Ina dan Izhar memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan secara mendadak oleh Bu Aminah, ibunya Ina.
Keduanya duduk terdiam di tepian ranjang tanpa berbicara satu sama lain, suasana canggung begitu terasa, mereka bingung harus berbuat apa untuk mencairkan suasana.
Izhar keluar dari kamar mandi dan masuk kembali ke kamar setelah berganti pakaian di kamar mandi, sementara itu, Ina kesulitan untuk membuka resleting gaun pengantinnya, yang tampaknya sedikit bermasalah.
Ina berusaha menurunkan resleting yang ada di punggungnya, namun tetap gagal, membuatnya kesal sendiri.
Izhar yang baru masuk ke kamar pun melihat kesulitan istrinya, namun tidak berbuat apapun, ia hanya duduk kembali di tepian ranjang, cuek pada Ina.
Ina berbalik pada Izhar, sedikit malu untuk meminta tolong, tetapi jika tak di bantu, dia takkan bisa membuka gaunnya, sedangkan Ina merasa sangat gerah maka, "Om, bisa tolong bukain reseltingnya gak? Aku gagal terus!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
1 Minggu Kemudian
Ina berjalan sendiri keluar dari perpustakaan, tak seperti biasanya hari ini dia dan Kinara berbeda minat untuk menghabiskan waktu istirahat. Ina membawa sebuah buku dan akan di bacanya nanti di kelas, karena terkadang Ina malas untuk berlari ke kelasnya saat bel masuk berbunyi.
Tanpa Ina sadari, dia di ikuti oleh tiga orang gadis yang sejak tadi mengawasi dirinya sejak akan masuk ke perpustakaan.
Ketika Ina melewati toilet sekolah, tangannya tiba-tiba di tarik oleh mereka dan dibawa ke dalam toilet, lalu pintu toilet di kunci dari lama.
Ina di dorong hingga terjatuh ke lantai toilet yang basah.
"Akkkhhh..." Ina merasakan sakit di bokongnya karena ulah mereka.
"Vina, lu ngapain bawa gue kesini? Kenapa juga lu dorong-dorong gue kayak gitu? Kurang kerjaan!" Ina berusaha bangkit, tapi Vina dengan cepat menendangnya, hingga Ina terjatuh kembali.
Vina mendekat pada Ina, mencengkeram dagu Ina dengan kasar.
"Lu pikir, lu secantik apa, heh? Sampai-sampai lu bisa bikin si Isha cuma jadiin gue pelampiasan, tapi ujung-ujungnya dia mutusin gue dan pengen balik ke lu!" Vina menatap nyalang pada Ina, terlihat sekali dia membenci Ina.
"Kenapa harus tanya gue? Kenapa juga lu masih sangkut pautin gue sama Isha? Gue sama dia udah lama putus, dan kalau pun lu cuma di jadikan pelampiasan, itu karena lu emang pantas jadi pelampiasan, barang murah biasanya emang cuma dicoba dan dibuang setelah rusak!" Ina dengan lantang menghina Vina.
"Sialan!"
'Plakkk'
Vina menampar pipi kiri Ina, hingga pipinya sedikit memerah.
Ina merasakan panasnya bekas tamparan Vina di pipi, namun dia tak boleh menunjukkan hal itu pada Vina, agar gadis itu tak merasa besar kepala telah membuat Ina kesakitan.
Ina kembali menatap Vina, tatapan mata Ina tak kalah nyalang dari Vina.
"Kenapa? Lu ngerasa murahan, hah? Lu mau-maunya aja di jadiin selingkuhan Isha dan di pake sama dia, terus habis itu lu di tinggalin demi gue? Murah banget gak sih, hahahah!" Ina makin berani mengejek Vina, tawanya seolah dia sedang kerasukan.
"Bangsat! Cewek gila!" umpat Vina sangat marah.
bugh!
Gadis itu menendang perut Ina dengan keras.
"ugh"
Ina merasakan sakit pada perutnya, hingga merasa perutnya itu akan hampir memuntahkan semua isinya.
Vina kembali mendekat, menj*mbak rambut Ina dan menariknya hingga kepala Ina mendongak.
"Lu dengar ya, kalau lu berani hina gue lagi, gue akan pastikan cewek miskin kayak lu di keluarin dari sekolah ini saat ini juga! Gue gak akan pernah kasih ampun buat siapapun yang ngehina gue!" ancam Vina, penuh emosi.
Bukannya takut, Ina malah tersenyum miring,
"Keluarin gue? Apa gak salah? Kalau pihak sekolah tau lu berbuat kayak gini ke gue, gue pastikan lu yang bakal di keluarin dari sekolah ini!" Ina menantang Vina, tanpa takut walaupun dirinya sedang dalam ancaman Vina.
"Emang cewek gila! Lu gak pantas dikasih ampun!"
bugh!
"Akkkhhh...!!!"
Hantaman keras kembali mendarat pada Ina, kali ini pada hidungnya. Ina tersungkur dan darah segar mengucur dari hidungnya.
"Vin, lu kayaknya keterlaluan deh, gimana kalau dia lapor ke kepsek?!" sahabat Vina, Lidya mulai panik. Apa yang dilakukan oleh Vina keterlaluan, hingga membuat Ina terluka.
"Gak usah khawatir, disini gak ada CCTV, gak akan ada yang tau apa yang gue lakuin disini!" Vina berkata seolah tak ada ancaman untuknya.
"Tapi, Ina terluka, Vin. Dia pasti bakalan ngadu ke kepsek dan kita bakalan kena skors!" timpal Jenni, sahabatnya yang satu lagi.
"Halahhh... Ngapain takut sih, bapak gue punya kuasa, gak akan ada yang bisa lawan dia!"
brakkk
brakkk
brakkk!
Pintu toilet di pukul sekeras mungkin dari luar, membuat mereka terkejut.
"Woy! Buka pintunya, kita mau ke toilet!" teriak dari luar, suara gadis-gadis yang sepertinya ingin ke toilet.
"Sial, kita harus cepat cepat keluar, Vin, bahaya nih kita bisa di laporin kalau mereka tau!" Jennie ketakutan.
"Tenang, dengan duit semua bisa di atur!" jawab Vina dengan santai, senyumnya merekah.
Tanpa menunggu lagi, Vina dan dua temannya itu membuka pintu, tampaklah tiga orang gadis berdiri di depan pintu toilet dengan ekspresi wajah kesalnya.
"Kalian ngapain aja sih? Kenapa pintu toiletnya di kunci?!" tanya salah satu dari mereka emosi.
Vina tak menjawab, dia hanya mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan 100 ribu, lalu memberikannya pada salah satu dari mereka.
"Bungkam mulut kalian dari apa yang kalian lihat, dengan begitu kalian bisa tetap aman dan dapet uang jajan terus dari gue, atau kalau kalian berani kasih tau siapapun, gue pastikan kalian bakal menderita, okay?" ujar Vina.
Kemudian, Vina mengajak dua temannya tadi untuk pergi, mereka melenggang dengan santai menjauh dari toilet.
Para gadis itu tak paham, mereka hanya geleng kepala, lalu masuk ke dalam toilet.
Tapi, begitu masuk ke dalam toilet, mereka terkejut bukan main, saat melihat Ina perlahan bangkit dari tersungkur dengan hidung memerah dan berdarah.
Mereka baru paham, kalau yang dikatakan Vina adalah Ina. Sehingga, tanpa menunggu Ina melihat mereka, dengan cepat mereka keluar dari toilet agar Ina tidak tahu kalau mereka masuk kesana dan melaporkan mereka juga.
Ina duduk sendirian di lantai, perutnya sangat sakit, bahkan hidungnya pun sungguh sakit, dia hanya bisa mengelap darah yang mengucur itu dengan rok nya.
Ina menangis, dia tak menyangka akan mendapatkan perlakuan seburuk itu dari Vina, padahal dia dan Vina tidak begitu saling mengenal, hanya terlibat karena hubungan mereka berkaitan dengan Isha.
"Papa... Kenapa nasibku kayak gini? Kenapa aku selalu jadi bahan olok-olok orang? Kenapa Papa nggak ajak aku pergi aja? Hiks hiks hiks..." Ina menyebut Ayahnya, itulah yang selalu Ina lakukan setiap dirinya sedih, bahkan selalu.
berharap sang Ayah akan datang dan membawanya pergi.
Ina sangat sedih, tak ada yang membelanya disaat seperti ini, hanya dirinya sendiri saja yang merasakan.
"Ina!!!" jerit Kinara, yang baru datang, di belakangnya ada Isha, yang sejak tadi mencarinya.
"Ina!" ucap Isha, kaget melihat keadaan Ina yang kacau.
Isha dan Kinara segera menghampiri.
"Na, lu kenapa?! Siapa yang lakuin ini ke lu, Nah?!"
Kinara langsung mengambil tisu di saku rok seragamnya dan mengelap hidung Ina dari darah yang masih mengucur.
Ina tak menjawab, hanya isakannya saja yang terdengar, Kinara pun tak tega melihat sahabatnya seperti itu dan ikut menangis, sambil terus membersihkan darah Ina.
"Na, lu kenapa? Jawab dengan jujur, Na, siapa yang lakuin ini ke lu?" Isha bertanya, ingin tahu siapa pelakunya, agar dia bisa membalasnya untuk Ina.
Ina menggeleng, tak mau jujur kalau Vina lah yang melakukannya.
"Na, Abang tadi telepon, katanya lu gak angkat telepon darinya, bikin dia khawatir. Dia tanyain lu ke gue, tapi gue bilang gue gak tau, makanya gue tanya sama Kinara dia bilang lu mau ke perpustakaan, akhirnya kita cari sama-sama karena lu gak ada juga di perpustakaan. Tahunya lu ada disini, tapi lu dalam keadaan kayak gini, siapa yang lakuin ini ke lu, Na?" Isha menjelaskan mengapa dirinya bisa mencari Ina.
Ina masih tak mau menjawab, hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Gue pengen pulang, Sha, tolong minta Om buat jemput gue, hiks hiks hiks..." Ucap Ina, tak tahan lagi dan ingin pulang.
"O--oke, gue hubungi Abang dulu!"
Isha segera menghubungi Izhar yang sedang bekerja, untuk segera menjemput Ina dengan mobilnya, karena kondisi Ina memprihatinkan.
"Abang katanya bakalan datang sebentar lagi, lu bersihin diri dulu ya!" ucap Isha.
Ina mengangguk, Kinara segera membawa Ina ke dalam bilik toilet untuk membersihkan dirinya dari noda darah.
Sedangkan Isha, masih berpikir keras untuk mencari siapa pelaku yang tega menyakiti Ina.
"Sialan! Siapa orang yang ngelakuin ini ke Ina? Gue harus usut tuntas! Kalau Ina gak mau ngaku, itu artinya gue yang harus cari tau sendiri dan hukum orang itu dengan cara gue!" gumam Isha, mengepalkan tangannya penuh emosi, bertekad untuk mencari orang yang memperlakukan Ina seperti itu.
Ina dan Kinara keluar dari dalam bilik toilet, langkah Ina sangat gontai, perutnya sangat sakit setelah dapat tend*ngan keras dari Vina tadi, Ina juga terlihat lemas.
Isha segera membantu memapah Ina dan membawanya keluar dari toilet.
"Ra, sebaiknya kau bawa tas Ina dari kelas dan tasku juga, kita harus segera membawa Ina ke rumah sakit!" kata Isha kepada Kinara.
"Tapi, aku akan pergi!"
"Lu boleh ikut, tapi lu minta izin ke wali kelas, bilang aja Ina jatuh di toilet!"
"Baiklah, saya akan mengambil tas itu dulu setelah mendapat izin dari guru wali kelas!"
Kinara berlari ke arah kelasnya, Isha masih memapah Ina, membawanya keluar dari area sekolah untuk menunggu Izhar datang.
Banyak yang melihat mereka, tapi Isha cuek, Isha tak mempedulikan mereka menatap dia dan Ina seperti itu.
Ketika ada seorang guru yang menghampiri dan bertanya akan kondisi Ina, Isha hanya mengatakan Ina terjatuh di toilet. Bukan apa-apa, tapi Isha belum bisa mengatakan apa yang terjadi, terlebih belum tahu siapa yang melakukan itu pada Ina. Isha bertekad untuk mencari tahunya sendiri dan memberikan hukuman langsung pada orang tersebut dengan tangannya.
Perlu diketahui, sekolah Ina dan Isha, selama ini di kenal sebagai sekolah yang bebas dari perundungan, apalagi sampai menyebabkan siswa terluka secara fisik. Biasanya, perundungan hanya terjadi dari segi saling menghina saja, tak sampai ada k*k*rasan fisik seperti yang Ina alami saat ini.
Sehingga, jika kabar tentang perundungan Ina terendus hingga keluar, maka itu akan mencoreng nama baik sekolahnya. Maka dari itu, Isha harus membalas perbuatan orang itu dengan caranya sendiri dan tentunya diluar sekolah.
Sampai di depan gerbang sekolah, Ina menjadi sangat lemas, perutnya semakin sakit. Isha yang setia membantunya, menahan tubuh Ina agar tak terjatuh.
Selang beberapa menit, Izhar datang dengan mobilnya dan langsung turun. Izhar masih menggunakan jubah dokternya dan mengambil alih Ina dari Isha, segera saja Izhar memasukkannya ke dalam mobil.
"Kamu mau ikut naik mobil juga?" tanya Izhar.
"Nggak, gue mau naik motor gue aja sama temannya Ina, Abang duluan aja, gue bakal nyusul!" jawab Isha.
"Ya sudah, kamu tau dimana apartemen Abang 'kan?
Langsung saja ke apartemen Abang ya!"
"Kenapa gak ke rumah sakit aja?"
"Ina gak mau, dia memilih untuk pulang."
"Oh, oke!"
Izhar gegas masuk ke dalam mobil dan membawa Ina
pergi.
Kinara datang, Isha mengambil motornya dan membawa Kinara pergi bersamanya, untuk menyusul Izhar dan Ina yang sudah pergi lebih dulu.
***
Tiba di apartemen, Izhar membawa Ina langsung ke kamar mereka. Izhar melepaskan pakaian Ina yang kotor dengan darah, menggantinya dengan pakaian yang bersih.
Setelah itu, Izhar membaringkan Ina di tempat tidur di kamarnya, karena ia tak akan bisa membiarkan Ina untuk sendirian di kamarnya.
Izhar memeriksa tubuh Ina, mencari apakah ada luka luar atau tidak pada tubuhnya. Tapi, Izhar tak menemukan luka apapun selain hidung Ina yang memerah dan pipinya juga yang masih sedikit memerah.
"Na, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Izhar.
Ina tak mau menjawab, hanya menggelengkan kepala.
"Ina, saya suami kamu, saya berhak tau apa yang terjadi sama kamu, jadi jujurlah, jangan buat saya cemas!"
Ina tetap menggeleng, Izhar membuang nafas kasar.
Ina meraih tangan Izhar, "Om, perutku sakit..." Ucap Ina, suaranya terdengar sedikit merintih.
Izhar mendekat, menyibak baju Ina untuk melihat keadaan perutnya.
Perut Ina yang memiliki kulit putih itu, dengan jelas menunjukkan ada luka lebam disana, Izhar tercengang melihat itu.
"Ina, ini kenapa? Siapa yang menyakiti kamu? Jawab saya!" Izhar kali ini marah.
Tapi, lagi-lagi Ina hanya menggelengkan kepala, membuat Izhar frustasi.
"Aku ngantuk, Om... Aku mau tidur... Jangan tinggalin aku..." Pinta Ina, dengan tatapan sayu.
Izhar menggenggam tangan Ina, menciumi tangannya lembut dengan hati yang hancur, istrinya telah mengalami tindakan kekerasan, namun Ina sendiri tak mau mengaku siapa pelakunya, sehingga Izhar tak tahu harus membalas pada siapa.
Perlahan, mata Ina tertutup, dia merasakan kantuk yang berat, dalam hitungan detik Ina tertidur.
Tak berselang lama, Isha datang dan langsung masuk saja ke kamar Izhar.
"Gimana, Bang? Apa Ina ada yang luka lagi selain hidung?" tanya Isha, sangat cemas.
"Nggak ada, tapi barusan Abang lihat di perut Ina ada luka lebam, seperti ada seseorang yang memukul perutnya." Jelas Izhar.
"Iya, tadi Ina bilang perutnya sangat sakit, Bang, tapi gue nggak tau kenapa."
"Iya, sepertinya lebam itulah yang menyebabkan Ina sakit, dia juga terus mengeluh sakit ke Abang."
"Gue harus cari siapa orangnya!" ucap Isha dengan sorot mata penuh kemarahan.
"Kalian gak tau siapapun yang jadi musuhnya Ina?"
Izhar bertanya pada Isha dan Kinara.
Keduanya menggeleng.
"Ina gak punya musuh di sekolah, Om, tapi satu-satunya orang yang pernah bermasalah sama dia itu cuma Vina. Meski begitu, aku juga gak yakin kalau yang melakukan itu memang Vina, karena dia kelihatannya gak sejahat itu." Tutur Kinara, tak curiga sama sekali pada Vina.
Mendengar nama Vina, Isha malah mencurigai gadis yang pernah jadi selingkuhannya di sekolah itu.
"Vina? Memangnya ada hubungan apa Ina dan dia?
Kenapa juga mereka bermasalah?" tanya Izhar.
"Itu karena... Ina dan Ish..."
Kinara berhenti berkata, tatkala Isha memelototi dirinya.
"Ina dan... Siapa?" tanya Izhar lagi.
"Ummm... Anu... Ina itu pernah... Emmm..." Kinara jadi bingung harus menjawab apa.
"Ina pernah punya masalah aja sama Vina cuma gara-gara soal nilai ulangan, nilai ulangan Ina lebih besar dari dia, makanya dia sirik!" Isha dengan cepat menimpali.
"Kenapa seperti itu? Kenapa juga dia harus sirik? Itu 'kan hasil kerja keras Ina dalam belajar!"
"Ya nggak tau, Bang. Namanya sirik ya sirik aja!"
Izhar tak habis pikir, bagaimana bisa Ina disakiti hanya karena nilai ulangannya lebih bagus.
"Abang gak usah cemas, gue bakalan cari siapa pelakunya di sekolah dan bakal gue hukum dia setimpal!" ujar Isha berjanji.
"Cari siapapun yang menyakiti Ina dan kasih tau Abang, Abang gak akan membiarkan siapapun menyakiti istri Abang!" titah Izhar.
Tentu saja, mendengar kalimat terakhir dari Izhar membuat Kinara ternganga, tapi Isha dan Izhar justru tak menyadari bahwa obrolan mereka sedang di saksikan oleh orang yang tak tahu rahasia besar mereka.
Kinara melihat dengan jelas, bagaimana Izhar menggenggam erat tangan Ina dan membelai kepalanya lembut.
"Istri? Jangan-jangan selama ini, mereka itu..."
...***Bersambung***...