Adelina merupakan seorang selebgram dan tiktokers terkenal yang masih duduk di bangku SMA.
Parasnya yang cantik serta sifatnya yang periang membuatnya banyak disukai para followers serta teman-temannya.
Tak sedikit remaja seusianya yang mengincar Adelina untuk dijadikan pacar.
Tetapi, apa jadinya jika Adelina justru jatuh cinta dengan dosen pembimbing kakaknya?
Karena suatu kesalahpahaman, ia dan sang dosen mau tak mau harus melangsungkan sebuah pernikahan rahasia.
Pernikahan rahasia ini tentu mengancam karir Adelina sebagai selebgram dan tiktokers ratusan ribu followers.
Akankah karir Adelina berhenti sampai di sini?
Akankah Adelina berhasil menaklukkan kutub utara alias Pak Aldevaro?
Atau justru Adelina memilih berhenti dan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marfuah Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Back To School
"Lo beneran udah kawin 'kan, Del?"
"Ngaku wae lah sia teh, Del."
Kupingku serasa ingin meledak lantaran dua orang di depanku ini terus mendesakku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Bukan bagaimana, tapi mereka bahkan tidak memberikan jeda waktu untukku menjawabnya.
"Gue yakin lo emang udah kawin, Del. Tiga hari lo gak masuk sekolah, buat apa coba kalau bukan karena lo nikah," ujar Rain yang sudah memberikan kesimpulannya sendiri.
"Kalian bisa dengerin gue ngomong bentar nggak?!" teriakku yang berhasil membuat mereka diam. Tak hanya Rain dan Senja tapi juga seluruh penghuni kelas.
Aku terdiam kikuk lantaran mereka menatapku. "Sorry," ucapku pelan.
"Gak papa, Del. Buat lo mah gak masalah," jawab Dion seraya tersenyum menggoda.
Aku melirik kedua orang di depanku yang hanya nyengir tak berdosa.
"Jadi, gimana?" tanya Rain yang masih penasaran.
"Gue gak nikah sama siapa-siapa. Bukannya gue dah bilang itu cuma cincin biasa. Emang setiap yang pakai cincin itu artinya udah nikah, heh?" jelasku panjang lebar.
"Ya nggak sih," sahut Senja dan Rain berbarengan.
"Tapi, kan—"
"Dah lah, gue mau lanjut ngerjain tugas kemarin," potongku sebelum Rain kembali berasumsi.
"Huh, untunglah rahasian ini masih aman," batinku.
...🍉🍉...
Bunga mawar merah tergeletak di atas mejaku. Terdapat secarik kertas berwarna pink di atasnya. 'Ke taman sekolah setelah lo baca ini' isi dalam kertas itu. Aku mengernyitkan dahi membacanya.
"Bunga dari saha, Del?" tanya Senja.
Aku mengangkat bahu menjawabnya.
"Hmm, harum juga bunganya," ucap Rain yang telah mengambil dan mencium aroma dari mawar itu.
Secepat kilat aku merebut bunga itu dari tangannya.
"Punya gue," ucapku.
"Iya-iya, yang banyak fans," sahut Rain seraya memutar bola mata malas.
Segera aku bergegas menuju taman diikuti oleh Senja dan Rain. Rasa penasaranku memuncak, ingin segera mengetahui siapa yang telah mengirim bunga ini.
Di taman, tak kujumpai siapa pun. Dedaunan pohon tampak bergoyang mengikuti ke mana arah angin membawanya. Sementara rerumputan masih tetap asik dengan gerakan meliuknya.
"Del!" Panggilan seseorang membuatku memutar tubuh.
Aku bergeming mendapati siapa yang ada di hadapanku saat ini. Riyan Pradana, sang ketua osis SMA Athena. Di tangannya sebuah buket bunga dengan ukuran yang lumayan besar tergenggam erat. Wajahnya yang manis menyunggingkan senyum yang menampakan dua cekungan di pipinya.
Dia mendekat. Tubuhnya tinggi tegap--hasil dari latihan basketnya yang rutin--mampu mendominasi tinggiku yang hanya sebatas lehernya.
"Del," panggilnya lagi.
"Ya?" jawabku.
Raut gugup nampak begitu kentara di wajahnya. vibesnya sebagai seorang ketua osis yang tegas, serasa hilang begitu saja. Dia tampak seperti seorang laki-laki biasa yang hendak mengutarakan perasaan untuk pertama kali.
"Udah lama gue mendem perasaan ini. Gue pikir, sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya." Mata hitamnya menatap lekat ke arahku.
"Gue sayang sama lo sejak pertama kali gue ketemu lo. L-lo mau gak jadi pacar gue?" lanjutnya seraya mengulurkan buket itu.
Aku terdiam menatap buket bunga yang terulur di depanku. Perlahan kedua tanganku mengambil buket itu yang menimbulkan senyum di wajah manis Riyan.
"Rain!" seru Senja pada Rain yang telah berlari entah ke mana.
Aku menatap punggung Rain yang telah hilang di balik bangunan kelas kemudian menatap Riyan yang masih menunggu jawabanku.
"Benar kata orang, dunia emang cuma adil sama kaum good looking!" Sayup-sayup kudengar suara Rain yang terisak dari dalam toilet sekolah.
"Udah atuh Rain. Bisa gak bisa sia teh harus terima sama keadaan. Masih banyak cowok baik yang mau sama sia." Itu suara Senja.
Aku merapatkan tubuhku ke dinding untuk bisa mendengar percakapan mereka lebih jelas.
"Gue bisa terima kalau itu orang lain. Tapi, itu sahabat kita sendiri Sen, lo ngerti gak sih perasaan gue?"
"Aing ngerti Rain. Makanya itu sia teh kudu bisa ikhlas."
"Gue tau gue gak secantik Delina. Gue gak seterkenal dia, gue gak semodis dia. Tapi, gue juga mau dicintai sama orang yang gue cintai, Sen. Dan kenapa orang yang gue sayangi malah sayang sama sahabat gue?!" Rain menjambak rambut ikalnya.
Penampilannya sangat berantakan sesuai dengan apa yang hatinya rasakan. Perih, sedih, dan kecewa. Saat mengetahui perasaan yang selama ini ia pendam ternyata hanya menjadi angan yang jauh dari jangkauan.
"Rain!" Segera aku merengkuh tubuh Rain yang terduduk lunglai di pojok toilet.
Aku tahu perasaanya sedang hancur sekarang. Sebenarnya, aku sudah lama tahu jika Rain diam-diam mengangumi Riyan. Dan saat Riyan dengan tiba-tiba menyatakan perasaanya padaku, itu membuat hatinya hancur.
"Maafin gue, Rain," ucapku disela isak tangisku yang bercampur dengan rintihan Rain.
Rain melerai dekapanku. "Lo gak salah, Del. Ini salah gue yang udah jatuh cinta sama orang yang salah. Riyan emang lebih pantes sama lo. Lo cantik, pinter, dan terkenal. Sedangkan gue? Apa yang bisa gue banggain dari diri yang bodoh ini?"
Aku menggelengkan kepala menatapnya. "Gue gak terima Riyan, Rain. Gue gak suka sama dia."
Mataku menatap dalam manik Raina yang telah memerah. Sekejap, harapan muncul kembali dari mata itu.
"Kenapa?" tanyanya.
Bibirku melengkung indah. " Karena Riyan lebih pantes sama lo. Dia bukan tipe gue banget, apalagi lo tahu kan kalau calon suami gue harus mirip sama Cha Eun-Woo?" sahutku yang membuatku mendapat tampolan ringan di lenganku.
"Nah, gitu atuh pada ketawa. Gini kan enak aing lihatnya," cetus Senja.
Aku dan Rain seketika menoyor kepala Senja ke belakang. "Aing macan!" seru kami bersamaan.
Dan seperti itulah akhirnya kami tertawa bersama lagi. Persahabatan yang sudah terjalin erat gak akan pernah dengan mudah hancur cuma gara-gara seorang cowok. Aku, Raina, dan Senja. Kami bertiga akan selalu berjalan beriringan, saling menguatkan saat salah satu di antara kami terpuruk.
Karena sejatinya sahabat bukan hanya seseorang yang selalu ada, tapi juga seseorang yang mampu bertahan dalam segala keadaan.
🍉🍉
Satu per satu siswa ke luar dari pintu gerbang sekolah. Begitu juga dengan Raina dan Senja yang sudah meninggalkan sekolah beberapa menit yang lalu. Tinggalah aku sendiri di depan pintu gerbang.
Sebuah motor besar berhenti di samping kananku. Ia membuka helmnya, senyum manis segera terukir di bibirnya.
"Pulang bareng gue, ya?" tawarnya.
Belum sempat aku menjawab tawarannya, lagi-lagi sebuah motor yang sama besarnya berhenti di samping kiriku. Dia melakukan gerakan yang sama, membuka helm seraya tersenyum ke arahku.
"Pulang sama gue aja," ucapnya.
Bola mataku berputar malas. Aku paling benci terjebak di antara dua musim yang berlawanan. Yang satu merupakan musim dingin sementara satunya adalah musim panas. Sementara aku lebih menyukai musim semi.
Aura intimidasi begitu terasa dari samping kanan dan kiriku. Mata mereka sudah saling beradu tajam.
"Del, lo sama gue aja. Gue takut lo bakal diapa-apain sama buaya rawa itu," ucap Dean yang segera menarik tangan kananku.
Tak mau kalah, Elvan segera menahan tangan kiriku. "Delina pulang sama gue. Dia bakalan lebih aman kalau sama gue."
Jadilah aku lagi-lagi menjadi rebutan dua ketua geng sengklek ini.
"Stop!" teriakku seraya menghentakkan kedua tanganku membuat mereka melepaskan genggamannya di tanganku.
"Gue bisa pulang sendiri," putusku kemudian melangkah meninggalkan mereka.
Bukannya menyerah, mereka kini justru mengikuti langkah kakiku dengan motornya. Suara nyaring kedua knalpot motor besar itu membuatku sangat risih.
"Ayo Del, lo naik aja di belakang gue. Gue gak mau kaki lo pegel karena jalan jauh." Dean yang masih tak gentar untuk merayuku.
"Jangan mau, Del, sama buaya jadi-jadian itu. Mending lo sama gue aja, dijamin aman." Kini Elvan yang membuka suaranya.
Aku menghentikan langkahku, kemudian menatap kesal ke arah mereka berdua. "Bisa gak kalian gak usah gangguin gue?"
"Enggak," ucap mereka bersamaan.
Aku menghela napas lelah. "Tuhan, kirimkan malaikat untuk menolongku saat ini juga," doaku dalam hati.
"Delina pulang sama saya." Suara yang begitu familiar di telinga membuatku menoleh ke arah suara itu. Tuhan benar-benar mengabulkan doaku dalam sepersekian detik!
Tiba-tiba, tangan besarnya menarikku ke sampingnya. Aku tak mampu bersuara seakan tersihir dengan aura yang dipancarkannya.
"Silakan, kalian bisa pergi sekarang," ucap Mas Al dengan tatapan tajam.
"Lo siapa berani bawa Adel?" Elvan menghentikan motornya menatap Mas Al tak kalah tajam.
"Saya--"
"Om gue," ucapku memotong kata-kata yang akan ke luar dari mulut Mas Al.
Gak ada yang menjamin kalimat menusuk mana yang akan diucapkan Mas Al untuk menghinaku.
"Mending kalian pergi sekarang. Sebelum Om gue turun tangan dan hajar kalian," gertakku yang ternyata tak diindahkan oleh Elvan dan Dean.
Mereka turun dari motor lalu melangkah mendekat. Emang dasar cowok aneh. Apa mereka gak takut sedikit pun dengan Mas Al?
"Gue gak pernah takut selama itu buat lo, Del," ucap Elvan.
"Gue juga," sahut Dean yang justru ikut-ikutan.
"Lo ngapain ngikutin gue?" tanya Elvan yang tak terima saat Dean mengikutinya.
"Lo yang ngapain masih di sini? Mending balik sono." Kini giliran Dean yang membeo.
Mereka saling menatap tajam dengan kedua tangan yang terkepal erat. Aku yakin sebentar lagi bakal terjadi perang antara kedua geng sengklek itu. Hal yang biasa terjadi setiap kedua orang yang berlainan itu bertemu.
"Om, ayo pulang. Gak usah ngurusin mereka lagi," ajakku sambil menarik lengan Mas Al.
Mas Al menoleh menatap mataku yang memohon. Akhirnya lelaki itu membuka kunci mobil. Bergegas aku masuk ke dalam yang diikuti olehnya.
Mas Al mulai menjalankan mobilnya meninggalkan Elvan dan Dea yang menatap ke arah kepergian kami. Di dalam mobil aku terus menatap pangeran tampan di sampingku. Masih tak percaya jika dia datang dan menjemputku. Pasalnya, pagi tadi ia begitu tegas menolak saat aku memintanya mengantar dan menjemputku ke sekolah.
"Saya bukan sopir pribadimu." Itulah alasan klasik yang diutarakannya untuk menolak permintaanku.
Alhasil, aku berangkat ke sekolah dengan kesal dan marah. Tapi, lihatlah sosok yang kini duduk di sampingku. Aku benar-benar seperti sedang dalam mimpi.
"Kenapa ngeliatin saya? Gak suka pulang bareng saya?"
Aku segera menggelengkan kepala. "Bagaimana bisa aku menolak dijemput oleh pangeran tampan," sahutku seraya tersenyum.
Mas Al tampak salah tingkah. Terlihat dari dia yang segera berdehem untuk menutupinya. Aku tertawa kecil melihatnya. Dia benar-benar sangat imut saat sedang salah tingkah begini.
"Banyak remaja seumuranmu yang mengejarmu, tapi kenapa kamu malah setuju saja menikah dengan saya?" tanya Mas Al setelah keadaan hening beberapa saat.
"Kenapa memang?" tanyaku balik.
"Ehem! Asal kamu ingat, umur saya denganmu berbeda jauh. Seharusnya saya menjadi ommu seperti tadi bukan suamimu."
"Aku gak peduli dengan seberapa jauh umur kita berbeda, yang penting kita bisa seumur hidup bersama," ucapku seraya menatap wajahnya yang kini tampak semakin gugup dan salah tingkah.
Jaaah! Kena nih om-om sama gombalan mautku!