpuan tangan, menelungkup di atas meja.

Gadein ponsel juga nggak bakal bisa nebus harga makanan yang dipesan Artha. Apalagi tadi Artha memesan dengan porsi besar. Bisa gila lama-lama Naira memikirkan.

"Mana ponsel lo!" Naira menengadahkan tangan ke arah Artha setelah menegakkan kepala. Dia cukup pusing merenung demi memikirkan jalan keluar atas perbuatan yang Artha lakukan.

"Buat?"

 “Udah kemariin. Ini semua juga gara-gara lo! Lo mau kita masuk penjara gara-gara nggak bisa bayar?" kata Naira kemudian.

“Bukan kita yang masuk penjara. Mungkin lo doang. Kan gue cuma nganterin lo makan."

"Artha!" teriak Naira dengan nada tertahan.

"Gue gemes lama-lama sama lo!"

Terpaksa Artha memberikan ponselnya. Naira menyimpan ponsel Artha dalam tas sekolahnya menggabungkan dengan ponsel buntut miliknya.

"Buat apaan sih, Nai?"

"Buat bayar makanan kita lah! Buat apa lagi?" jawab Naira kesal.

"Lah, ngapain ponsel gue juga kena? Sini balikin!" Artha mengulurkan tangan ke depan Naira. Namun, segera ditepis oleh gadis itu.

"Nggak ada. Ini buat bayar makanan."

Pertengkaran mereka terhenti ketika pelayan sudah membawakan pesanan. Mata Naira melebar melihat penuhnya meja makan di depannya dengan makanan yang menurutnya super lezat.

"Artha, lo keterlaluan! Gue bisa pingsan sebelum ngeliat tagihannya." Naira berkata setelah para pelayan pergi. Ingin sekali dirinya kabur saat ini.

Namun, bagaimana mungkin?

"Udah, nikmatin aja kali, Nai. Udah dipesan juga. Sayang kalau nggak dimakan," jawab Artha santai yang justru membuat Naira semakin kesal. Enteng banget Artha ngomongnya, padahal dirinya udah ketar-ketir sejak tadi.

Melihat Naira diam saja seraya menatap lesu makanan di depannya, membuat Artha tak tega. Mengambil satu cubitan daging lobster super jumbo yang dikenal memiliki cita rasa juicy dan lezat itu, Artha menyodorkan ke mulut Naira.

Naira menggeleng, merasa tak berselera makan. Padahal perutnya kelaparan sejak siang tadi. Namun, Artha sepertinya tak peduli. Dia tetap menjulurkan daging lobster itu ke bibir Naira sembari menekannya. Naira melotot kesal. Mau tidak mau akhirnya membuka mulut.

"Enak?" tanya Artha tanpa dosa.

Naira mengunyahnya. Enak, sih? Enak banget malah. Tapi harganya bikin kantong meringis.

Naira hanya mengangguk pelan menanggapi sambil mengunyah makanan.

"Ya, udah. Makan yang banyak. Gue udah pesenin banyak. Sayang kalau nggak dimakan." Artha berkata sembari terus menyuapkan potongan daging lobster ke mulut Naira.

"Lo nyebelin banget," ucap Naira di tengah mengunyah makanan.

"Kalau gue udah kerja, gue bakal ganti ponsel lo!" Akhirnya dia mengalah.

Sikap manis Artha membuatnya tidak tega. Artha sudah membantunya keluar dari toilet sekolah. Pake acara manjat pager pula. Nggak mungkin Naira bisa marah lama dengan lelaki itu.

"Heem, udah nggak usah dipikirin. Makan dulu. Habisin! Kita makan besar malam ini." Artha terkekeh setelah mengucapkannya.

Naira mengangguk. Baru kali ini dia menikmati makanan yang dianggap sangat mewah seperti ini. Nggak papa kan sesekali berfoya-foya. Meskipun caranya salah. Naira mencomot daging lobster itu menggunakan tangan, lantas menyuapkan ke mulut Artha. Keduanya kemudian tertawa, meskipun dalam pikiran Naira masih berkelana dan mencemaskan tagihan yang sebentar lagi datang. Cara makan mereka uang serampangan menjadi pusat perhatian tamu-tamu lain yang juga sedang makan. Mereka makan dengan table manner yang bagus, tetapi Naira dan Artha Kelakuan keduanya bikin orang geleng-geleng kepala.

"Kenyang banget. Alhamdulillah!"

Artha terkekeh melihat Naira yang menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Makan lo ternyata banyak, ya, Nai? Bisa bangkrut gue entar kalau jadi suami lo!"

Naira tersenyum, menyeka bibir dengan tisu.

"Emang lo mau jadi suami gue?"

"Bukannya kita udah nikah, ya, Nai? Lalu sebutan apa lagi buat gue kalau bukan suami?"

Tampak Naira tersedak saat mendengar perkataan Artha. Dia sedang menyeruput minuman untuk ditandaskan juga.

"Lo serius, Ta, sama hubungan ini?" tanya Naira tam percaya. Pasalnya Artha sendiri yang memberi tahu bahwa pernikahan itu hanyalah status. Nggak boleh dianggap serius. Apalagi sampai baper.

Artha terdiam. Dia juga sebenarnya tidak mau menikah muda. Gengsi, kan? Masak cowok cooldan keren seperti dia ternyata udah dipaksa kawin. Yang ada pesonanya luntur. Dia gak bakal jadi idola cewek-cewek lagi. Namun, dia juga nggak rela saat Naira dideketin Julian.

"Gue tahu, kok, lo ngelakuin semua ini ke gue karena permintaan nyokap lo. Gue ngerti. Lo nggak usah maksa perasaan lo ke gue. Entah hubungan kita berakhir bagaimana, gue nggak maksa lo buat lanjutin. Gue udah makasih banget karena lo udah jagain gue selama ini."

Naira tersenyum tulus, terihat dari matanya yang menyipit.

"Kalau lo mau ngelanjutin kisah cinta lo sama Kak Mesa, gue nggak akan larang lo!"

Artha masih diam. Dia hanya mengamati Naira bicara, tak ada niatan tuk menyela. Sampai akhirnya tanpa sadar bibirnya berkata,

"Lo nggak ada perasaan sama gue?"

"Hah?"

“Andai gue ngedeketin Mesa lagi, apa lo nggak akan cemburu?"

Kini, giliran Naira yang terdiam. Tak ada alasan untuk dirinya cemburu. Andai memiliki sedikit perasaan untuk Artha, dia akan segera memendamnya rapat-rapat. berpikir realistis, gadis itu cukup sadar siapa dirinya dan siapa Artha. Mana mungkin mengharap seorang Artha yang cerdas, tampan, dan juga kaya raya untuk mencintainya. Artha pun sepertinya akan mencari perempuan yang sepadan dengannya.

"Mungkin rasa itu ada walaupun kecil. Gue ... pasti akan ngerasa kesepian. Lo tahu sendiri gue enggak punya temen selain lo." Naira menunduk sejenak lantas tersenyum.

"Tapi gue akan ngedukung kok. Gue juga pengen lihat lo bahagia bersama pilihan lo," kata Naira tulus.

“Heem. Kalau lo suka sama cowok lain, gue juga nggak akan larang lo. Tapi dengan satu syarat ...." Artha mengulurkan jari kelingkingnya di depan Naira.

"Lo harus bilang ke gue sebelumnya. Gue enggak mau lihat Mama atau Papa malah mergoki lo jalan sama cowok lain tanpa sepengetahuan gue. Bagaimanapun status lo masih istri gue."

"Heem." Naira mengangguk.

"Dan itu sepertinya tidak akan pernah terjadi," kata Naira yang hanya terucap di hati.

“Gue akan bilang sebelumnya." Jari kelingkingnya turut diulurkan. Lantas keduanya saling mengaitkan jari sebagai

sebuah kesepakatan masa depan yang dianggap adil.

"Makanan udah habis. Waktunya pulang." Artha hendak bersiap berdiri, tetapi Naira malah menahannya.

"Ta, kita belum bayar tagihannya." Naira mengarahkan pandangan pada seorang waitress yang tampak berjalan ke arah meja mereka. Dia meneguk ludah. Rasanya perut yang kenyang dengan lidah yang baru saja dimanjakan dengan berbagai olahan lezat berubah menjadi getir, bahkan cenderung pahit

1
Indriani Kartini
lanjut thor
karina
up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!