NovelToon NovelToon
Author Badut

Author Badut

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Dunia Lain / Mata Batin / Dokter / Misteri / Orang Disabilitas
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Aksara_dee

Goresan ISENG!!!

Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.

Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.

Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.

Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1. Bangsal Edelweis

...SINOPSIS...

Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu juga kalian.

Aku coba menulis sejarah perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.

Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak lagi dapat menjahit retak-retak lelah.

Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.

...*****...

Di bangsal Edelweis...

"Sus, kamar satu kenapa dibiarkan pegang handphone?" tanyanya pada perawat jaga.

"Saya perawat baru, Dok. Dokter bisa tanyakan pada dokter Wina."

"Saya nggak mau tahu, yang saya tanya itu kamu. Hari ini kamu jaga di sini, semua hal kamu harus tahu sebelum melangkahkan kaki di ruangan ini!" hardiknya dengan tegas.

"Pasien VIP dok, saudara dokter Wina... nggak berani—"

"Ngga ada alasan! Atau kamu mau saya kasih nilai jelek di lembar kinerja kamu!"

"Tidak dok, siap salah." Kudengar tiga orang perawat menjawabnya dengan kompak.

Dari kaca persegi yang menempel di pintu, aku melihat bahunya yang lebar dibalut jas putih dengan stetoskop melingkar di lehernya. Lelaki itu terus mengomentari segala hal sebelum ia bertugas visit ke ruangan. Kurasakan tubuhku meremang, udara dingin menjalar dari ujung kaki, terus naik hingga ke dada.

Sesak.

Aku menarik selimut, berusaha membenamkan ketakutanku di balik selimut tipis bermotif garis-garis. Separuh wajah aku benamkan di atas bantal, mataku terpejam rapat.

Kreekk

Pintu terbuka. Kudengar kakinya melangkah semakin dekat. Tangannya yang dingin menyentuh keningku, lalu berpindah ke ujung selimut, menariknya perlahan ke arah bawah. Jantungku semakin berpacu. Ketakutan, penolakan dan kepasrahan bergabung jadi satu. Tubuhku yang kaku hanya bisa mengikuti gerak tangannya yang ingin memeriksa dadaku.

"Halo, selamat pagi Nona— " sapanya sambil melihat map yang berisi rekam medis untuk membaca namaku.

"Nona Hania Khanza, bisakah anda bangun? Lihat matahari sedang cantik-cantiknya lho," ucapnya ramah.

Aku menarik tubuhku untuk duduk dan bersandar di headboard kasur pasien dengan wajah menunduk.

"Halo bisa menatap saya?" suaranya lebih lambat dari tangannya yang lebih cepat menjulur meraih daguku.

Aku sontak menepis tangannya yang nyaris menyentuhku. Kulihat dia kaget dan segera meminta maaf. Mataku melotot ingin memakinya. Dia terpaku, dan akhirnya memilih diam, menarik kembali tangannya ke sisi tubuhnya.

"Maaf" ucapnya lagi, lirih.

Aku menurunkan pandanganku, menatap kancing piyama pasien berwarna biru muda yang melekat di tubuhku. Dari ekor mataku, kulihat matanya tidak juga beralih dari wajahku.

"Telurnya hambar ya?" tanyanya tiba-tiba

Aku menggeleng. Pagi ini aku memang belum menyentuh apapun yang disediakan rumah sakit untuk pasien. Kotak makan yang berbentuk kotak bento masih lengkap dengan makanan.

Bosan.

Bukan bosan makan, lebih karena lelah yang tidak bisa aku jabarkan rasanya. Aku bosan untuk menarik napas, berharap semalam adalah tarikan napas terakhir dan untuk terakhir kalinya aku melihat matahari dan suara-suara pagi.

"Memangnya nggak laper?" katanya lagi.

Pertanyaan itu sebenarnya simple, namun mampu membuat perutku bereaksi, rasa lapar perlahan hadir.

"Nanti," jawabku pelan.

"Saya lupa sarapan, saya ijin makan di sini ya," katanya. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di sisi ranjangku.

Dengan lancangnya dia mengambil jatah puding milikku. Aku ingin protes. Tapi tenagaku habis, aku lelah. Membiarkannya makan hingga suara kunyahannya menggangguku. Aku meliriknya sebentar, lalu menunduk lagi.

"Alhamdulillah... " ucapnya disertai suara sendawa halus.

Suara sendawa nya membuat air liurku tiba-tiba berkumpul di dalam mulut, aku tergoda untuk makan.

Dari ekor mataku, kulihat ia terus melihat handphoneku yang tergeletak di samping bantal. Aku harus waspada, aku takut ia merampasnya tanpa perasaan. Aku menggesernya perlahan hingga handphoneku bersembunyi di bawah bantalku.

"Merknya apa?" tanyanya tanpa kuduga.

Ku naikan pandangan ke arah matanya yang penuh selidik. "Handphone murah, jadul," jawabku. Semoga dia tidak tertarik dan mengurungkan niat untuk merampasnya.

"Tapi memorinya yang mewah, iya kan?!" tanyanya. Aku mengangguk lemah.

"Oke Hania, perkenalkan... Saya dokter Sabil, hari ini adalah pertama saya bertugas di gedung B ini, sebelumnya saya bertugas di gedung A menangani pasien panti dan Autisme. Tugas saya bergilir dengan dokter Wina."

"Apa yang kamu rasakan hari ini?" tanyanya setelah ia memperkenalkan diri.

Pertanyaan yang biasa ditanyakan Wina setiap hari, tapi entah mengapa saat ia bertanya kehangatan menjalar mengusir dingin di sekujur tubuhku.

"Tidak merasakan apa-apa," jawabku sambil meremas ujung piyama ku. Banyak yang ingin aku katakan tapi bibirku hanya bisa menjawab seadanya.

"Baik. Makannya tolong dihabiskan ya... " ucapnya lembut.

Ia berdiri, lalu melangkah keluar kamar. Meninggalkan kekosongan yang perlahan hadir memelukku kembali. Pintu ruangan tertutup lembut, tapi suara dentumannya cukup membuatku sadar bahwa aku ada di dunia berbeda dari mereka yang mentalnya masih normal dan baik-baik saja. Aku kembali tertunduk.

Tiba-tiba perutku berbunyi, tandanya rasa lapar mulai menyerang ku.

...***...

Hari terasa lambat bergulir, di kotak yang berdinding dingin ini aku merasakan terisolasi dari segala hal. Kesibukan, suara alat masak yang saling berdenting, aroma vanila, butter cream dan aroma kopi panas dari cafe milikku, tidak lagi berada di sekitarku.

Pagi kali ini, hal pertama yang aku inginkan adalah makan puding. Mengganti rasa penasaranku atas puding yang dimakan dokter Sabil kemarin. Aku begitu antusias membuka kotak makan. Namun sayang, snack yang disediakan bukan lagi puding, tapi pastry dengan toping buah-buahan. Aku mendengus pelan. Berusaha ikhlas, seperti biasanya.

Suatu hal yang bagiku istimewa selalu direbut takdir dariku.

Sayup-sayup kudengar suara dokter Sabil yang sedang berdiri di lorong menelpon seseorang. Suara yang bagi orang normal tidak akan terdengar tapi bagiku berbeda. Suara jauh itu begitu jelas terdengar di indera pendengaranku yang 'istimewa'

"Kau tau Wina, itu melanggar konsep pengobatan ku. Hari ini pasien atas nama Hania tidak boleh memegang handphone, beritahu juga dokter jaga yang menggantikan ku nanti malam," ucap Sabil.

"Bil, kasih kelonggaran dikit untuk Hani. Dia pasien yang kondusif, aku bisa jamin. Setiap jam sembilan malam dia harus memeriksa CCTV toko dan rumahnya dari handphone. Dan dia novelis, dia gelisah kalau tidak ada yang bisa dia tulis," bujuk Wina.

"Apa-apaan sih kamu, sikap kamu ini merusak program dan analisa. Ngga bisa! Dia di bawah tanggung jawabku, aku yang akan beri ketegasan."

Suara-suara pertengkaran mereka semakin menusuk telingaku, dadaku berdebar-debar, keringat dingin seketika membanjiri punggung dan keningku. Aku bersembunyi lagi di bawah selimut tipis bercorak garis-garis.

Suara sepatu pantofel-nya menghentak lantai marmer ruang rawat. Langkah itu semakin mendekat. Pintu terbuka lebar seiring decitan roda meja tempat ratusan rekam medis pasien tersimpan di sana.

"Sus, ambilkan rekam medis Hania Khanza," titahnya.

Dia bergerak mendekati sisi ranjangku. Seperti biasa, telapak tangannya menyentuh keningku, agak lama.

"Jam 07.15, pasien Hania masih tertidur pulas," ucapnya dengan nada datar.

Aku meremas ujung selimut agar tidak lepas dari tubuhku seperti kemarin.

Suara kertas dijatuhkan dengan lembut ke meja besi dengan kaki beroda. Lalu langkah kakinya menjauhi sisi ranjangku. Roda meja file bergerak keluar pintu ruangan. Dadaku berdetak dengan kencang. Aku hanya berdua dengannya di ruangan ini, perawat sudah bergeser ke ruangan lain.

"Hari ini langit sedikit mendung, burung love bird yang biasanya mampir di pinggir balkon sebelah utara tidak terlihat pagi ini, apa kemarin kamu melihatnya?" tanyanya sambil berdiri menatap keluar dinding kaca kamarku.

"Kemarin ada dua pasang," jawabku dari baik selimut.

"Karena kemarin langit dan udara sangat cerah juga segar," jawabnya.

Aku menurunkan sedikit selimut hingga setengah wajahku. Punggung lebarnya sangat seimbang dengan tinggi tubuhnya yang kini sedang membelakangi ku. Tiba-tiba ia memutar tubuh, matanya langsung tertuju pada tatapanku. Aku gugup luar biasa. Aku kembali menaikan selimut hingga menutupi kepala.

"Ayo bangun putri tidur, kalau di bangsal lain jam segini mereka sedang berolahraga dan bercengkrama di aula."

Perlahan aku turunkan selimut dan berangsur untuk duduk bersandar pada kepala ranjang. Wajahku menunduk tidak berani menatapnya.

"Genre apa yang sedang kamu tulis?" tanyanya, lagi-lagi pertanyaan yang tidak pernah aku duga. Wina tahu hobiku bikin novel, tapi dia tidak pernah menanyakan hal-hal yang sensitif bagiku.

"Horor," jawabku

"Owh, bukan seorang penakut dong. Kamu keren!" sahutnya. Anehnya, nada suaranya tidak terdengar meremehkan seperti keluargaku.

"Boleh tahu judulnya?"

"Bisikan di Bangsal Edelweis," jawabku pelan.

Jawabanku sukses membuat bibirnya tersenyum kaku, bibirnya terbuka sedikit dan kepalanya mengangguk pelan.

1
@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
ternyata danu masih ingin menghancurkan hania. itu yang harus sabil waspadai.
Aksara_Dee: Danu cowo NPD
total 1 replies
Cakrawala
Danu sini kamu/Hammer/
Aksara_Dee: pengen jitak Danu ya ka 🤭
total 1 replies
Dinar Almeera
I fell youuuu pelukk duluuuu🤗🤗🤗
Aksara_Dee: peluk siapa ka?
total 1 replies
🌹Widianingsih,💐♥️
mahluk kasat mata bisa terekam kamera cctv juga ya ?
merinding aku Thor.....😬
Aksara_Dee: mungkin karena Sabil juga indigo jadi bisa melihat keberadaan mereka
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
cakepnya 🥰
Aksara_Dee: cocok gak ka sama karakter dokter sabil?
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
good job....aku merinding disko nih 👍
Aksara_Dee: iyakah ka? 😅
total 1 replies
Dinar Almeera
Nihhh Pak RT mau gak tinggal di komplek aku... cakep bener gak kepo gak menghakimi semua di bicarakan dengan santaii ihhh dunia butuh orang yang begini tau batasan 😍😍
Aksara_Dee: qiqiqiqi... 😅
total 3 replies
Wang Lee
Bunga sekebon untukmu🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Aksara_Dee: banyak nyaaa... aku tidur di hamparan bunga 😅
total 1 replies
Wang Lee
Semangat dek🌹🌹
Aksara_Dee: semangatnya lagi kendor nih ka 🥺
total 1 replies
Wang Lee
Ada apa dek
Aksara_Dee: nggak ada apa-apa
total 1 replies
Wang Lee
Iya, kamu benar cantik
Aksara_Dee: makasih 🤭
total 1 replies
Wang Lee
Jangan begitu, ah dek
Aksara_Dee: jadi gimana
total 1 replies
Wang Lee
Kan aku rindu bin kangen dek
Aksara_Dee: masa?
total 1 replies
Wang Lee
Like
Aksara_Dee: sukak
total 1 replies
Wang Lee
Wah...Pasti enak tuh susu alami🤣
Aksara_Dee: uppsss... 👉
total 1 replies
Wang Lee
Kamu manggil saya..
Aksara_Dee: enggak kok!
total 1 replies
Wang Lee
Luar biasa
Aksara_Dee: galak kaan
total 1 replies
Wang Lee
Pasti enak tuh🤣
Aksara_Dee: hey! wang lee... 👉
total 1 replies
🌹Widianingsih,💐♥️
Hania masih baik-baik saja kah Thor ?
kenapa prabu seperti nya marah ?
Aksara_Dee: marahnya sama Sabil ka, ada di episode 22
total 1 replies
Mom Young
sangat bagus😘
Aksara_Dee: Terima kasih kaka ❤️❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!