NovelToon NovelToon
Kontrak Pacar Pura-Pura

Kontrak Pacar Pura-Pura

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Kekasih misterius / Perjodohan
Popularitas:152
Nilai: 5
Nama Author: SineenArena

Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 - Panggung UKM Musik

Kartu kredit hitam itu tergeletak di atas meja belajar Yuni.

Di sebelah laptop yang menyala, di sebelah tumpukan buku perpustakaan, dan di sebelah bungkus mi instan yang sudah kosong.

Benda itu terlihat seperti artefak alien.

Hitam matte. Berat. Logam dingin.

Yuni menatapnya selama satu jam terakhir.

Dia belum berani menggunakannya.

Juan bilang, "Beli baju."

Tapi bagi Yuni, menggunakan kartu itu terasa seperti menjual sisa harga dirinya yang terakhir.

Menerima uang tunai untuk UKT Dika adalah satu hal. Itu kebutuhan mendesak. Darurat.

Tapi membeli dress mahal untuk pesta orang kaya? Itu terasa... berlebihan. Hedonisme yang dipaksakan.

Ponselnya bergetar, memecah lamunannya.

Juan: "Posisi?"

Yuni menghela napas. Jam 7 malam.

Yuni: "Di kos. Kenapa?"

Juan: "Ke Auditorium Utama. Sekarang."

Yuni: "Ngapain? Latihan pegangan tangan lagi?"

Juan: "UKM Musik manggung. Aku main di slot terakhir."

Yuni: "Terus?"

Juan: "Pacar yang baik itu nonton pasangannya manggung. Dukung. Sorak-sorai. Bawa spanduk kalau perlu."

Yuni memutar bola matanya.

Yuni: "Aku nggak punya spanduk."

Juan: "Datang aja. Pakai baju yang layak. Jangan kemeja flanel itu lagi. Baunya udah kayak soto."

Yuni mencium kemejanya yang tergantung. Juan benar.

Juan: "Pakai kaos polos atau apa kek. Yang penting hadir. Absen wajib."

Yuni meletakkan ponselnya.

Dia tidak punya pilihan.

Dia membuka lemari kainnya.

Pilihannya terbatas.

Kaos oblong promosi acara kampus tahun lalu? Jangan.

Kemeja batik pudar? Terlalu formal.

Dia menemukan satu blouse putih sederhana. Bekas lungsuran sepupunya. Bahannya agak tipis, tapi potongannya manis.

Dia memadukannya dengan jeans terbaiknya (yang tidak ada lubangnya) dan cardigan rajut warna abu-abu.

Dia menyisir rambutnya, membiarkannya tergerai.

Dia menatap cermin.

"Yuni si Pacar Juan," bisiknya pada bayangannya.

Dia mengambil tas selempangnya.

Kartu hitam itu masih di meja.

Dia ragu sejenak. Lalu memasukkannya ke dalam dompet.

Berjaga-jaga. Entah untuk apa.

Auditorium Utama kampus penuh sesak.

Suara bass berdentum sampai ke luar gedung.

Lampu sorot warna-warni menembus kaca jendela yang tinggi.

Ini adalah acara tahunan terbesar UKM Musik. "Sound of Campus".

Tempat di mana mahasiswa hitz berkumpul, pamer outfit, dan tentu saja, memuja idola kampus.

Yuni menyelip masuk lewat pintu samping.

Udara di dalam panas dan lembap oleh keringat ratusan orang.

Baunya campuran parfum mahal, rokok elektrik, dan adrenalin.

Di panggung, sebuah band beraliran indie folk sedang menyelesaikan lagu mereka.

Tepuk tangan meriah.

Yuni berdiri di bagian belakang, dekat mixer sound system.

Dia mencoba menyembunyikan diri di balik bayang-bayang pilar.

Dia melihat sekeliling.

Mahasiswi-mahasiswi Fakultas Bisnis dan Komunikasi mendominasi barisan depan.

Mereka memegang lightstick dan ponsel, siap merekam.

"Selanjutnya!" teriak MC, seorang mahasiswa Komunikasi yang terlalu bersemangat.

"Yang kita tunggu-tunggu!"

"Vokalis tamu kita malam ini! Pangeran Teknik!"

"JUAAAN!"

Teriakan histeris meledak.

Yuni menutup telinganya.

"Gila," gumamnya. "Ini kampus apa konser K-Pop?"

Lampu panggung padam.

Hening sejenak.

Lalu, lampu sorot tunggal menyala di tengah panggung.

Juan duduk di sana.

Di kursi tinggi (bar stool). Memangku gitar akustik.

Dia memakai kaos hitam polos yang membalut tubuhnya dengan pas, dan celana jeans robek di lutut.

Rambutnya sedikit berantakan, ditata dengan gaya "bangun tidur tapi ganteng".

Dia terlihat... berbeda.

Tidak ada arogansi "Raja Teknik" yang biasa.

Dia terlihat... rapuh? Artistik?

Yuni harus mengakui, secara objektif, dia tampan. Sangat tampan.

Juan mendekatkan mulutnya ke mikrofon.

"Malam," sapanya. Suaranya berat dan serak.

Teriakan histeris lagi. "MALAAAM KAK JUAAN!"

Juan tersenyum tipis.

Dia memetik gitarnya.

Melodi yang lembut. Melankolis.

Bukan lagu rock atau pop standar.

Lagu balada.

"Lagu ini," kata Juan, matanya menyapu penonton.

"Buat seseorang yang baru masuk ke hidup gue."

Penonton menahan napas.

"Seseorang yang bikin gue sadar..."

Juan berhenti sejenak. Dramatis.

"...kalau gue ternyata bisa makan soto di pinggir jalan."

Tawa riuh terdengar.

Yuni terpaku di tempatnya.

Dia membicarakan kejadian tadi siang.

"Buat lo," kata Juan.

Dia tidak menyebut nama.

Tapi matanya... matanya mencari di kegelapan.

Dan entah bagaimana, di tengah ratusan orang itu, tatapan Juan berhenti tepat di pilar tempat Yuni berdiri.

Jarak mereka mungkin lima puluh meter.

Tapi Yuni merasa Juan sedang menatap langsung ke jiwanya.

Dia mulai bernyanyi.

Suaranya... bagus.

Sialan.

Yuni berharap suaranya jelek. Yuni berharap dia sumbang.

Tapi tidak.

Suaranya dalam, penuh soul, dan teknikalitasnya sempurna.

Tentu saja. Dia Juan. Dia tidak melakukan sesuatu setengah-setengah.

Liriknya tentang seseorang yang menemukan ketenangan di tempat yang tidak terduga.

Tentang menemukan "rumah" di mata seseorang yang sederhana.

Itu lirik yang indah.

Dan Yuni tahu, itu semua bohong.

Itu skenario V.4.0 yang dinyanyikan.

Tapi cara dia menyanyikannya...

Yuni melihat ke sekeliling.

Gadis-gadis di barisan depan menangis. Beneran menangis.

Mereka tersentuh.

Mereka percaya.

"Dia aktor yang mengerikan," batin Yuni, merinding.

"Dia bisa memanipulasi emosi satu auditorium cuma dengan gitar."

Saat lagu berakhir, tepuk tangan yang terdengar bukan lagi histeris, tapi gemuruh panjang tanda apresiasi.

Juan berdiri. Dia membungkuk sedikit.

"Makasih," katanya.

Lalu dia turun panggung.

Bukan ke belakang panggung.

Dia turun ke area penonton.

Kerumunan membelah seperti Laut Merah.

Lampu sorot mengikutinya.

Jantung Yuni berhenti berdetak.

"Jangan," bisiknya. "Jangan ke sini."

Tapi Juan berjalan lurus ke arahnya.

Melewati barisan gadis-gadis cantik yang menatapnya penuh harap.

Dia terus berjalan ke belakang.

Ke arah pilar yang gelap.

Semua kepala menoleh.

Semua ponsel diarahkan.

Juan sampai di depan Yuni.

Dia sedikit berkeringat. Napasnya sedikit terengah.

Dia menatap Yuni.

"Datang juga," katanya, tanpa mikrofon.

"Kamu... mempermalukanku," desis Yuni.

"Aku memujamu," koreksi Juan. "Dalam skenario."

Lalu, di depan ratusan saksi mata, Juan melakukan sesuatu yang tidak ada di file PDF manapun.

Dia mengulurkan tangannya.

Menyingkirkan helai rambut Yuni yang jatuh di wajahnya.

Menyelipkannya ke belakang telinga.

Sentuhan jarinya di kulit telinga Yuni terasa panas.

"Makasih udah datang... Sayang," bisiknya.

Kata "Sayang" itu diucapkan dengan volume normal.

Tapi di keheningan auditorium yang menunggu drama, itu terdengar seperti ledakan bom.

Flash kamera menyala di mana-mana.

Yuni membeku.

Dia tidak bisa bergerak. Tidak bisa bernapas.

Dia hanya bisa menatap mata Juan yang berkilau di bawah lampu sorot.

Mata yang terlihat penuh cinta... palsu.

"Ayo keluar," kata Juan.

Dia menggenggam tangan Yuni.

Tautan jari. Interlocking fingers.

Seperti yang mereka latih di taman.

Kali ini, Yuni tidak melawan.

Dia membiarkan Juan menariknya keluar dari auditorium.

Melewati lautan manusia yang menatap mereka dengan campuran kekaguman dan kebencian.

Yuni melihat wajah-wajah itu.

Dia melihat Bimo dan teman-teman Juan yang lain, melongo.

Dan... dia melihat Sarah.

Sarah berdiri di dekat pintu keluar.

Bersama seorang teman barunya dari kelas Sosiologi.

Sarah menatap tautan tangan mereka.

Lalu menatap wajah Yuni.

Tidak ada lagi kekecewaan di mata Sarah.

Hanya... ketidakpedulian.

Sarah membuang muka.

Yuni merasa seperti ditusuk pisau.

Juan terus menariknya keluar.

Sampai ke udara malam yang dingin di luar gedung.

Mereka berjalan menjauh dari keramaian.

Ke arah parkiran dosen yang sepi.

Juan akhirnya melepaskan tangan Yuni.

Dia menyandarkan punggungnya ke mobil sedan mewahnya.

Menghela napas panjang.

"Gila," katanya. "Panas banget di dalam."

Yuni masih berdiri diam.

Dia memegang tangannya yang baru saja dilepaskan.

"Kenapa?" tanya Yuni. Suaranya gemetar.

"Kenapa apanya?" Juan mengambil botol air dari dalam mobil lewat jendela yang terbuka.

"Lagu itu. Turun panggung. 'Sayang'."

"Itu berlebihan, Juan."

"Itu showbiz," kata Juan santai. Dia meneguk airnya.

"Kita butuh ledakan. Gosip foto di kantin itu cuma percikan."

"Malam ini? Itu ledakan nuklir."

"Besok pagi, satu universitas bakal tahu kalau Juan si Raja Teknik sudah resmi diambil oleh Yuni si Anak Sastra."

"Dan nggak akan ada lagi yang berani nanya, 'itu taruhan bukan?'."

"Karena nggak ada cowok yang bakal nyanyi lagu galau dan nyamperin ceweknya di depan umum cuma buat taruhan."

Logika Juan.

Selalu sempurna.

Selalu kejam.

"Kamu... manfaatin aku," kata Yuni.

"Kita saling memanfaatkan, Yuni," kata Juan.

Dia menatap Yuni.

"Gimana rasanya?"

"Apanya?"

"Jadi pusat perhatian. Jadi 'Cinderella' malam ini?"

Yuni menatap sepatu ketsnya yang kotor.

"Rasanya... kayak penipu."

"Rasanya kayak aku ngebohongin semua orang yang tulus tepuk tangan buat kamu."

"Dan rasanya..."

Dia teringat wajah Sarah.

"...sakit."

Juan terdiam.

Dia meletakkan botol airnya.

Dia berjalan mendekat ke Yuni.

Kali ini tidak ada seringai. Tidak ada akting.

"Yuni," katanya.

"Dunia orang kaya... dunia keluargaku... itu panggung sandiwara."

"Semua orang pakai topeng."

"Ayahku, ibuku, rekan bisnis mereka."

"Kalau kamu mau bertahan di sana minggu depan..."

"Kamu harus tebalkan kulitmu."

"Rasa bersalah itu... kemewahan yang nggak bisa kita punya sekarang."

Yuni mendongak.

"Kamu... selalu begini?" tanyanya. "Selalu akting?"

Juan tersenyum pahit.

"Sejak aku bisa bicara," katanya.

"Hanya ada satu orang yang bisa liat tembus topengku."

"Siapa?"

"Oma."

Juan menghela napas.

"Makanya aku butuh kamu. Karena kamu... kamu nyata, Yuni."

"Bahkan saat kamu nyoba bohong, kamu tetap kelihatan jujur."

"Itu yang aku butuhin buat ngadepin Oma."

Yuni tertegun.

Itu pujian? Atau hinaan?

"Sudah," kata Juan. "Malam ini selesai."

"Besok kamu belanja."

"Pakai kartunya."

"Jangan irit. Beli yang terbaik."

"Aku jemput kamu jam 7 malam besok. Kita fitting baju sama skenario final."

Juan membuka pintu mobilnya.

"Mau diantar pulang?"

Yuni menggeleng.

"Nggak. Aku mau jalan."

"Aku butuh... udara yang nggak ada parfum kamunya."

Juan tertawa kecil.

"Oke. Hati-hati."

Juan masuk ke mobil. Mesin menderu halus.

Mobil mewah itu meluncur pergi.

Meninggalkan Yuni sendirian di parkiran yang gelap.

Yuni merogoh saku jeans-nya.

Dompetnya. Kartu hitam itu.

Dia mengeluarkannya.

Kartu itu berkilau di bawah lampu jalan.

Besok dia harus belanja.

Dia harus mengubah kulit luarnya.

Agar sesuai dengan kebohongan yang baru saja diumumkan Juan ke seluruh dunia.

Yuni berjalan pulang.

Di kejauhan, suara musik dari auditorium masih terdengar.

Tapi bagi Yuni, itu bukan lagi musik.

Itu adalah suara sirene peringatan.

Bahwa dia sudah masuk terlalu dalam.

Dan tidak ada jalan untuk memutar balik.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!