NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Sesuai janji Mas Umar, akhirnya aku, Nay, mendapatkan pekerjaan yang selama ini aku idam-idamkan. Dengan rekomendasi dari sahabat dosen Mas Umar, aku diterima mengajar di sebuah yayasan swasta. Rasanya seperti mimpi yang jadi nyata, ijazah S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra yang selama ini hanya tersimpan di lemari kini benar-benar berguna.

Hari pertama aku langsung diserbu tanggung jawab besar. Mengajar di SMP dan juga dapat kesempatan mengajar di SMA. Jadwalku padat, Senin sampai Jumat, dari pagi hingga sore.

Namun, di tengah semua ini, ada rasa berat yang diam-diam menekan dada. Aku tahu Mas Umar sering pulang lebih awal, sementara aku harus berjuang menyelesaikan semua kelas sampai sore. Kadang, saat membersihkan papan tulis terakhir, aku menatap pintu keluar dengan perasaan campur aduk, bangga sekaligus sedikit tersayat karena kerja keras ini rasanya tak sepenuhnya dilihatnya.

Aku menggigit bibir, menatap Mas Umar dengan hati berdebar.

“Mas, nggak apa-apa kan, kalau aku baru pulang sore dari yayasan?” suaraku terdengar pelan, sedikit canggung.

Aku takut jadwalku yang penuh ini malah bikin dia berat hati. Tapi kulihat raut tenangnya tetap terjaga, walau aku tahu kadang dia sendiri harus bertahan di kelas sampai senja. Napas kuhela pelan, kubayangkan bagaimana agar semuanya bisa seimbang.

 “Aku pengen jadi istri yang baik, walau ada tanggung jawab baru sebagai guru,” batinku lirih

Pertanyaan itu terus mengusik, apakah aku cukup kuat membagi perhatian tanpa bikin Mas Umar merasa terabaikan? Kuharap dia tahu, semua ini aku lakukan demi masa depan kami bersama.

Sudah sebulan berlalu sejak kami mulai menjalani hari-hari sebagai pasangan yang tenggelam dalam pekerjaan sebagai pendidik. Pagi itu, saat aku sedang merapikan meja di ruang guru, telepon Umar berdering tiba-tiba. Dari wajahnya, kulihat ada perubahan rambutnya yang biasanya santai kini sedikit acak-acakan, matanya berkaca-kaca saat menerima suara orang tua di ujung sana.

“Pak Rahmat dan Bu Rokaya minta aku ke Semarang beberapa hari,” ujarnya pelan, tanpa menatapku.

Hatiku tergerak ingin ikut, tapi pekerjaan di yayasan mengikatku erat. Aku menarik napas panjang, mencoba menahan rasa kecewa.

“Aku juga nggak bisa ninggalin kelas sekarang, sayang. Liburan masih lama,” bisikku, suara hampir tak terdengar. Umar mengangguk pelan, menyembunyikan keresahannya di balik senyum tipis yang tak sepenuhnya meyakinkan.

Pikiranku terus berputar, mencoba menangkap alasan di balik keputusan orang tua Umar yang tiba-tiba ingin kami pindah ke Semarang. Rasanya campur aduk; penasaran dan gelisah. Aku tahu, sebagai istri, aku harus kuat mendukung setiap langkah suamiku, meski hatiku bertanya-tanya.

Saat Umar bersiap berangkat, aku duduk di sudut ruang tamu, tangan menggenggam erat kain baju, dadaku terasa sesak. Sepi menyelinap pelan, merayap di antara bisikan angin lewat jendela.

“Semua akan baik-baik saja,” bisikku pada diri sendiri, mencoba menenangkan kecemasan yang membuncah.

Umar juga terlihat tegang saat menelpon atasan untuk minta izin cuti beberapa hari, seolah menanggung beban berat yang tak kuasa ia ungkapkan.

Aku berharap, perjalanan ini takkan lama dan kami bisa kembali bersama seperti dulu meluapkan tawa tanpa batas di malam yang sepi. Dalam hening itu, aku semakin sadar, betapa setiap detik kebersamaan kami terasa mahal di tengah kehidupan yang cepat berlalu.

Umar menatap Nay dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Kamu nggak apa-apa kan, Nay, kalau aku tinggal sendiri di rumah? Atau kalau kamu takut, aku bisa titipin kamu ke Airin. Kamu boleh banget tidur di rumah Airin beberapa hari sampai aku balik dari Semarang.” Nay terkekeh mendengar tawaran itu, matanya berkilat menahan tawa.

“Nggak, Mas. Aku ini bukan barang yang mau dititip-titipin sama Mbak Airin,” jawabnya santai sambil menyilangkan tangan. Umar mengerutkan dahi, tak lepas khawatir.

 “Hem, tapi aku takut kamu sendirian di rumah, sayang. Atau kamu udah punya sahabat dekat? Bisa diajak nginap di rumah, buat nemenin kamu.”

Nay sejenak terdiam, alisnya sedikit berkerut mengingat sosok teman dekatnya di yayasan. Walau baru kenal, ia sudah merasa nyaman dan dekat dengan teman itu.

“Nah, kalau gitu aku ajak Lasmi nginep di rumah, ya. Tapi kalau dia nggak mau, ya sudahlah,” ucap Nay dengan nada lega. Umar tersenyum lega, matanya melembut. Tenang sedikit rasanya meninggalkan Nay kalau tahu ada teman yang akan menemani.

Umar mengerutkan dahinya saat menatap layar tiket pesawat di ponselnya. "Kalau mau cepat, ya terbang aja ke Semarang," gumamnya pelan, jari-jari tangannya mengusap dagu penuh gelisah.

Bayangan tentang percakapan dengan orang tuanya menggelayut di pikirannya pertunangan yang dulu ia batalin sepihak. Rasa sesal merayap, ringan tapi nyata. Setelah perjalanan panjang yang membuat pundaknya terasa pegal, Umar menginjakkan kaki di kampung halamannya.

Rumah sederhana di ujung gang itu menyambutnya dengan sunyi, sebelum pintu terbuka perlahan dan Pak Rahmat serta Bu Rokaya muncul di ambang. Wajah mereka serius, sorot mata yang sulit disembunyikan gelisah dan kecewa. Umar menarik napas dalam-dalam, menelan rasa gugup yang berkecamuk.

"Apakah ini saatnya aku bertanggung jawab atas semua keputusan yang telah kuambil?" pikirnya, melihat kedua orang tuanya menantikan kata-katanya dengan sabar tapi penuh harap.

Setelah sejenak menghela napas, Umar menguatkan diri duduk di ruang tamu. Tangannya yang tadi gemetar perlahan menenangkan, meski hatinya berdegup kencang menanti pembicaraan yang akan dimulai. Ia tahu, sebagai anak, tanggung jawab itu bukan sekadar kata, apalagi saat melibatkan perasaan orang tua yang selalu ia sayangi.

Ketika ayahnya tiba-tiba menyebut kata-kata tentang kembali ke Semarang, dadanya sesak. Rutinitas mengajar di kampus yang baru mulai nyaman tiba-tiba harus terganggu. Namun Umar menahan diri, mencoba menelan kejutan itu perlahan.

"Baiklah, Pak. Apakah ini soal orang tua Citra?" suaranya terkesan hati-hati, seakan menebak apa yang tersembunyi di balik kata-kata ayahnya. Ayahnya menarik napas dalam, kemudian menjelaskan dengan nada berat,

“Nanti sore kita harus ke pondok pesantren Darul Huda. Abah dan Ummi menunggu itikad baik kita, setelah kalian memutuskan hubungan pertunangan. Kalau tidak, hubungan baik antara Pondok Pesantren Darul Huda dan pesantren asuhan kita bisa retak.”

Umar menunduk, perlahan meresapi beratnya situasi itu yang belum bisa ia hindari.

Umar menghela napas panjang, lalu cepat mengangguk, menundukkan kepala.

"Baiklah, Pak. Saya akan terima keputusan Bapak dan Ibu." Suaranya lirih, menyiratkan penyesalan yang dalam.

"Memang saya yang salah. Saya nekat putuskan pertunangan dengan Citra, tanpa pikir panjang."

Matanya menatap kosong, berat rasanya menanggung beban ini. Di lubuk hati, ujung pikiran Umar bergejolak, bertanya-tanya apa masa depan yang menanti, terutama karena hubungan kedua pesantren itu sangat penting untuk kelangsungan mereka. Pak Rahmat duduk tegap, wajahnya penuh ketegasan namun tetap hangat.

"Setiap keputusan ada konsekuensinya. Kita harus berani hadapi itu," ucapnya pelan tapi tegas.

"Lagipula, antara kamu dan Citra memang tidak ada cinta. Kami tidak berhak memaksakan kamu menikahi wanita pilihan kami."

Umar mendengarkan dengan campuran lega dan sedih, tahu kata-kata itu sekaligus melepaskan dan membebani dirinya.

Aku duduk terpaku, menatap kosong ke luar jendela sambil mengulang kata-kata orang tuaku di kepala.

"Aku tidak pernah menyangka mereka akan memberi keputusan seperti ini," gumamku pelan, napasku bergetar antara lega dan takut. Tangan ku erat menggenggam ujung baju, seolah mencoba menahan kegelisahan yang berdesir di dada.

Bu Rokaya duduk di seberang, wajahnya lembut, tapi tatapannya tajam penuh harap. "Semoga apa yang kamu pilih nanti tidak membuatmu menyesal," suaranya hangat menyentuh hati.

"Baik buruknya istri kamu, itu semua karena pilihanmu sendiri."

Umar mengangguk pelan, suaranya rendah dan penuh kerendahan hati,

"Injeh, Bu, Pak," katanya, berat rasanya memikul tanggung jawab baru yang sudah menunggu di depan.

Dalam hening, aku menarik napas dalam-dalam, berdoa agar keputusan ini membawa berkah dan kebahagiaan untuk kami semua. Semoga langkahku tak salah.

1
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!