Nama: Alethea Novira
Usia saat meninggal: 21 tahun
Kepribadian: Cerdas, sinis, tapi diam-diam berhati lembut
Alethea adalah seorang mahasiswi sastra yang memiliki obsesi aneh pada novel-novel tragis, alethea meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil yang di kendarai supir nya , bukan nya ke alam baka ia malah justru bertransmigrasi ke novel the love yang ia baca dalam perjalanan sebelum kecelakaan, ia bertransmigrasi ke dalam buku novel menjadi alethea alegria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agya Faeyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Thea aku suka kamu
Di dalam kamar yang remang-remang, Bryan duduk di tepi ranjangnya sambil menatap layar ponsel dengan wajah penuh kebingungan. Tangannya bergerak gelisah, mengetik sesuatu lalu menghapusnya lagi.
"Huff..." Bryan menghela napas panjang. Ia memandang pantulan dirinya sendiri di cermin kecil di meja belajar.
"Apa aku harus bilang langsung aja, ya?" gumamnya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. "Atau... kirim surat? Tapi itu kayaknya basi banget sekarang."
Dia mendesah, lalu membuka Google dan mulai mengetik:
"Cara menyatakan cinta ke cewek supaya nggak ditolak."
Sambil membaca hasil pencarian satu per satu, Bryan berbicara pelan-pelan seolah-olah sedang berdiskusi dengan dirinya sendiri.
"Oke, langkah pertama... 'Pahami perasaanmu sendiri.' Hmm, aku udah ngerti. Aku suka Alethea. Banget."
Dia mengangguk, mencoba meyakinkan diri.
"Langkah kedua... 'Pastikan dia juga menunjukkan tanda-tanda suka.' Duh, itu susah. Kadang Alethea ramah ke semua orang, bukan cuma ke aku."
Bryan mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, berpikir keras.
Lalu matanya berbinar membaca salah satu tips:
"Buat momen spesial."
"Ini, nih!" serunya kecil. "Aku bisa ajak dia ke tempat favoritnya... tapi... tempat favorit Alethea di mana, ya?" Bryan menggaruk kepalanya, lupa bahwa dia harus cari tahu dulu sebelum lanjut ke tahap itu.
Ia terus scrolling.
"Pilih kata-kata sederhana tapi tulus."
Bryan menirukan dalam hati, membayangkan skenarionya sendiri.
"'Thea, aku suka kamu dari dulu.' Hmm... terlalu biasa? Atau... 'Thea, kamu selalu spesial di mataku.' Ih, kenapa kedengeran aneh, sih?"
Dia menutup wajahnya dengan bantal, malu sendiri membayangkan kemungkinan ditolak.
Setelah beberapa saat berdiam, Bryan duduk tegak.
"Oke, Bry, fokus! Ini langkah-langkahnya," katanya pada dirinya sendiri sambil mencatat cepat di buku kecil:
Pastikan Alethea lagi nggak sibuk.
Pilih tempat yang nyaman, jangan rame.
Ngobrol santai dulu, jangan langsung to the point.
Saat suasana pas, baru bilang perasaan.
Jangan maksa. Siap terima apa pun jawabannya.
Bryan memandang catatannya dengan campuran gugup dan semangat.
"Aku bisa. Aku pasti bisa," katanya sambil mengepalkan tangan.
Lalu ia melirik ponselnya lagi, kali ini mencari ide tempat romantis untuk ngajak ngobrol Alethea.
"Tempat makan es krim yang cozy di dekat sekolah."
Bryan tersenyum kecil. "Alethea suka es krim. Ini kesempatan!"
Malam itu, Bryan terus berlatih dalam hati, mengulangi kata-kata sederhana yang ingin dia ucapkan.
Walaupun deg-degan setengah mati, ia tahu satu hal pasti:
Ia harus mencobanya. Karena kalau tidak, dia akan selamanya bertanya-tanya, "Bagaimana kalau aku berani waktu itu?"
***
Hari itu, matahari sore mulai merunduk, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan.
Bryan berdiri di depan sebuah kafe es krim kecil yang cozy dekat sekolah, memandangi jam tangannya berulang kali. Kemejanya yang biasanya berantakan kini rapi, bahkan dia sempat menyemprotkan sedikit parfum sebelum berangkat — sesuatu yang jarang ia lakukan.
Tak lama kemudian, Alethea datang. Rambut panjangnya dikuncir sederhana, wajahnya cerah seperti biasa.
"Hai, Bryan! Maaf ya nunggu lama?" sapanya dengan senyum manis.
Bryan langsung menggeleng cepat. "Enggak, aku juga baru aja sampe kok," jawabnya gugup sambil menggaruk belakang kepala.
Mereka masuk ke dalam kafe. Aroma manis es krim dan suasana hangat langsung menyelimuti. Setelah memesan masing-masing — Alethea memilih rasa vanilla dan stroberi, Bryan memilih cokelat — mereka duduk di pojokan yang agak sepi.
Obrolan awal berjalan lancar. Mereka tertawa membahas soal ujian yang baru saja selesai, membicarakan rencana liburan, dan saling berbagi cerita kecil. Tapi di tengah tawa itu, Bryan merasa jantungnya berdetak makin cepat. Inilah saat yang sudah ia siapkan semalam.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Bryan memberanikan diri.
"Thea..." katanya sambil menatap es krimnya yang mulai meleleh.
Alethea mengangkat alis, menunggu.
"Aku... sebenernya ngajak kamu ke sini bukan cuma buat makan es krim," lanjutnya, suaranya agak bergetar.
Alethea tersenyum lembut. "Emang kenapa, Bry?"
Bryan menggenggam sendok es krim di tangannya lebih erat.
"Aku... aku suka sama kamu," ucapnya akhirnya. "Dari dulu, dari lama. Aku suka cara kamu ketawa, cara kamu semangat belajar, cara kamu... ya, semuanya , aku emang tak pandai merangkai kata-kata tapi aku bisa menjanjikan kamu selalu tersenyum ketika berdua dengan ku , aku mau kamu jadi pacar ku".
Alethea terdiam sejenak. Matanya membulat kecil, tak menyangka Bryan akan berbicara sejujur itu.
Bryan buru-buru menambahkan, "Tapi... aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Aku cuma pengen kamu tau. Apa pun jawaban kamu, aku bakalan terima kok ,Asal kamu bahagia, aku juga bahagia."
Sejenak hanya ada suara musik instrumental dari kafe yang mengisi kekosongan di antara mereka.
Lalu perlahan, Alethea tersenyum. Senyum yang membuat Bryan merasa dunia berhenti berputar.
"Bryan," katanya lembut, "aku senang kamu jujur. Dan..." Alethea menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu melanjutkan, " maaf ....aku belum memikirkan hal itu , beri aku waktu untuk menjawab perasaan mu pada ku."
Bryan yang semula menahan napas akhirnya mengangguk pertanda setuju,
"baik lah Thea aku memberikan mu waktu untuk menjawab perasaan ku , aku akan menunggu, oh ya besok aku mau keluar negeri bersama keluarga ku ingin mengunjungi kakek ku disana , mungkin seminggu kemudian aku baru pulang , aku harap sudah mendapatkan jawaban untuk ini Thea , kalau kamu mau jadi pacar ku pakai lah kalung ini kalau kau ingin bertemu dengan ku , tapi kalau tidak kamu buang saja Kalung ini".
"baik lah?"Alethea mengangguk.
***
Di sudut lain kota, di dalam mobil berwarna hitam yang terparkir diam di pinggir jalan, seorang pemuda dengan wajah tegas dan tatapan tajam duduk sambil menggenggam ponselnya erat.
Aliando, sosok yang selama ini diam-diam memperhatikan Alethea, sedang mendengarkan laporan dari salah satu anak buahnya.
"Bos, bener. Bryan baru aja nyatain perasaan ke Alethea di kafe es krim itu," suara anak buahnya terdengar dari ponsel.
Aliando mengepalkan tangannya di atas pahanya, rahangnya mengeras.
"Tapi... Alethea belum jawab, kan?" suaranya terdengar berat, menahan amarah.
"Belum, Bos. Dia bilang butuh waktu buat mikir," jawab si anak buah cepat.
Aliando menghembuskan napas panjang, menahan gejolak dalam dadanya. Rasa cemburu menguasai pikirannya.
Bagaimana bisa Bryan — pria yang tidak sebanding dengan dirinya — mendahuluinya?
Bukankah Alethea seharusnya hanya menoleh kepadanya?
dia tak tau saja Bryan ada diatas nya , finansial yang tak sebanding dengan Aliando , dan tampang pun jauh diatas Aliando , dia hanya pikir kalau lebih menang dia kemana-mana dari pada Bryan.
Aliando menatap keluar jendela mobil, pikirannya berkecamuk.
Dia tahu dia tak bisa membiarkan ini berlarut. Ia harus bertindak sebelum semuanya terlambat.
"Lemah," gumamnya pada dirinya sendiri. "Bryan itu terlalu biasa untuk Alethea. Dia butuh seseorang seperti aku... yang bisa melindunginya, menjaganya... dan menguasainya."
Aliando bersandar ke kursi, menutup mata sejenak, membiarkan pikirannya merancang rencana.
"Pertama-tama," katanya perlahan, seolah berbicara dengan dirinya sendiri, "aku harus menjauhkan Bryan dari Alethea. Secara halus... atau kalau perlu, secara paksa."
Ia membuka ponselnya, mulai mengetik pesan pada anak buahnya.
"Cari tahu semua tentang Bryan. Kelemahannya, kebiasaannya, siapa saja temannya. Aku mau laporan lengkap besok."
Setelah mengirim pesan itu, Aliando menyeringai tipis.
Dalam pikirannya, ini bukan sekadar tentang cinta lagi. Ini tentang menang. Tentang membuktikan siapa yang lebih pantas untuk Alethea.
"Bryan..." bisiknya pelan namun penuh ancaman, "permainan baru saja dimulai."
Tpi saya mw sedikit berkomentar, saya membaca novel kk karna tertarik membaca sinopsisnya.
Tapi menurut saya, percakapan ringannya terlalu banyak, membuat pembaca cepat bosan. Coba kakak kurangi percakapan2nya, tpi lebih menggambarkannya aja dan alur konfliknya buat lebih dalam kata2nya.
Terus penggambaran tokohnya agak kurang menjalankan perannya. seperti papa bram( kaya, hebat, punya banyak pengawal) tpi knapa anaknya kurang terjaga, gk ada pengawal yg memantauan dari dekat/jauh.
Arvel ( berjanji mau jaga adeknya di sekolah) tpi gk tw adek tersesat, pergi menyelatkan Aliando.
Gitu aja sih thor, semoga kedepannya lebih bagus, dan mohon jangan tersinggung dengan komentar saya.😊