NovelToon NovelToon
RAHIM TERPILIH

RAHIM TERPILIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Dosen / Identitas Tersembunyi / Poligami / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.

"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.

Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.

Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.

Aditya.

Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KALIMAT RATNA

Makan siang mereka akhirnya selesai. Piring-piring kosong diambil oleh pelayan, dan suasana meja menjadi sedikit lebih ringan. Namun sebelum mereka sempat bangkit, suara kecil penuh harap terdengar.

“Om… Lilia mau es krim,” Pinta Lilia, matanya berbinar seperti sejak awal ia menyebut keinginannya itu.

Adit tersenyum tipis, akhirnya ada sesuatu yang bisa ia lakukan tanpa penolakan.

“Ya, sayang. Om beliin, ya. Lilia mau es krim apa?”

"Uhmmm..." Mata Lilia menerawang ke setiap jengkal penglihatannya. "Aku mau coklat!" Jawabnya, menatap Adit penuh permohonan.

"Ya udah... kita beli, yuk!" Ajak Adit, bangkit dari kursinya, lalu menoleh kepada Asha.

“Kamu ikut, Sayang?” Tanyanya lembut.

Asha mengangguk dan setengah beranjak. "Bol—"

"Adit, biar Asha temani Mama aja disini." Potong Ratna cepat. "Kalau kalian pergi, Mama gak mau sendiri disini. Karena kalau Mama ikut jalan sama kalian cuma buat beli es krim aja, Mama capek. Apalagi baru makan."

"Gak apa-apa, Mas." Jawab Asha kembali duduk di kursinya. "Kalian pergi aja, biar aku sama Mama tunggu disini."

Adit langsung berhenti. Ia menatap ibunya sejenak—ada garis frustrasi yang muncul di wajahnya, meski ia mencoba menyembunyikannya. “Ma, tapi Asha juga mau—”

“Adit, Asha aja nggak keberatan kok!” sela Ratna cepat, seolah ingin memastikan Adit tidak punya celah untuk membantah. Nadanya manis, tapi tekanannya jelas.

Adit menoleh pada Asha, menunggu jawaban yang sebenarnya ia tahu akan berat untuk Asha berikan.

Asha hanya tersenyum kecil, menahan banyak hal di balik tenang wajahnya. “Mas, kamu pergi aja, ya. Temenin Lilia dulu.” Jawabnya lembut. Terlalu lembut untuk seseorang yang baru saja ditahan kesempatannya.

Ratna langsung mengangkat kedua alisnya, tersenyum puas. “Tuh, kan! Kamu dengar sendiri?"

Ucapan itu jatuh seperti sebuah cap akhir—penegasan bahwa kendali sepenuhnya berada di tangan Ratna, bahwa keputusan yang diambil selalu dibungkus atas nama “kebaikan,” meski kenyataannya memihak hanya pada dirinya sendiri.

Adit menghela napas kecil, napas yang terdengar seperti penyerahan diri. Matanya sempat bertemu dengan Asha, dan di sana, jelas terlihat rasa bersalah yang nyaris menetes lewat sorotan matanya.

Ia ingin berkata sesuatu—maaf, mungkin, atau sekadar memastikan Asha benar-benar tak apa-apa. Namun kata itu tidak pernah keluar.

“Om, ayo!” Seru Lilia menarik tangannya.

Adit akhirnya mengangguk dan mulai menggandeng Lilia, menunduk sedikit pada Asha. “Sebentar ya, sayang.” Ucapnya lirih, lebih kepada harapan daripada janji.

Asha hanya tersenyum tipis dan mengangguk—senyum yang samar, lembut, namun rapuh di pinggirannya.

Adit kemudian keluar dari restoran lebih dulu, langkahnya tergesa namun terukur. Lilia melompat kecil di sampingnya, riang seperti biasa. Pintu kaca restoran terbuka dan menutup kembali, membawa serta suara ramai luar yang sekejap masuk lalu hilang.

Asha tetap duduk di tempatnya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar restoran. Dari sana, ia melihat punggung Adit menjauh, bergabung dengan arus kerumunan mall. Ketinggian tubuhnya sempat terlihat jelas—lalu perlahan, perlahan, menghilang di antara orang-orang yang berlalu-lalang.

"Ingin menyerah?" Suara Ratna meluncur pelan, namun cukup jelas hingga membuat dada Asha mengencang. Pertanyaan itu terdengar seperti jebakan yang dibungkus kepedulian—padahal nada sinisnya tak berusaha disembunyikan sedikit pun.

Asha kemudian menoleh perlahan, pandangannya jatuh pada sosok Ratna.

Ya. Wanita itu hanya duduk bersandar dengan anggun, sementara satu tangannya memegang ponsel dan ibu jarinya bergerak santai menggulir layar, seolah Asha bukan lawan bicara—bukan siapa-siapa.

"Ma-Maksud Tante?" Tanya Asha. Suaranya lirih namun tegas, mencoba tetap sopan meski hatinya terasa mengecil.

Ratna mendesis pahit. Ia akhirnya berhenti menggulir ponselnya dan mendesis pelan—pendek, pahit, seperti seseorang yang sudah terlalu lelah menghadapi sesuatu yang tak pernah sesuai dengan standarnya.

Bibirnya tertarik miring, menggoreskan senyum sinis yang tidak berusaha ia sembunyikan.

Lalu, dengan gerakan santai namun penuh tekanan, ia menurunkan ponselnya ke meja.

Tok!

Suara benda itu jatuh di permukaan kayu—tidak keras, tapi cukup jelas untuk membuat Asha sedikit tersentak dan beberapa pengunjung sempat melirik ke arah meja mereka.

"Saya gak akan pernah menyerah untuk membuat kamu itu sadar, kalau kamu... tidak pantas untuk anak saya!" Jela Ratna, suaranya lirih namun penuh penekanan. "Kamu pikir, kehidupan kamu dengan anak saya akan bahagia?"

Ratna memiringkan kepalanya, seolah mengamati sesuatu yang benar-benar menggelikan. Tawa pahit lolos dari tenggorokannya—pendek, sinis, seperti seseorang yang merasa posisinya tak mungkin tergoyahkan. "Saya tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi!"

Asha spontan menelan saliva. Tenggorokannya terasa kering.

Dadanya sesak, bukan karena takut—tapi karena ia tahu, untuk kesekian kalinya, Ratna sedang mengukir batas, batas yang memisahkan dirinya dari keluarga yang seharusnya menerima.

Ratna menyandarkan punggungnya ke kursi, kedua tangannya disilangkan di depan dada. Tatapannya tidak lagi sekadar menilai, tapi kini benar-benar menghakimi. "Kamu pikir semudah itu kamu masuk ke keluarga ini?" Katanya, suaranya tajam tapi tetap rendah. "Asal kamu tahu, almarhum suami saya itu pernah menitipkan pesan kepada saya..."

Ia menegakkan bahu, nada bangganya muncul, sebuah nada yang mengisyaratkan bahwa perkataan berikut bukan sekadar opini, melainkan warisan.

"Dia meminta saya untuk menjaga Adit,” Lanjutnya perlahan, “Agar dia kelak mendapatkan wanita yang sepadan...” Ia berhenti sesaat, membiarkan kata itu menggantung, menukik langsung ke dada Asha. “Cinta aja,” katanya, bibirnya menyeringai tipis, “itu nggak cukup untuk membuat Adit bahagia.”

"Ta-Tante..."

"Adit itu dibesarkan dengan standar tinggi,” Lanjut Ratna, dingin. “Pendidikan, lingkungan, masa depan—semuanya sudah kami siapkan dengan sangat baik."

Ratna mengangguk, "Oke, kamu seorang dosen. Tapi lihatlah seperti apa latar keluargamu?" Ia menatap Asha dari ujung rambut hingga ke pangkuan, tanpa sedikit pun upaya untuk menyamarkan ketidaksukaannya. "Usiamu saja... itu sudah menandakan kalau lelaki manapun tidak ada yang ingin bersamamu. Sekalipun, lelaki itu tidak punya apa-apa!"

“Dan jujur saja,” lanjut Ratna seakan belum puas, nada suaranya merendah menjadi lebih tajam, "Kamu masuk ke hidupnya terlalu mudah. Terlalu… tiba-tiba!" Katanya menggeleng pelan, senyumnya miris. “Wanita yang benar-benar tepat buat Adit seharusnya membawa dia naik. Bukan malah jadi beban yang harus dia jaga.”

Asha mencoba tersenyum, kecil, rapuh. Tapi sudut bibirnya justru bergetar, menelanjangi betapa kalimat itu menusuk jauh lebih dalam dari yang ia harapkan. Ia menunduk, berpura-pura memperhatikan jemari yang saling menggenggam di pangkuannya, padahal ia hanya berusaha menyembunyikan mata yang mulai memanas.

Ada rasa getir mengalir di tenggorokannya, seperti menelan batu yang terlalu besar.

Dan itu membuat dadanya sesak. Bukan karena takut pada Ratna, melainkan karena ia merasa diperlakukan seperti seseorang yang tidak pantas dicintai, bahkan untuk dihargai.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!