Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1
Ratih dan Dara tiba di perbatasan Desa tiga batu tepat saat bulan purnama menggantung tinggi. Udara dingin langsung menyergap, membawa serta aroma lembab dan sesuatu yang asing, seperti bau tanah basah bercampur kembang tua.
"Kok sepi banget, Tih? Perasaan dari tadi kita nggak ketemu satu motor atau mobil pun," bisik Dara sambil memeluk dirinya. Matanya menatap cemas ke sekeliling, hutan di sisi jalan tampak seperti siluet raksasa dengan bayangan yang bergerak-gerak.
Ratih merasakan hal yang sama, namun ia berusaha tenang. "Mungkin karena sudah larut banget, Dar. Desa ini memang pelosok," jawabnya, meskipun suara hatinya mulai berteriak.
Mereka mulai berjalan kaki, karena angkutan umum hanya sampai di perbatasan desa. Beberapa rumah tampak kosong, jendelanya tertutup rapat oleh papan kayu yang lapuk. Tidak ada lampu menyala, bahkan suara jangkrik pun terasa terlalu keras dalam keheningan yang mencekam.
Saat melewati sebuah pos ronda yang reot, Dara berhenti mendadak.
"Tih, lihat itu!"
Dara menunjuk ke tanah. Ada sesajen kecil—nasi dengan lauk seadanya, diletakkan di atas daun pisang yang sudah mengering, dan di sampingnya ada segenggam bunga melati yang layu.
"Kenapa? Mungkin ada yang baru meninggal," ujar Ratih mencoba berpikir logis.
"Tapi... lihat yang di sana juga," Dara menunjuk ke beberapa meter di depan, di depan sebuah rumah kosong yang gelap gulita. Ada sesajen serupa. Dan di depan rumah berikutnya. Bahkan di setiap persimpangan gang.
Ketakutan mulai merayapi Ratih. Desa ini tidak hanya sepi, tapi seperti ditinggalkan secara tergesa-gesa.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya mereka sampai di depan rumah bibinya. Rumah kayu itu tampak gelap dan tua, namun setidaknya tidak berpalang papan seperti rumah-rumah lain.
Ratih mengetuk pintu.
Tok... tok... tok...
Tidak ada jawaban. Ratih mengulanginya, sedikit lebih keras.
Tok! Tok! Tok!
Hening.
"Bibi! Ini Ratih! Bibi!" panggilnya cemas.
Tiba-tiba, terdengar suara geretan pintu kayu yang pelan dan menyeret dari dalam.
Pintu terbuka sedikit, hanya menyisakan celah sempit. Muncul wajah yang seharusnya familiar: Bibi Ratih. Wajahnya pucat pasi, matanya cekung dengan kantung mata hitam, dan rambutnya tergerai tak karuan. Ia seperti baru bangun dari tidur yang panjang.
"Ratih... kamu datang..." bisik bibinya dengan suara serak, hampir tidak terdengar.
"Bibi! Nenek bagaimana? Kata surat Bibi, Nenek sakit parah!" Ratih langsung maju, hendak memeluk.
Namun, bibinya mengangkat tangan, menghalangi Ratih masuk.
"Jangan... jangan masuk sekarang, Ratih. Kalian... kalian harus menunggu di sini..."
Dara berbisik tegang di telinga Ratih. "Tih, kenapa wajah bibi kamu aneh banget? Matanya..."
Saat Dara menunjuk, mata Bibi Ratih tiba-tiba melebar. Bibinya menoleh cepat, bukan ke arah Dara, tapi ke belakang Dara, menatap ke kegelapan di sepanjang jalan desa. Tatapannya penuh kengerian.
"Sudah malam... kalian terlalu malam datang. Mereka sudah bangun," gumam bibinya, suaranya kini bergetar hebat.
Ratih dan Dara seketika merinding, mengikuti arah pandangan bibinya. Mereka tidak melihat apa-apa, hanya kegelapan yang pekat.
Tiba-tiba, Bibi Ratih menarik Ratih dengan kekuatan yang mengejutkan, memaksa Ratih mendekatkan telinganya.
"Dengarkan baik-baik, Nak... Desa ini sudah mati. Semua orang... semua penduduk desa... mereka bukan manusia lagi," bisik bibinya dengan napas yang bau anyir. "Nenekmu... Nenekmu telah menjadi Tumbal Terakhir mereka. Kalian harus pergi! SEKARANG!"
Belum sempat Ratih mencerna apa pun, Bibi Ratih langsung mendorong mereka berdua menjauh dengan kuat, lalu membanting pintu dan menguncinya dari dalam.
"Bibi! Buka! Bibi!" Ratih panik dan mulai menggedor pintu.
Dara menarik lengan Ratih dengan kencang. "Tih! Jangan! Dengar!"
Dari kejauhan, di ujung jalan desa yang gelap, kini terdengar suara. Awalnya samar, seperti gerusan batu ke aspal, lalu semakin lama semakin keras, bercampur dengan suara rintihan yang panjang dan dingin.
Ratih menatap pintu rumah bibinya yang terkunci, lalu ke arah suara mengerikan itu.
Di balik kegelapan pekat, perlahan muncul beberapa sosok. Mereka berjalan tertatih-tatih, postur tubuhnya bungkuk, langkahnya lambat dan menyeret, seperti mayat yang baru bangkit. Mata mereka memancarkan titik merah redup yang menembus malam.
Mereka bukan hanya satu atau dua. Seluruh penduduk Desa Batu Tujuh yang telah menjadi desa mati, kini datang.
Dara menjerit tertahan. "Mereka... mereka mengincar kita, Tih! Lari!"
Tanpa pikir panjang, Ratih dan Dara berbalik, dan mulai berlari sekencang mungkin, meninggalkan rumah bibinya, masuk kembali ke dalam kengerian Desa Batu Tujuh yang kini dipenuhi gerusan langkah mayat hidup yang haus akan darah manusia.
Ratih dan Dara berlari tanpa tujuan, hanya mengikuti naluri untuk menjauhi suara seretan kaki dan rintihan yang semakin mendekat. Napas mereka tersengal, dan dinginnya malam terasa menusuk hingga ke paru-paru.
"Kita harus ke mana, Tih?! Jalannya cuma ini!" jerit Dara, suaranya tercekat ketakutan.
Mereka sudah kembali ke jalan utama desa, di mana rumah-rumah kosong berjejer seperti barisan gigi yang hilang. Di depan, jalanan terasa tak berujung, diselimuti kabut tipis yang entah datang dari mana.
Ratih teringat sesuatu. "Jalur pintas! Ada pematang sawah di belakang rumah Pak Karta! Kita bisa tembus hutan di sisi lain!"
Mereka belok tajam ke gang kecil, melewati pekarangan rumah yang penuh semak belukar. Bau busuk yang menusuk hidung langsung menyambut mereka. Samar-samar, Ratih melihat kebun itu tampak seperti kuburan massal.
Tiba-tiba, dari arah belakang, terdengar suara 'hush' yang menyeramkan, seolah-olah seseorang berbisik tepat di telinga mereka, diikuti dengan suara ranting patah.
Mereka menoleh.
Di balik pohon mangga tua yang gelap, sesosok tubuh kurus tinggi berdiri diam. Itu adalah mayat hidup yang berbeda dari yang lain. Pakaiannya compang-camping, dan wajahnya tertutup helaian rambut panjang. Namun, yang paling mengerikan, lehernya tampak patah dengan posisi kepala tergantung miring ke bahu.
Sosok itu tidak mengejar, melainkan hanya berdiri dan menatap mereka dengan tatapan mata merah yang tajam, seolah sedang menikmati ketakutan mangsanya.
"JANGAN LIHAT MEREKA! LARI TERUS!" teriak Ratih, menarik Dara yang hampir lumpuh karena syok.
Mereka berhasil mencapai pematang sawah. Kabut semakin tebal di atas hamparan lumpur. Sawah itu sudah lama tidak ditanami. Di seberang, pohon-pohon hutan tampak lebih gelap dan padat.
Saat melompat turun ke pematang, Dara terpeleset. Ia jatuh ke lumpur basah, pergelangan kakinya terkilir.
"Aduh! Kaki aku, Tih! Sakit banget!" Dara merintih kesakitan.
Ratih panik. Ia melihat ke belakang. Di ujung pematang, di mulut gang, kini lebih dari lima belas sosok mayat hidup mulai berbaris, tatapan merah mereka tampak seperti obor yang berlumuran darah.
Yang paling depan adalah sosok wanita tua yang mereka kenali. Itu adalah Ibu RT yang dulu dikenal Ratih sebagai sosok ramah. Kini, wajahnya bengkak kebiruan, dan mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan rintihan tanpa suara.
"Aku nggak bisa lari, Tih! Tinggalin aja aku!" pinta Dara sambil terisak.
"Nggak akan!" Ratih memaksa Dara berdiri, memapahnya, dan mereka mulai berjalan tertatih-tatih di atas pematang sempit.
Mayat-mayat itu bergerak semakin cepat. Langkah mereka yang menyeret kini diselingi oleh lompatan-lompatan kecil yang aneh.
Saat mereka hampir mencapai pinggiran hutan, sesuatu terjadi.
Tiba-tiba, sebatang akar pohon besar dari dalam hutan mencuat ke atas, melilit kaki Dara, dan menariknya hingga Dara tersungkur keras ke pematang.
"AKAR! Tih! Akar itu melilit aku!"
Ratih melihat kengerian baru: Akar-akar pohon di pinggir hutan tampak hidup. Mereka bergerak perlahan, seolah mencari mangsa.
Pada saat yang sama, mayat-mayat hidup itu sudah sangat dekat. Ibu RT menjulurkan tangannya yang kaku, hampir mencapai punggung Ratih.
Dalam keputusasaan, Ratih melihat ke dalam hutan dan teringat kata-kata bibinya: Nenekmu adalah Tumbal Terakhir.
Ratih menatap mayat-mayat itu. "Kalian mencari Nenekku! Tumbal Terakhir kalian!" teriak Ratih, suaranya gemetar tapi mengandung kemarahan. "TIDAK AKAN KUBIARKAN!"
Ratih mencabut pisau lipat kecil yang selalu ia bawa. Dengan satu gerakan cepat, ia memotong akar yang melilit kaki Dara, lalu menyayat tangan Ibu RT yang mencengkeram bahunya.
Ibu RT tidak mengeluarkan darah. Tapi saat pisau itu mengenai kulitnya, ia mengeluarkan lolongan panjang yang memekakkan telinga, seperti suara serigala terluka yang dicampur dengan desahan angin.
Lolongan itu membuat semua mayat hidup di belakangnya berhenti seketika. Mereka bergeming.
Ratih dan Dara memanfaatkan kesempatan ini. Mereka merangkak dan melompat masuk ke dalam hutan yang gelap.
Begitu mereka masuk, pintu hutan seperti tertutup. Suasana langsung menjadi hening total. Tidak ada suara, tidak ada rintihan, bahkan lolongan Ibu RT pun hilang. Mereka hanya mendengar deru napas mereka sendiri.
Namun, keheningan itu justru lebih menakutkan.
Dara menatap Ratih. "Tih... kita berhasil? Mereka nggak ngejar?"
Ratih menggeleng. "Belum, Dar. Kita baru masuk ke sarang yang lain."
Ratih menunjuk ke atas. Di tengah kegelapan hutan yang pekat, tergantung di cabang pohon paling tinggi, ada sebuah boneka kain tua yang sudah usang. Boneka itu tidak memiliki mata, dan di dadanya, tersemat sebuah jarum panjang yang menusuk jantungnya.
Di bawah boneka itu, di batang pohon, terukir kaligrafi kuno yang tampak seperti mantra penangkal—tapi sudah dicoret-coret dengan cat merah yang terlihat seperti darah.
Tiba-tiba, dari kejauhan hutan, terdengar suara. Bukan rintihan mayat hidup, tapi nyanyian seorang wanita dengan nada yang mendayu-dayu dan sangat sedih. Nyanyian itu terdengar seperti sebuah himne pemakaman, seolah-olah memanggil jiwa-jiwa yang tersesat.
Ratih tahu mereka belum aman. Boneka dan nyanyian itu terasa lebih jahat daripada mayat hidup yang mereka temui di desa.
"Kita harus keluar dari hutan ini sebelum matahari terbit," bisik Ratih.