Clara yang tak tau apa-apa.. malah terjebak pada malam panas dengan seorang pria yang tak dikenalnya akibat dari jebakan seseorang. Dan dihadapkan pada kenyataan jika dirinya tengah hamil akibat malam panas pada malam itu.
Akankah clara mempertahankan kehamilannya itu, atau malah sebaliknya? Dan siapakah pria yang telah menghamilinya? Dan siapa yang telah menciptakan konspirasi tersebut?
Yuk simak kisah clara disini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Shine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
Mendengar pernyataan sopir taksi tersebut, Clara sontak juga melihat penampilannya saat ini.
Sebenarnya bukan hanya sopir taksi itu saja yang merasa aneh dan mengomentari penampilan Clara kali ini, tapi sedari Clara keluar dari kamar hotel yang menjeratnya, hampir semua orang menatap aneh penampilan Clara. Tapi Clara hanya acuh menanggapinya. Toh mukanya ia tutupi dengan jas yang juga milik pria itu, jadi tidak mungkin akan ada yang mengenalinya. Fikir Clara.
"I-ini... Ini milik kekasihku." Jawab Clara dengan muka yang memerah.
Sopir itupun hanya mangguk-mangguk menanggapi pernyataan Clara, dan kemudian segera menjalankan mobil taksinya.
Beberapa waktu kemudian.. Taksi pun telah sampai ke tujuan yang Clara tunjukkan.
Clara pun turun, segera setelah membayar tagihan taksi tersebut. Dan meninggalkan dompet yang ia dapat dari saku celana yang ia kenakan, di kursi belakang taksi. Tanpa berminat untuk sekedar melihat dan mengetahui identitas pemilik yang juga ada dalam dompet tersebut.
Sopir taksi yang melihat dompet tersebut lewat kaca spion, segera memanggil dengan setengah berteriak. "Nona! Nona..! Dompet Anda!"
Clara yang mendengarnya hanya melambaikan tangan dan mengacungkan jempolnya.. Pertanda jika tidak mengapa jika sopir itu mengambilnya. Dan terus melangkah tanpa menoleh.
***
Baru saja Clara ingin membuka pintu utama rumahnya, pintu itu sudah terbuka dari dalam dan disambut oleh senyum Bella, yang menurutnya menyebalkan.
Tak ingin meladeni, Clara pun melewati Bella begitu saja. Namun baru beberapa langkah berjalan.. Langkah Clara terhenti saat mendengar ucapan Bella.
"Apa tidurmu nyenyak semalam?" ucapnya disertai senyuman miring. "Ckckck, aku rasa tidak. Lihat, pakaian apa yang sedang Kau kenakan? Aku lihat... Ini tak seperti stylish mu." Ejeknya seraya memegang sedikit pakaian yang Clara kenakan seolah merasa jijik.
Clara menepis tangan bella dan menunjuknya seraya berkata, "Kau__"
"CLARA!!!" belum juga Clara mengutarakan rangkaian katanya, suara papa Handika lebih dulu terdengar menggema. Membuat Clara reflek membalikkan tubuhnya dan mendapati papa Handika yang tengah menatapnya dengan tajam.
"Selamat menikmati." bisik Bella seraya terus berjalan melewati Clara untuk menghampiri papa Handika. "Pa... Jangan terlalu keras pada Clara.. Dia pasti tidak sengaja melakukannya, iyakan Clara?!" ucapnya lagi sembari merangkul lengan atas papa Handika, berkata seolah dirinya membela Clara, namun diselingi senyuman mengejek, yang hanya Clara yang melihatnya.
"Jangan membelanya Bella, dia pantas untuk dihukum." ucap papa Handika.
"Apa sih Pa..? Tidak jelas sekali. Clara lelah, Clara ingin istirahat di kamar, Clara." Ucap Clara seraya melangkahkan kakinya untuk pergi ke kamarnya. Karena selain lelah fisik, batin Clara pun juga lelah.
"BERHENTI!!!" suara papa Handika kembali terdengar menggelegar, membuat Clara reflek menghentikan langkahnya dengan dada yang berdebar-debar karena terkejut. Pasalnya, baru kali ini Clara mendengar papa Handika berucap tinggi dan keras.
Papa Handika berjalan mendekati Clara, dan...
Plak!
Clara segera memegangi pipinya yang terasa panas akibat tamparan mendadak yang ia terima dari papa Handika. Seketika air jatuh dari pelupuk mata Clara, karena ini juga kali pertama papanya menamparnya, dan Clara tidak tau apa kesalahannya. Membuat papa Handika yang melihat air mata Clara, mengepalkan tangannya kuat-kuat, karena merasa bersalah telah menampar sang anak.
"Kenapa pa? APA KESALAHAN CLARA SAMPAI PAPA MENAMPAR CLARA?!! Tampar lagi pa. TAMPAR LAGI!!!" ucap Clara dengan diselingi teriakan tak terimanya.
Papa Handika yang tadinya sudah melemah, mendengar teriakan Clara.. Emosinya kembali naik. "Kenapa Clara? Kenapa?!!" ucapnya.
"Apa maksud Papa? Bukankah seharusnya Clara yang bertanya seperti itu? Kenapa Pa? Kenapa Papa tiba-tiba menampar Clara? Kenapa Pa? Apa kesalahan Clara?"
"Kau ingin tau alasannya? Ini alasannya." ucap papa Handika sembari melempar beberapa foto ke dada Clara.
Clara pun reflek memunguti salah satu foto yang berserak di lantai akibat terlempar. Setelah melihat foto tersebut, wajah Clara seketika pias dan memucat. Dengan mengumpulkan semua keberaniannya, Clara bertanya, "Da-darimana Papa mendapatkan foto-foto ini?" karena foto itu menunjukkan jika dirinya tengah bersama pria asing menuju kamar hotel.
"Tidak penting dapat dari mana?" ucap papa Handika seraya mengibaskan tangannya. "Oh ya, kau berkata kau lelah, bukan? Kalau begitu istirahatlah. Mungkin kau lelah setelah bermalam dengan pria brengsek itu. Pergilah." Sambungnya.
"Ma, gimana ini..? Bukannya diusir, kenapa malah disuruh istirahat." bisik Bella kepada mamanya ditengah-tengah perdebatan papa Handika dan Clara.
"Mama juga tidak tau... Sudahlah, terserah Papamu saja. Daripada nantinya kita yang diusir kalau kita ikut campur? Mending diam saja." Jawab ibu tiri Clara.
"Pa, biar Clara jelaskan dulu... Tadi malam kan Clara pergi bersama Bel__"
Mendengar Clara yang ingin menjelaskan sesuatu, segera ibu tirinya menyela untuk melindungi anaknya juga dirinya sendiri. "Clara... Aku tidak menyangka Kau bisa berbuat seperti itu Nak.. Apa sebegitu cintanya kah kau pada pria itu? Hingga merelakan__"
"Cukup!!! Ini semua pasti rencana kalian kan?? Dan kau Bella! Kau kan yang__"
"Sudah cukup Clara! Tadinya Papa berikan waktu sejenak untuk kau beristirahat. Tapi kau malah seperti ini. Sudah cukup, tidak lagi. Sekarang! Pergi, kemasi barang-barangmu." ucap papa Handika seraya memalingkan wajahnya.
"Papa mengusirku?" Tanya Clara tak percaya dengan apa yang barusan dirinya dengar.
"Untuk apa saya merawat anak tak tau diri sepertimu?! Taunya hanya bisa mencoreng nama baik keluarga saja. Jika saja mamamu masih hidup, pasti dia__"
"Cukup!" Mendengar mamanya disebut dan disangkut pautkan, seketika Clara menjadi emosi. "Jangan pernah bawa-bawa mama." Sambungnya. "Oke, aku akan pergi. Puas?!!" lanjutnya seraya berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya dilantai dua.
Di kamarnya.. Clara mengemasi satu persatu barangnya dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. Clara masih tak percaya jika papanya lebih mempercayai orang asing daripada dirinya.
Clara menghentikan gerakannya saat netranya menangkap figura yang membingkai foto sang mama, mama Winda. Clara pun menghela nafas sebelum akhirnya ikut menyimpan bingkai foto mama Winda di koper untuk turut dibawanya pergi meninggalkan rumah yang saat ini seperti neraka baginya.
***
Saat Clara turun, Clara mendapati papa Handika juga kedua ibu dan saudari tirinya tengah duduk di sofa di ruang tengah. Yang sepertinya, kedua ibu dan anak itu sedang menenangkan papa Handika. Namun Clara tak peduli akan hal itu dan tetap berjalan melewati ketiganya.
Ibu tiri Clara yang melihat Clara sudah berada di lantai yang sama dengannya, segera bangkit dan kembali memainkan perannya, "Clara sayang... Kau mau kemana?" ucapnya seraya memegangi lengan Clara.
Namun Clara yang tak sudi disentuhnya pun segera menepisnya "Jangan sentuh!" ucapnya.
"Baiklah, mama tidak akan menyentuhmu lagi."
"Heh. Mama?? Mama saya cuma satu, yaitu mama Winda."
"Baiklah terserah padamu saja. Tapi mama... Maksudku tante. Tante minta kau jangan pergi. Jangan hiraukan perkataan Papamu, dia hanya emosi saja... Jangan pergi ya Sayang... Ini adalah rumahmu."
"Heh. Bukankah ini yang Kau dan Anakmu inginkan?! Yaitu saya di usir dari rumah saya sendiri, dan kalian bisa menguasainya, iyakan?!! Selamat, kalian berhasil."
"CLARA!!! Yang sopan kalau bicara!" sentak papa Handika karena emosinya kembali tersulut sebab ucapan Clara. "Bukannya berterimakasih karena mama Riska menyuruhmu tetap tinggal, tapi kau malah seperti ini. Dasar__."
"SAYA TIDAK BUTUH!!! KAU DENGAR..?!! SA-YA TI-DAK BU-TUH."
Prang!!!
Teriak Clara sembari melemparkan vas mahal yang berada di dekatnya karena tak terima dengan yang diucapkan papa Handika. Cara berkata Clara pun juga berubah formal, "Saya Clara Bramastya.. Ah, tidak. Hanya Clara. Saya Clara.. Tidak Membutuhkan kasihani dari orang macam kalian. Mengerti!" lanjutnya dengan nada kembali seperti biasanya namun penuh penekanan.
"Kurang ajar!" papa Handika bangkit dari duduknya dan menghampiri Clara. "Anak tidak tau diuntung," lanjutnya sembari akan kembali menampar Clara. Namun tindakannya kali ini tidak berhasil, karena Clara berhasil menghindar.
"Tidak lagi. Anda sudah tidak memiliki hak untuk kembali menampar saya, karena saya bukan anak Anda lagi. Dan saya bukan lagi bagian dari keluarga ini. Apa Anda puas, Tuan dan Nyonya Bramastya?"
"Anak kurang ajar! Sudah mencoreng nama keluarga, kelakuan seperti kucing liar saja. Pergi kau! Dan jangan pernah bermimpi untuk bisa kembali lagi." usir papa Handika dengan kata-kata kasar.
Clara hanya tersenyum miring menanggapinya, lalu pergi tanpa pamit dan tidak kembali menoleh barang sedikitpun.
***
Disebuah taman kota, terlihat Clara tengah duduk menyendiri dengan tatapan menerawang jauh.
"Clara?! Ternyata benar ini kau?" tiba-tiba datang seorang gadis berwajah blasteran menyapa dan membuyarkan lamunan Clara. "Ya tuhan... Mimpi apa aku semalam bisa bertemu dengan Kau di sini? Kenapa kau hanya sendiri di sini? Mana yang lainnya? Aunty Winda?" tanyanya beruntun.
Gadis itu adalah sahabat masa kecilnya, yang bernama Eliza Robert.
Clara yang awalnya tak ingin menceritakan kisahnya pada siapapun.. Akhirnya menceritakannya juga pada sahabat masa kecilnya yang baru kembali dari luar negeri itu. Sahabat yang sedari kecil ia percayai lebih dari dirinya sendiri, begitu pula sebaliknya.
Setelah Clara menceritakan segalanya pada Eliza, dengan kebaikan hati Eliza, Clara memiliki tempat tinggal setelah terusir dari rumahnya sendiri.
Awalnya Clara menolak.. Karena tak ingin dikasihani ataupun merepotkan orang lain, walau itu sahabatnya sendiri.
Tapi dengan kegigihan Eliza, Clara akhirnya pun setuju.
***